Indonesia Bisa Bersaing di Dunia dengan UU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani menilai, Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja merupakan pintu masuk Indonesia untuk bersaing secara ekonomi di panggung dunia.
(Baca juga: Kembali Usut Kasus Korupsi e-KTP, KPK Periksa Eks PNS BPPT)
Menurut dia, Undang-undang itu sudah cukup menyeimbangkan berbagai pihak, baik pengusaha, buruh, maupun UMKM.
(Baca juga: Kontrak Selesai, 36 Pelaut WNI Dipulangkan dari Afrika Selatan)
"Kami menyatakan sangat menyayangkan banyak pihak-pihak yang benar-benar tidak tahu secara substansi UU ini sehingga banyak salah persepsi. Dan ini menimbulkan sudah satu mainset yang enggak bisa diubah, walaupun kami mencoba mengungkapkan fakta-fakta yang ada," kata Shinta dalam diskusi virtual bertema UU Cipta Kerja dan Dampaknya Bagi Kepentingan Publik, Selasa (13/10/2020).
Shinta menyadari, pengusaha sangat membutuhkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini. Sebab, pihak pengusaha sejak dulu sudah menyampaikan kepada pemerintahan bahwa permasalahan besar di Indonesia ini ialah aspek struktural sehingga membutuhkan reformasi.
"Kita disebutkan banyak cita-cita, Indonesia itu mau menjadi negara maju, ekonomi 5 besar dunia, kita harus perhatikan agar keluar dari middle income trap, kita harus pertumbuhan PDB USD 7,4 triliun. Cita-cita ini sangat indah, tetapi kita harus tahu bagaimana mencapai ini," kata dia.
Shinta juga melihat Presiden Joko Widodo sudah menyatakan komitmennya untuk membuat UU Omnibus Law saat menyampaikan pidato ketika terpilih pada periode kedua.
Bahwa dengan UU itu, presiden bisa menstimulus investor atau pengusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru. Menurut Shinta, saat ini sebagian besar usaha di Indonesia berada di sektor informal.
Selain itu kata dia, kondisi semakin memburuk di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan angka dari Kementeria Ketenagakerjaan ada 10 juta penganguran di Indonesia. Sementara Kadin memiliki catatan angka yang lebih besar terkait pekerja yang dirumahkan selama pandemi.
Sementara lanjut Shinta, Indonesia harus memiliki daya saing agar investor mau menggelontorkan uangnya. Baik investor dalam negeri, luar negeri, maupun UMKM. Sekadar catatan, kata Shinta, nilai investasi per Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 2.200 pekerja baru pada 2016.
"Sekarang ini penyerapan per Rp 1 triliun itu cuma 1.200. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," jelas dia.
Dari sisi regulasi, lanjut Shinta, Indonesia paling banyak aturan dan syarat perizinannya, baik dari pusat maupun daerah. Bahkan, lanjut Shinta, setiap aturan dengan regulasinya pun tumpang tindih sehingga membuat investor terkendala untuk memulai usaha.
Shinta menyadari ada upaya pemerintah pusat dengan membuat Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah pengusaha mengajukan perizinan. Namun, kata Shinta, OSS itu tidak terintegrasi dengan daerah sehingga inovasi itu tidak efektif.
"Ini saya harapkan diharmonisasi pusat dan daerah itu. Satu positifnya UU (Omnibus Law) ini untuk mengharmonisasi peraturan dan izin yang ada," jelas dia.
Shinta juga memandang untuk membangun bisnis di Indonesia biayanya sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. Menurut dia, ini sangat buruk terhadap ekosistem investasi. Akhirnya, daya saing Indonesia kalah dengan negara tetangga lainnya.
"Pesangon kita nomor dua tertinggi seluruh dunia. Tidak hanya pasangon, upah minimum kita juga paling tinggi sedunia. Saya bandingkan saja dengan negara-negara ASEAN upah minimum. Contoh di Vietnam USD 192, Thailand USD 245, Malaysia USD 294, Indonesia USD 313 pada 2020. Itu paling tinggi upah minimum di ASEAN," kata dia.
Sementara itu, kenaikan upah pun demikian. Menurut Shinta, rata-rata kebijakan upah di Indonesia, yaitu 9,7 persen. Hal itu berbanding terbalik dengan Thailand 1,7 persen, Malaysia 5,5 persen, dan Vietnam 7 persen. "Ini juga cost yang tinggi," jelas dia.
Di samping itu, Shinta mengingatkan 97 persen pengusaha di Indonesia dari sektor UMKM. Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat klaster UMKM, di mana sektor tersebut tidak membutuhkan izin, cukup mendaftar untuk memulai usaha.
"Koperasi juga tidak perlu lagi 20 orang, 9 orang sudah cukup membentuk koperasi," jelas dia.
Shinta juga menekankan tidak semua saran dari kalangan pengusaha diterima Tim Tripartit. Di antaranya ialah upah padat karya dan penjatuhan sanksi apabila pengusaha sudah menerapkan kewajiban-kewajibannya.
