Indonesia Bisa Bersaing di Dunia dengan UU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
Sementara lanjut Shinta, Indonesia harus memiliki daya saing agar investor mau menggelontorkan uangnya. Baik investor dalam negeri, luar negeri, maupun UMKM. Sekadar catatan, kata Shinta, nilai investasi per Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 2.200 pekerja baru pada 2016.
"Sekarang ini penyerapan per Rp 1 triliun itu cuma 1.200. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," jelas dia.
Dari sisi regulasi, lanjut Shinta, Indonesia paling banyak aturan dan syarat perizinannya, baik dari pusat maupun daerah. Bahkan, lanjut Shinta, setiap aturan dengan regulasinya pun tumpang tindih sehingga membuat investor terkendala untuk memulai usaha.
Shinta menyadari ada upaya pemerintah pusat dengan membuat Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah pengusaha mengajukan perizinan. Namun, kata Shinta, OSS itu tidak terintegrasi dengan daerah sehingga inovasi itu tidak efektif.
"Ini saya harapkan diharmonisasi pusat dan daerah itu. Satu positifnya UU (Omnibus Law) ini untuk mengharmonisasi peraturan dan izin yang ada," jelas dia.
Shinta juga memandang untuk membangun bisnis di Indonesia biayanya sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. Menurut dia, ini sangat buruk terhadap ekosistem investasi. Akhirnya, daya saing Indonesia kalah dengan negara tetangga lainnya.
"Pesangon kita nomor dua tertinggi seluruh dunia. Tidak hanya pasangon, upah minimum kita juga paling tinggi sedunia. Saya bandingkan saja dengan negara-negara ASEAN upah minimum. Contoh di Vietnam USD 192, Thailand USD 245, Malaysia USD 294, Indonesia USD 313 pada 2020. Itu paling tinggi upah minimum di ASEAN," kata dia.
Sementara itu, kenaikan upah pun demikian. Menurut Shinta, rata-rata kebijakan upah di Indonesia, yaitu 9,7 persen. Hal itu berbanding terbalik dengan Thailand 1,7 persen, Malaysia 5,5 persen, dan Vietnam 7 persen. "Ini juga cost yang tinggi," jelas dia.
Di samping itu, Shinta mengingatkan 97 persen pengusaha di Indonesia dari sektor UMKM. Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat klaster UMKM, di mana sektor tersebut tidak membutuhkan izin, cukup mendaftar untuk memulai usaha.
"Koperasi juga tidak perlu lagi 20 orang, 9 orang sudah cukup membentuk koperasi," jelas dia.
"Sekarang ini penyerapan per Rp 1 triliun itu cuma 1.200. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," jelas dia.
Dari sisi regulasi, lanjut Shinta, Indonesia paling banyak aturan dan syarat perizinannya, baik dari pusat maupun daerah. Bahkan, lanjut Shinta, setiap aturan dengan regulasinya pun tumpang tindih sehingga membuat investor terkendala untuk memulai usaha.
Shinta menyadari ada upaya pemerintah pusat dengan membuat Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah pengusaha mengajukan perizinan. Namun, kata Shinta, OSS itu tidak terintegrasi dengan daerah sehingga inovasi itu tidak efektif.
"Ini saya harapkan diharmonisasi pusat dan daerah itu. Satu positifnya UU (Omnibus Law) ini untuk mengharmonisasi peraturan dan izin yang ada," jelas dia.
Shinta juga memandang untuk membangun bisnis di Indonesia biayanya sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. Menurut dia, ini sangat buruk terhadap ekosistem investasi. Akhirnya, daya saing Indonesia kalah dengan negara tetangga lainnya.
"Pesangon kita nomor dua tertinggi seluruh dunia. Tidak hanya pasangon, upah minimum kita juga paling tinggi sedunia. Saya bandingkan saja dengan negara-negara ASEAN upah minimum. Contoh di Vietnam USD 192, Thailand USD 245, Malaysia USD 294, Indonesia USD 313 pada 2020. Itu paling tinggi upah minimum di ASEAN," kata dia.
Sementara itu, kenaikan upah pun demikian. Menurut Shinta, rata-rata kebijakan upah di Indonesia, yaitu 9,7 persen. Hal itu berbanding terbalik dengan Thailand 1,7 persen, Malaysia 5,5 persen, dan Vietnam 7 persen. "Ini juga cost yang tinggi," jelas dia.
Di samping itu, Shinta mengingatkan 97 persen pengusaha di Indonesia dari sektor UMKM. Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat klaster UMKM, di mana sektor tersebut tidak membutuhkan izin, cukup mendaftar untuk memulai usaha.
"Koperasi juga tidak perlu lagi 20 orang, 9 orang sudah cukup membentuk koperasi," jelas dia.