Cipta Kerja: Pasal Lingkungan vs Angsa Hijau
loading...
A
A
A
Konsep Green Swan-Future-fit
Sustainability perusahaan sering kali didasarkan pada konsep triple bottom line (TBL), yaitu setiap perusahaan harus memberikan perhatian yang sama kepada ekonomi (keuntungan), lingkungan hidup dan sosial (masyarakat) (Elkington, 1998), atau yang dikenal dengan 3P yaitu profit , people , dan planet . TBL bukan hanya kerangka akuntansi untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kinerja sustainability. Namun pada 2018, Elkington menarik kembali ide TBL tersebut didasarkan pada kekecewaannya pada implementasi TBL. Selama ini pandangan perusahaan sebagian besar menempatkan TBL sebagai kerangka akuntansi saja, sehingga perusahaan terus terdorong untuk mencapai profit dengan mengabaikan sosial dan lingkungan.
Belakangan, Elkington memperkenalkan konsep future-fit dengan istilah Green Swan (Angsa Hijau) untuk perusahaan dapat beroperasi sesuai dengan kebutuhan masa depan (future-fit). Kebutuhan masa depan itu didasarkan pada tiga pemikiran. Pertama, akibat pertumbuhan populasi global, keadaan darurat iklim akan semakin menekan ekonomi dan masyarakat kita. Kedua, kebutuhan dasar miliaran orang di seluruh dunia masih jauh dari terpenuhi. Ketiga, seperti diakui oleh PBB, hanya sektor bisnis yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, meskipun sektor publik dan pemerintah telah pula menetapkan target-target sustainability.
Pada konsep angsa hijau, TBL juga bertujuan membuat perubahan sistem bernama "system value" yang mendorong transformasi kapitalisme. Kapitalisme tidak hanya melulu mengejar keuntungan. Untuk menciptakan nilai dan bisnis jangka panjang, perusahaan perlu mentransformasi kapitalisme pada pola pikir yang berbeda. Pada pola pikir system value, bisnis melayani masyarakat karena keduanya berada di dalam lingkungan alam yang sama (bumi), bergantung pada bumi, dan semestinya membantu melindungi dan meregenerasi lingkungan alam yang lebih luas (bumi).
Perusahaan bisnis hanya dapat berkembang jika masyarakat makmur, yang pada gilirannya menuntut kita semua untuk melindungi sistem pendukung kehidupan di bumi. Sehingga implikasinya, seiring waktu, di dunia yang semakin tidak pasti, fokus pada system value akan menjadi semakin penting untuk kesuksesan bisnis (Elkington, 2020). Ini barangkali seperti mimpi di siang bolong yang saat ini akan membuat para pelaku usaha terbahak-bahak karena mungkin terlalu absurd untuk dapat direalisasikan. Sehubungan dengan hal itu, telah banyak pakar dan konsultan di luar sana yang dapat memberikan bantuan dan dampingan agar perusahaan dapat beroperasi dengan prinsip sustainability. Dan, lihatlah bukti-bukti tak terelakkan, konsumen dan investor semakin sepakat bahwa perusahaan harus ikut andil dalam pelestarian bumi.
Nyata ancaman di depan mata bagi perusahaan yang tidak mempertimbangkan lingkungan hidup dalam operasi bisnisnya, apalagi perusahaan yang merusak lingkungan. Dalam jangka panjang, mereka akan ditinggalkan konsumen dan investor. Jadi, ada atau tidak ada UU Ciptaker, perusahaan yang ingin tetap eksis dalam jangka panjang tetap dituntut untuk melakukan pelestarian lingkungan bersamaan dengan kegiatan bisnis yang dilakukannya. Beyond compliance (lebih dari yang dipersyaratkan) adalah pilihan yang harus dilakukan perusahaan di Indonesia jika benar UU Ciptaker memuat pasal yang mendorong bisnis dan investasi namun melemahkan lingkungan itu. Jika tidak, perusahaan harus bersiap untuk ditinggalkan konsumen dan investornya dan mungkin kita pun perlu bersiap untuk mencari bumi lain.
