UU Cipta Kerja Dinilai Punya Sisi Positif untuk Petani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Riset Center for Indonesian Policy Study (CIPS) Felippa Amanta menyebut Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) memiliki sisi positif yang tidak banyak dilihat publik secara jernih. Contohnya UU Ciptaker bisa menguntungkan petani kecil, jika mengacu draf 5 Oktober 2020 setebal 905 halaman.
(Baca juga: Jaringan 4G di Bulan Siap Dibangun oleh NASA dan Nokia)
Dia pun menjelaskan, UU Cipta Kerja mengarahkan fokus pemerintah agar meningkatkan produksi pangan domestik. Dalam draf 5 Oktober 2020, terdapat perubahan Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
(Baca juga: Pemerintah Tegaskan Vaksin Covid-19 Gratis untuk Rakyat Miskin)
"UU Cipta Kerja juga mengarahkan fokus pemerintah untuk meningkatkan produksi domestik. Impor pangan dibolehkan sehingga bisa menunjang ketahanan pangan," ujar Felippa, Rabu (21/10/2020).
Sebelum diubah, Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 berbunyi "Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional."
Setelah muncul UU Ciptaker, aturan itu berubah menjadi "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengutamakan dan meningkatkan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional."
"Kalau produksi pangan dalam negeri ditingkatkan, petani bisa diuntungkan," kata Felippa.
Terkait, ketahanan pangan ini memang menjadi perhatian pemerintah. Data cips-indonesia.org yang dihimpun dari Global Food Security Index, Indonesia berada di ranking 62 dari 113 negara terkait ketahanan pangan.
Akibatnya dari itu, kata dia, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan bernutrisi karena terhambat harga yang mahal.
Lebih lanjut, dia mengatakan, peningkatan pangan domestik ini berarti hasil panen bertambah. Di sisi lain, ongkos produksi perlu diturunkan agar menguntungkan petani.
"Bisa juga kualitasnya (pangan domestik,red) ditingkatkan, sehingga harga jual jadi meningkat. Ini harapannya bisa meningkatkan pendapatan petani," ungkap dia.
Di sisi lain, Felippa tidak memungkiri bahwa UU Ciptaker memungkinkan terjadinya impor pangan untuk menunjang ketahanan pangan. Namun, urusan impor ini tidak bisa dilakukan ugal-ugalan oleh pemerintah.
Sebab, kata dia, terdapat perubahan Pasal 12 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 di dalam UU Ciptaker.
Dalam dua pasal itu mengarahkan bahwa impor bisa dilakukan dengan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudi daya ikan, pelaku usaha pangan mikro dan kecil, melalui kebijakan tarif dan nontarif.
"Jadi enggak langsung membuka keran impor dan banjir, tetapi tetap ada keseimbangan dengan produksi pangan lokal," pungkas dia.
(Baca juga: Jaringan 4G di Bulan Siap Dibangun oleh NASA dan Nokia)
Dia pun menjelaskan, UU Cipta Kerja mengarahkan fokus pemerintah agar meningkatkan produksi pangan domestik. Dalam draf 5 Oktober 2020, terdapat perubahan Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
(Baca juga: Pemerintah Tegaskan Vaksin Covid-19 Gratis untuk Rakyat Miskin)
"UU Cipta Kerja juga mengarahkan fokus pemerintah untuk meningkatkan produksi domestik. Impor pangan dibolehkan sehingga bisa menunjang ketahanan pangan," ujar Felippa, Rabu (21/10/2020).
Sebelum diubah, Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 berbunyi "Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional."
Setelah muncul UU Ciptaker, aturan itu berubah menjadi "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengutamakan dan meningkatkan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional."
"Kalau produksi pangan dalam negeri ditingkatkan, petani bisa diuntungkan," kata Felippa.
Terkait, ketahanan pangan ini memang menjadi perhatian pemerintah. Data cips-indonesia.org yang dihimpun dari Global Food Security Index, Indonesia berada di ranking 62 dari 113 negara terkait ketahanan pangan.
Akibatnya dari itu, kata dia, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan bernutrisi karena terhambat harga yang mahal.
Lebih lanjut, dia mengatakan, peningkatan pangan domestik ini berarti hasil panen bertambah. Di sisi lain, ongkos produksi perlu diturunkan agar menguntungkan petani.
"Bisa juga kualitasnya (pangan domestik,red) ditingkatkan, sehingga harga jual jadi meningkat. Ini harapannya bisa meningkatkan pendapatan petani," ungkap dia.
Di sisi lain, Felippa tidak memungkiri bahwa UU Ciptaker memungkinkan terjadinya impor pangan untuk menunjang ketahanan pangan. Namun, urusan impor ini tidak bisa dilakukan ugal-ugalan oleh pemerintah.
Sebab, kata dia, terdapat perubahan Pasal 12 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 di dalam UU Ciptaker.
Dalam dua pasal itu mengarahkan bahwa impor bisa dilakukan dengan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudi daya ikan, pelaku usaha pangan mikro dan kecil, melalui kebijakan tarif dan nontarif.
"Jadi enggak langsung membuka keran impor dan banjir, tetapi tetap ada keseimbangan dengan produksi pangan lokal," pungkas dia.
(maf)