Obat Covid-19 Masih Mahal
loading...
A
A
A
SEJUMLAH perusahaan farmasi baik swasta maupun pelat merah sedang berlomba mencari dan menyediakan obat untuk penyembuhan penderita Covid-19. Satu di antara obat yang sudah masuk Indonesia adalah Remdesivir. Beberapa perusahaan farmasi milik negara sudah mengumumkan dan siap mendistribusikan Remdesivir yang diyakini ampuh menyembuhkan pasien virus korona. Bahkan sudah ada yang mematok harga, namun dinilai masih ketinggian untuk setiap dosis obat.
Terkait penawaran harga obat Covid-19, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) telah mewanti-wanti seluruh perusahaan farmasi yang turut serta menyediakan dan mendistribusikan obat Covid-19 tidak memainkan harga jual di pasar. Pria yang lebih akrab dipanggil LBP ini beralasan bahwa kondisi ekonomi dan rasa kemanusiaan menjadi pertimbangan utama agar perusahaan farmasi menjual obat dengan harga wajar.
Untuk memantau harga obat Covid-19 yang dipasarkan di dalam negeri, LBP yang kini ditunjuk khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlibat langsung mengatasi pandemi Covid-19 mengaku bahwa pemerintah sudah mengantongi harga obat berdasarkan negara asalnya atau free on boardseperti India, China, dan Jerman. Daftar harga tersebut akan dijadikan bahan evaluasi kewajaran harga obat-obatan Covid-19 yang ada di pasar domestik. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta melakukan pengawasan secara ketat.
Di antara perusahaan farmasi yang sudah siap menjajal obat antivirus korona di antaranya PT Indofarma Tbk, PT Kimia Farma Tbk, dan PT Kalbe Farma Tbk. Perusahaan pelat merah Indofarma siap memasarkan obat Remdesivir dengan merek dagang Desrem. Obat antivirus untuk pasien Covid-19 tersebut dibanderol dengan harga Rp1,3 juta per vial, sebagai tahap awal baru didistribusikan kepada rumah sakit. Manajemen Indofarma menargetkan pasokan Desrem sekitar 400.000 vial pada bulan ini.
Berdasarkan publikasi perseroan, obat yang diproduksi Mylan Laboratories Limited atas lisensi dari Gilead Sciences Inc, perusahaan farmasi bergengsi dari United States of America (USA), itu telah mendapat lampu hijau dari Emergency Use Authorization di Indonesia. Selain itu, sudah mengantongi persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang ditandai penerbitan Nomor Izin Edar (NIE) sejak 30 September lalu.
Obat tersebut diperuntukkan pada pasien rawat inap Covid-19 dalam kondisi sedang hingga berat dan hanya bisa dikonsumsi pasien usia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kilogram (kg). Desrem berbentuk serbuk injeksi liofilisasi dan dikemas dalam dus per vial 100 mg. Untuk pendistribusian obat yang diimpor dari India itu, manajemen Indofarma akan memprioritaskan pada wilayah dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di Indonesia.
Sementara itu, Kimia Farma tampil dengan produksi obat Covid-19 sendiri yang dikenal dengan nama Favipiravir. Selain itu, badan usaha milik negara (BUMN) melalui anak usaha PT Phapros Tbk juga telah memproduksi sejumlah obat antivirus korona di antaranya Chloroquine, Hydroxychloroquine, Azithromycin, Dexamethasone, dan Methylprednisolon. Perusahaan farmasi milik negara itu mengklaim Favipiravir yang digunakan untuk terapi pasien Covid-19 adalah produk sendiri yang sudah mendapat NIE dari BPOM.
Selanjutnya Kalbe Farma akan menjual obat Covid-19 dengan merek dagang Covifor. Obat tersebut diproduksi perusahaan farmasi asal India, yakni Hetero Pharma. Manajemen BUMN farmasi itu menunjuk Amarox sebagai importir. Awalnya harga Covifor dibanderol senilai Rp3 juta per vial. Belakangan manajemen perseroan mengoreksi harga jual Covifor turun sebesar 50% menjadi Rp1,5 juta per vial. Penurunan harga tersebut sebagaimana dibeberkan Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius sebagai bentuk komitmen perseroan dalam upaya mendukung pemerintah mengatasi pandemi Covid-19.
Sebelumnya BPOM telah memberi izin untuk obat pasien Covid-19 yang siap dipasarkan sejumlah perusahaan farmasi, namun sifatnya emergency use. Karena itu, obat-obat yang diyakini bisa menyembuhkan pasien Covid-19 belum diizinkan untuk dijual bebas dan hanya didistribusikan langsung kepada rumah sakit yang membutuhkan. Pihak BPOM termasuk sangat selektif dan hati-hati dalam merekomendasikan obat pasien Covid-19 sebab banyak hal yang perlu dipertimbangkan, terutama dampak obat itu ke depan terhadap pasien.