Sustainability perusahaan sering kali didasarkan pada konsep triple bottom line (TBL), yaitu setiap perusahaan harus memberikan perhatian yang sama kepada ekonomi (keuntungan), lingkungan hidup dan sosial (masyarakat) (Elkington, 1998), atau yang dikenal dengan 3P yaitu profit , people , dan planet . TBL bukan hanya kerangka akuntansi untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kinerja sustainability. Namun pada 2018, Elkington menarik kembali ide TBL tersebut didasarkan pada kekecewaannya pada implementasi TBL. Selama ini pandangan perusahaan sebagian besar menempatkan TBL sebagai kerangka akuntansi saja, sehingga perusahaan terus terdorong untuk mencapai profit dengan mengabaikan sosial dan lingkungan.
Belakangan, Elkington memperkenalkan konsep future-fit dengan istilah Green Swan (Angsa Hijau) untuk perusahaan dapat beroperasi sesuai dengan kebutuhan masa depan (future-fit). Kebutuhan masa depan itu didasarkan pada tiga pemikiran. Pertama, akibat pertumbuhan populasi global, keadaan darurat iklim akan semakin menekan ekonomi dan masyarakat kita. Kedua, kebutuhan dasar miliaran orang di seluruh dunia masih jauh dari terpenuhi. Ketiga, seperti diakui oleh PBB, hanya sektor bisnis yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, meskipun sektor publik dan pemerintah telah pula menetapkan target-target sustainability.
Pada konsep angsa hijau, TBL juga bertujuan membuat perubahan sistem bernama "system value" yang mendorong transformasi kapitalisme. Kapitalisme tidak hanya melulu mengejar keuntungan. Untuk menciptakan nilai dan bisnis jangka panjang, perusahaan perlu mentransformasi kapitalisme pada pola pikir yang berbeda. Pada pola pikir system value, bisnis melayani masyarakat karena keduanya berada di dalam lingkungan alam yang sama (bumi), bergantung pada bumi, dan semestinya membantu melindungi dan meregenerasi lingkungan alam yang lebih luas (bumi).
Perusahaan bisnis hanya dapat berkembang jika masyarakat makmur, yang pada gilirannya menuntut kita semua untuk melindungi sistem pendukung kehidupan di bumi. Sehingga implikasinya, seiring waktu, di dunia yang semakin tidak pasti, fokus pada system value akan menjadi semakin penting untuk kesuksesan bisnis (Elkington, 2020). Ini barangkali seperti mimpi di siang bolong yang saat ini akan membuat para pelaku usaha terbahak-bahak karena mungkin terlalu absurd untuk dapat direalisasikan. Sehubungan dengan hal itu, telah banyak pakar dan konsultan di luar sana yang dapat memberikan bantuan dan dampingan agar perusahaan dapat beroperasi dengan prinsip sustainability. Dan, lihatlah bukti-bukti tak terelakkan, konsumen dan investor semakin sepakat bahwa perusahaan harus ikut andil dalam pelestarian bumi.
Nyata ancaman di depan mata bagi perusahaan yang tidak mempertimbangkan lingkungan hidup dalam operasi bisnisnya, apalagi perusahaan yang merusak lingkungan. Dalam jangka panjang, mereka akan ditinggalkan konsumen dan investor. Jadi, ada atau tidak ada UU Ciptaker, perusahaan yang ingin tetap eksis dalam jangka panjang tetap dituntut untuk melakukan pelestarian lingkungan bersamaan dengan kegiatan bisnis yang dilakukannya. Beyond compliance (lebih dari yang dipersyaratkan) adalah pilihan yang harus dilakukan perusahaan di Indonesia jika benar UU Ciptaker memuat pasal yang mendorong bisnis dan investasi namun melemahkan lingkungan itu. Jika tidak, perusahaan harus bersiap untuk ditinggalkan konsumen dan investornya dan mungkin kita pun perlu bersiap untuk mencari bumi lain.
(bmm)