(Baca juga: Kembali Usut Kasus Korupsi e-KTP, KPK Periksa Eks PNS BPPT)
Menurut dia, Undang-undang itu sudah cukup menyeimbangkan berbagai pihak, baik pengusaha, buruh, maupun UMKM.
(Baca juga: Kontrak Selesai, 36 Pelaut WNI Dipulangkan dari Afrika Selatan)
"Kami menyatakan sangat menyayangkan banyak pihak-pihak yang benar-benar tidak tahu secara substansi UU ini sehingga banyak salah persepsi. Dan ini menimbulkan sudah satu mainset yang enggak bisa diubah, walaupun kami mencoba mengungkapkan fakta-fakta yang ada," kata Shinta dalam diskusi virtual bertema UU Cipta Kerja dan Dampaknya Bagi Kepentingan Publik, Selasa (13/10/2020).
Shinta menyadari, pengusaha sangat membutuhkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini. Sebab, pihak pengusaha sejak dulu sudah menyampaikan kepada pemerintahan bahwa permasalahan besar di Indonesia ini ialah aspek struktural sehingga membutuhkan reformasi.
"Kita disebutkan banyak cita-cita, Indonesia itu mau menjadi negara maju, ekonomi 5 besar dunia, kita harus perhatikan agar keluar dari middle income trap, kita harus pertumbuhan PDB USD 7,4 triliun. Cita-cita ini sangat indah, tetapi kita harus tahu bagaimana mencapai ini," kata dia.
Shinta juga melihat Presiden Joko Widodo sudah menyatakan komitmennya untuk membuat UU Omnibus Law saat menyampaikan pidato ketika terpilih pada periode kedua.
Bahwa dengan UU itu, presiden bisa menstimulus investor atau pengusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru. Menurut Shinta, saat ini sebagian besar usaha di Indonesia berada di sektor informal.
Selain itu kata dia, kondisi semakin memburuk di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan angka dari Kementeria Ketenagakerjaan ada 10 juta penganguran di Indonesia. Sementara Kadin memiliki catatan angka yang lebih besar terkait pekerja yang dirumahkan selama pandemi.
Sementara lanjut Shinta, Indonesia harus memiliki daya saing agar investor mau menggelontorkan uangnya. Baik investor dalam negeri, luar negeri, maupun UMKM. Sekadar catatan, kata Shinta, nilai investasi per Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 2.200 pekerja baru pada 2016.
"Sekarang ini penyerapan per Rp 1 triliun itu cuma 1.200. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," jelas dia.
Dari sisi regulasi, lanjut Shinta, Indonesia paling banyak aturan dan syarat perizinannya, baik dari pusat maupun daerah. Bahkan, lanjut Shinta, setiap aturan dengan regulasinya pun tumpang tindih sehingga membuat investor terkendala untuk memulai usaha.
Shinta menyadari ada upaya pemerintah pusat dengan membuat Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah pengusaha mengajukan perizinan. Namun, kata Shinta, OSS itu tidak terintegrasi dengan daerah sehingga inovasi itu tidak efektif.
"Ini saya harapkan diharmonisasi pusat dan daerah itu. Satu positifnya UU (Omnibus Law) ini untuk mengharmonisasi peraturan dan izin yang ada," jelas dia.
Shinta juga memandang untuk membangun bisnis di Indonesia biayanya sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. Menurut dia, ini sangat buruk terhadap ekosistem investasi. Akhirnya, daya saing Indonesia kalah dengan negara tetangga lainnya.
"Pesangon kita nomor dua tertinggi seluruh dunia. Tidak hanya pasangon, upah minimum kita juga paling tinggi sedunia. Saya bandingkan saja dengan negara-negara ASEAN upah minimum. Contoh di Vietnam USD 192, Thailand USD 245, Malaysia USD 294, Indonesia USD 313 pada 2020. Itu paling tinggi upah minimum di ASEAN," kata dia.
Sementara itu, kenaikan upah pun demikian. Menurut Shinta, rata-rata kebijakan upah di Indonesia, yaitu 9,7 persen. Hal itu berbanding terbalik dengan Thailand 1,7 persen, Malaysia 5,5 persen, dan Vietnam 7 persen. "Ini juga cost yang tinggi," jelas dia.
Di samping itu, Shinta mengingatkan 97 persen pengusaha di Indonesia dari sektor UMKM. Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat klaster UMKM, di mana sektor tersebut tidak membutuhkan izin, cukup mendaftar untuk memulai usaha.
"Koperasi juga tidak perlu lagi 20 orang, 9 orang sudah cukup membentuk koperasi," jelas dia.
Shinta juga menekankan tidak semua saran dari kalangan pengusaha diterima Tim Tripartit. Di antaranya ialah upah padat karya dan penjatuhan sanksi apabila pengusaha sudah menerapkan kewajiban-kewajibannya.
(maf)