Mahalnya harga obat pasien Covid-19 menimbulkan pertanyaan, apakah obat antivirus korona bisa dibuat dalam versi generik? Untuk memproduksi obat versi generik bisa saja, namun harus dipastikan apakah obat yang “dijiplak” memiliki atau tidak proteksi paten sebab proteksi paten obat berlaku 20 tahun. Artinya, harus menunggu 20 tahun untuk mendapatkan versi generik. Jadi, jangan dulu bermimpi mendapatkan obat Covid-19 dengan harga terjangkau. Dan, kita berharap perusahaan farmasi yang berurusan dengan obat Covid-19 tetap melepas harga dengan wajar. (*)
Terkait penawaran harga obat Covid-19, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) telah mewanti-wanti seluruh perusahaan farmasi yang turut serta menyediakan dan mendistribusikan obat Covid-19 tidak memainkan harga jual di pasar. Pria yang lebih akrab dipanggil LBP ini beralasan bahwa kondisi ekonomi dan rasa kemanusiaan menjadi pertimbangan utama agar perusahaan farmasi menjual obat dengan harga wajar.
Untuk memantau harga obat Covid-19 yang dipasarkan di dalam negeri, LBP yang kini ditunjuk khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlibat langsung mengatasi pandemi Covid-19 mengaku bahwa pemerintah sudah mengantongi harga obat berdasarkan negara asalnya atau free on boardseperti India, China, dan Jerman. Daftar harga tersebut akan dijadikan bahan evaluasi kewajaran harga obat-obatan Covid-19 yang ada di pasar domestik. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta melakukan pengawasan secara ketat.
Di antara perusahaan farmasi yang sudah siap menjajal obat antivirus korona di antaranya PT Indofarma Tbk, PT Kimia Farma Tbk, dan PT Kalbe Farma Tbk. Perusahaan pelat merah Indofarma siap memasarkan obat Remdesivir dengan merek dagang Desrem. Obat antivirus untuk pasien Covid-19 tersebut dibanderol dengan harga Rp1,3 juta per vial, sebagai tahap awal baru didistribusikan kepada rumah sakit. Manajemen Indofarma menargetkan pasokan Desrem sekitar 400.000 vial pada bulan ini.
Berdasarkan publikasi perseroan, obat yang diproduksi Mylan Laboratories Limited atas lisensi dari Gilead Sciences Inc, perusahaan farmasi bergengsi dari United States of America (USA), itu telah mendapat lampu hijau dari Emergency Use Authorization di Indonesia. Selain itu, sudah mengantongi persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang ditandai penerbitan Nomor Izin Edar (NIE) sejak 30 September lalu.
Obat tersebut diperuntukkan pada pasien rawat inap Covid-19 dalam kondisi sedang hingga berat dan hanya bisa dikonsumsi pasien usia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kilogram (kg). Desrem berbentuk serbuk injeksi liofilisasi dan dikemas dalam dus per vial 100 mg. Untuk pendistribusian obat yang diimpor dari India itu, manajemen Indofarma akan memprioritaskan pada wilayah dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di Indonesia.
Sementara itu, Kimia Farma tampil dengan produksi obat Covid-19 sendiri yang dikenal dengan nama Favipiravir. Selain itu, badan usaha milik negara (BUMN) melalui anak usaha PT Phapros Tbk juga telah memproduksi sejumlah obat antivirus korona di antaranya Chloroquine, Hydroxychloroquine, Azithromycin, Dexamethasone, dan Methylprednisolon. Perusahaan farmasi milik negara itu mengklaim Favipiravir yang digunakan untuk terapi pasien Covid-19 adalah produk sendiri yang sudah mendapat NIE dari BPOM.
Selanjutnya Kalbe Farma akan menjual obat Covid-19 dengan merek dagang Covifor. Obat tersebut diproduksi perusahaan farmasi asal India, yakni Hetero Pharma. Manajemen BUMN farmasi itu menunjuk Amarox sebagai importir. Awalnya harga Covifor dibanderol senilai Rp3 juta per vial. Belakangan manajemen perseroan mengoreksi harga jual Covifor turun sebesar 50% menjadi Rp1,5 juta per vial. Penurunan harga tersebut sebagaimana dibeberkan Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius sebagai bentuk komitmen perseroan dalam upaya mendukung pemerintah mengatasi pandemi Covid-19.
Sebelumnya BPOM telah memberi izin untuk obat pasien Covid-19 yang siap dipasarkan sejumlah perusahaan farmasi, namun sifatnya emergency use. Karena itu, obat-obat yang diyakini bisa menyembuhkan pasien Covid-19 belum diizinkan untuk dijual bebas dan hanya didistribusikan langsung kepada rumah sakit yang membutuhkan. Pihak BPOM termasuk sangat selektif dan hati-hati dalam merekomendasikan obat pasien Covid-19 sebab banyak hal yang perlu dipertimbangkan, terutama dampak obat itu ke depan terhadap pasien.
Mahalnya harga obat pasien Covid-19 menimbulkan pertanyaan, apakah obat antivirus korona bisa dibuat dalam versi generik? Untuk memproduksi obat versi generik bisa saja, namun harus dipastikan apakah obat yang “dijiplak” memiliki atau tidak proteksi paten sebab proteksi paten obat berlaku 20 tahun. Artinya, harus menunggu 20 tahun untuk mendapatkan versi generik. Jadi, jangan dulu bermimpi mendapatkan obat Covid-19 dengan harga terjangkau. Dan, kita berharap perusahaan farmasi yang berurusan dengan obat Covid-19 tetap melepas harga dengan wajar. (*)
(bmm)