Serangan Nine Eleven yang Menggoncang Dunia (Bagian 5)
loading...
A
A
A
Sebagai bisnisman yang visioner Sharif memiliki rencana besar dengan gedung itu. Yaitu ingin membangun sebuah Islamic Center yang lengkap. Termasuk dapur/restoran, Kolam renang, bahkan musium WTC dan Islam Amerika. Tentu termasuk di dalamnya masjid. Perkiraan harga yang diperlukan mencapai ratusan US Dollar saat itu.
Sayang ketika niat mulia itu dimulai terjadi eksposur yang tidak proporsional. Sebagian bahkan menjadikannya sebagai isu politik alias dipolitisir. Maka hebohlah New York bahkan Amerika. Terjadi resistensi keras terhadap rencana pendirian Islamic Center itu. Itu hanya satu contoh betapa di tengah tantangan Islamophobia pasca 9/11 itu justeru menjadi awal penyadaran Islam kepada orang-orang Islam sendiri. Orang seperti Sharif El-Gamal ini berbalik dari tidak peduli agama menjadi pejuang agama.
Mengganti Nama
Akan tetapi pada sisi lain, betapa tidak sedikit juga orang-orang Islam di Amerika yang “over worried” (ketakutan berlebihan) sehingga mereka merasa dipaksa untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Ada beberapa wanita yang menanggalkan jilbab. Padahal dukungan sebagian warga Amerika saat itu luar biasa. Di beberapa universitas mahasiswi-mahasiswi non Muslims yang sengaja memakai hijab atau jilbab untuk sekedar memberikan dukungan (solidaritas) kepada wanita-wanita Muslimah.
Ada juga yang selama ini menganggap janggut sebagai simbol keislaman dan kebanggaan baginya, kini mereka mencukur habis janggutnya. Atau mennganti style pakaian mereka dari pakaian traditional Asia Selatan misalnya (shalwar gamiz) ke pakaian ala Texas (Jeans). Bahkan tidak sedikit orang Islam ketika itu merasa harus mengganti nama untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Dari Daud menjadi David. Yunus menjadi Jones, Musa menjadi Moses, bahkan Mohammad menjadi Mo.
Ada cerita lucu yang biasa saya sampaikan di mana-mana. Sekitar sebulan setelah serangan 9/11 saya diundang menjadi salah seorang pembicara tentang hubungan antar agama pasca 9/11 di Princeton University. Sebuah acara yang cukup mendebarkan hati saya. Maklum saya akan mewakili Islam yang saat itu dituduh sebagai agama teror.
Sebelum masuk kampus Saya sempatkan singgah di sebuah kedai Dunkin Donat untuk sekedar membeli segelas kopi. Ketika masuk di kedai itu saya melihat pelayannya seorang pria berwajah Pakistan. Tapi di nama pengenalnya (name tag) bertuliskan “MO”. Mirip nama China.
Ketika saya akan membayar kopi itu saya saya mengulurkan tangan menyerahkan uangnya sambil bertanya: “what is your name?” (Siapa namamu?”.
Dia tersenyum dan memperlihatkan kartu pengenal di dadanya: MO.
Saya kemudian bertanya: “where are you from?” (Berasal dari mana?”.
Sayang ketika niat mulia itu dimulai terjadi eksposur yang tidak proporsional. Sebagian bahkan menjadikannya sebagai isu politik alias dipolitisir. Maka hebohlah New York bahkan Amerika. Terjadi resistensi keras terhadap rencana pendirian Islamic Center itu. Itu hanya satu contoh betapa di tengah tantangan Islamophobia pasca 9/11 itu justeru menjadi awal penyadaran Islam kepada orang-orang Islam sendiri. Orang seperti Sharif El-Gamal ini berbalik dari tidak peduli agama menjadi pejuang agama.
Mengganti Nama
Akan tetapi pada sisi lain, betapa tidak sedikit juga orang-orang Islam di Amerika yang “over worried” (ketakutan berlebihan) sehingga mereka merasa dipaksa untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Ada beberapa wanita yang menanggalkan jilbab. Padahal dukungan sebagian warga Amerika saat itu luar biasa. Di beberapa universitas mahasiswi-mahasiswi non Muslims yang sengaja memakai hijab atau jilbab untuk sekedar memberikan dukungan (solidaritas) kepada wanita-wanita Muslimah.
Ada juga yang selama ini menganggap janggut sebagai simbol keislaman dan kebanggaan baginya, kini mereka mencukur habis janggutnya. Atau mennganti style pakaian mereka dari pakaian traditional Asia Selatan misalnya (shalwar gamiz) ke pakaian ala Texas (Jeans). Bahkan tidak sedikit orang Islam ketika itu merasa harus mengganti nama untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Dari Daud menjadi David. Yunus menjadi Jones, Musa menjadi Moses, bahkan Mohammad menjadi Mo.
Ada cerita lucu yang biasa saya sampaikan di mana-mana. Sekitar sebulan setelah serangan 9/11 saya diundang menjadi salah seorang pembicara tentang hubungan antar agama pasca 9/11 di Princeton University. Sebuah acara yang cukup mendebarkan hati saya. Maklum saya akan mewakili Islam yang saat itu dituduh sebagai agama teror.
Sebelum masuk kampus Saya sempatkan singgah di sebuah kedai Dunkin Donat untuk sekedar membeli segelas kopi. Ketika masuk di kedai itu saya melihat pelayannya seorang pria berwajah Pakistan. Tapi di nama pengenalnya (name tag) bertuliskan “MO”. Mirip nama China.
Ketika saya akan membayar kopi itu saya saya mengulurkan tangan menyerahkan uangnya sambil bertanya: “what is your name?” (Siapa namamu?”.
Dia tersenyum dan memperlihatkan kartu pengenal di dadanya: MO.
Saya kemudian bertanya: “where are you from?” (Berasal dari mana?”.