KPAI Usulkan Provider Keluarkan Kartu Khusus untuk Bantuan Kuota Internet
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pemberian bantuan paket kuota internet terhadap siswa, mahasiswa, guru, dan dosen, belum sepenuhnya menyelesaikan masalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Komisioner KPAI Retno Listyarti menilai kuota internet belajar berpotensi menjadi mubajir. Bantuan paket kuota internet ini, mulai dari 20 GB untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 35 GB untuk Sekolah Dasar (SD)-Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 50 GB untuk perguruan tinggi. (Baca juga: Kuota Internet Gratis Harus Tepat Sasaran, Jangan Sampai Mubazir)
Paket terdiri 5 GB untuk kuota umum dan sisanya, kuota belajar. Pemberian paket kuota internet ini seharusnya sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dia menerangkan jika sekolah mengharuskan peserta didik belajar menggunakan aplikasi yang tidak dipaketkan, itu akan masuk ke kuota umum. “Belum lagi, kalau gurunya mengharuskan video call, 5 GB akan cepat habis dibandingkan kuota belajar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (22/9/2020).
Dia mengungkapkan berdasarkan survei KPAI pada April lalu yang melibatkan 1.700 responden, kuota belajar kemungkinan akan mubajir karena jarang digunakan. Mayoritas guru lebih senang menggunakan aplikasi yang banyak menggunakan kuota umum. “Kalau kuota belajar minim pemakaiannya padahal jumlahnya banyak, hal ini perlu disiasati. Hal itu agar uang negara dapat dioptimalkan membantu PJJ daring. Jangan malah menguntungkan provider,” tegasnya. (Baca juga: Berkaca Kasus Ibu Bunuh Anak, Komisi X DPR Ingatkan Dampak Negatf PJJ)
Mantan Kepala SMAN 3 Jakarta itu mengusulkan provider mengeluarkan kartu khusus untuk pelajar dan fleksibel penggunaannya sesuai kebutuhan pembelajaran. Jadi kartu tersebut hanya digunakan untuk siswa dan tidak bisa diperjualbelikan.
Provider, menurutnya, bisa mengeluarkan kartu baru yang sudah aktif dengan masa berlaku antara 1 sampai 6 bulan. “Hal ini lebih efektif dibandingkan dengan mengeluarkan paket belajar dari provider dan bisa diakses di aplikasi, tetapi semua masyarakat bisa membeli. Akhirnya malah bukan khusus siswa, bisa salah sasaran,” pungkasnya.
Komisioner KPAI Retno Listyarti menilai kuota internet belajar berpotensi menjadi mubajir. Bantuan paket kuota internet ini, mulai dari 20 GB untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 35 GB untuk Sekolah Dasar (SD)-Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 50 GB untuk perguruan tinggi. (Baca juga: Kuota Internet Gratis Harus Tepat Sasaran, Jangan Sampai Mubazir)
Paket terdiri 5 GB untuk kuota umum dan sisanya, kuota belajar. Pemberian paket kuota internet ini seharusnya sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dia menerangkan jika sekolah mengharuskan peserta didik belajar menggunakan aplikasi yang tidak dipaketkan, itu akan masuk ke kuota umum. “Belum lagi, kalau gurunya mengharuskan video call, 5 GB akan cepat habis dibandingkan kuota belajar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (22/9/2020).
Dia mengungkapkan berdasarkan survei KPAI pada April lalu yang melibatkan 1.700 responden, kuota belajar kemungkinan akan mubajir karena jarang digunakan. Mayoritas guru lebih senang menggunakan aplikasi yang banyak menggunakan kuota umum. “Kalau kuota belajar minim pemakaiannya padahal jumlahnya banyak, hal ini perlu disiasati. Hal itu agar uang negara dapat dioptimalkan membantu PJJ daring. Jangan malah menguntungkan provider,” tegasnya. (Baca juga: Berkaca Kasus Ibu Bunuh Anak, Komisi X DPR Ingatkan Dampak Negatf PJJ)
Mantan Kepala SMAN 3 Jakarta itu mengusulkan provider mengeluarkan kartu khusus untuk pelajar dan fleksibel penggunaannya sesuai kebutuhan pembelajaran. Jadi kartu tersebut hanya digunakan untuk siswa dan tidak bisa diperjualbelikan.
Provider, menurutnya, bisa mengeluarkan kartu baru yang sudah aktif dengan masa berlaku antara 1 sampai 6 bulan. “Hal ini lebih efektif dibandingkan dengan mengeluarkan paket belajar dari provider dan bisa diakses di aplikasi, tetapi semua masyarakat bisa membeli. Akhirnya malah bukan khusus siswa, bisa salah sasaran,” pungkasnya.
(cip)