Fahri Hamzah: Anggota DPR Bukan Wakil Rakyat tapi Wakil Parpol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Heboh iklan penjualan gedung DPR RI dengan harga sangat murah di toko online atau layanan e-commerce direspons Fahri Hamzah sebagai momentum untuk membuat perubahan besar.
"Memang ini waktunya untuk DPR dan politisi secara umum untuk memulai pemikiran yang sifatnya itu sistemik, please jangan lagi kita berpikir sepotong membuat gambar kecil dari persoalan tapi cobalah lihat gambar besarnya," ujar Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia kepada SINDOnews, Rabu (7/10/2020).
Menurut dia, iklan tersebut merupakan sinisme masyarakat atas ketidakpuasan terhadap golongan yang disebut sebagai wakil mereka. Apalagi, dalam praktiknya masyarakat tak punya kuasa atas wakil tersebut. Sebaliknya, anggota DPR dikendalikan oleh ketua umum partai politik masing-masing. Akhirnya, lanjut dia, ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar.
"Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya," tambah mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini.
(Baca: Fahri Hamzah: MK Bisa Batalkan Total Isi UU Cipta Kerja)
Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya," ungkapnya.
Fahri mengungkapkan menulis sebuah buku di akhir masa jabatannya di DPR tahun 2019. Buku itu terakhir yang dia tulis sebagai buku putih.
"Karena saya terus terang ingin menegaskan bahwa kesalahan relasi antara daulat rakyat dengan daulat partai politik apapun suatu hari akan menjadi bom waktu, karena sekali lagi begitu Anggota DPR dicoblos dan habis itu dilantik dan terpilih, terpilih dan dilantik menjadi anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat, mereka berhenti menjadi wakil rakyat dan terpaksa menjadi wakil Parpol," ujarnya.
Menurut dia, Parpol yang memiliki cara berpikir bisa mengendalikan fraksinya di parlemen adalah salah. "Kita jangan mengendalikan DPR dengan komando partai politik," ujar mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Dia mengatakan, partai politik harus dibiarkan bebas untuk mewakili konstituensinya, atau mewakili rakyatnya. "Kalau dengan Omnibus Law ini ada anggota DPR yang basisnya adalah industri, konstituensinya adalah buruh, ya tentu dia harus membela buruh, bukan membela Parpol, tapi sekali lagi ini menjadi lingkaran setan yang tidak selesai-selesai karena pada akhirnya sistemnya tidak berubah," imbuhnya.
"Memang ini waktunya untuk DPR dan politisi secara umum untuk memulai pemikiran yang sifatnya itu sistemik, please jangan lagi kita berpikir sepotong membuat gambar kecil dari persoalan tapi cobalah lihat gambar besarnya," ujar Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia kepada SINDOnews, Rabu (7/10/2020).
Menurut dia, iklan tersebut merupakan sinisme masyarakat atas ketidakpuasan terhadap golongan yang disebut sebagai wakil mereka. Apalagi, dalam praktiknya masyarakat tak punya kuasa atas wakil tersebut. Sebaliknya, anggota DPR dikendalikan oleh ketua umum partai politik masing-masing. Akhirnya, lanjut dia, ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar.
"Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya," tambah mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini.
(Baca: Fahri Hamzah: MK Bisa Batalkan Total Isi UU Cipta Kerja)
Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya," ungkapnya.
Fahri mengungkapkan menulis sebuah buku di akhir masa jabatannya di DPR tahun 2019. Buku itu terakhir yang dia tulis sebagai buku putih.
"Karena saya terus terang ingin menegaskan bahwa kesalahan relasi antara daulat rakyat dengan daulat partai politik apapun suatu hari akan menjadi bom waktu, karena sekali lagi begitu Anggota DPR dicoblos dan habis itu dilantik dan terpilih, terpilih dan dilantik menjadi anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat, mereka berhenti menjadi wakil rakyat dan terpaksa menjadi wakil Parpol," ujarnya.
Menurut dia, Parpol yang memiliki cara berpikir bisa mengendalikan fraksinya di parlemen adalah salah. "Kita jangan mengendalikan DPR dengan komando partai politik," ujar mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Dia mengatakan, partai politik harus dibiarkan bebas untuk mewakili konstituensinya, atau mewakili rakyatnya. "Kalau dengan Omnibus Law ini ada anggota DPR yang basisnya adalah industri, konstituensinya adalah buruh, ya tentu dia harus membela buruh, bukan membela Parpol, tapi sekali lagi ini menjadi lingkaran setan yang tidak selesai-selesai karena pada akhirnya sistemnya tidak berubah," imbuhnya.