Tiga Hal Positif RUU Ciptaker untuk Pekerja yang Kurang Terekspos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional, Ristadi mengatakan, pada prinsipnya Serikat Pekerja setuju pada upaya pemerintah melakukan debirokratisasi, mempermudah izin investasi untuk meningkatkan pertumbuhan, dan membuka lapangan kerja, namun jangan sampai mengabaikan perlindungan dan kesejahteraan buruh di Indonesia.
(Baca juga: Ketua Komisi X: RUU Ciptaker Bisa Jadikan Indonesia Pasar Bebas Pendidikan)
Hal itu disampaikan Ristadi dalam sebuah forum diskusi online bertema Bagaimana Posisi dan Nasib Pekerja dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker), Jumat (11/9/2020) malam. (Baca juga: UU Omnibus Law Target Diketok Oktober Mendatang, Jika Benar Super Cepat)
Menurut Ristadi, Klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta kerja terdapat di Bab IV, Pasal 88, 89,90,91, itu ada yang menghapus dan menambahi, tiga Undang-undang yang berlaku, yaitu UU Ketenagakerjaan, UU BPJS dan UU SJSN.
"Ada yang dihapus, tapi muncul di pasal lain yang kalau tidak dibaca teliti seolah sudah dihapus di RUU Cipta Kerja, seperti larangan pengusaha membayar upah minimum itu masih ada di pasal lain," kata Ristadi.
Menurutnya, banyak yang tak membaca utuh dan komprehensif postur RUU Cipta Kerja Klaster ketenagakerjaan. Selain itu menjadi tidak obyektif ketika ada sentimen politik.
Diakuinya, ada hal-hal baru dalam RUU Cipta Kerja, belum diatur Undang-undang sebelumnya, dan cukup positif namun kurang terekspos. Pertama, akan diberikannya kompensasi kepada pekerja kontrak yang di PHK dalam masa kerja minimal satu tahun.
Kedua, akan diatur soal jaminan kehilangan pekerjaan yang dalam UU BPJS itu tidak ada. Ketiga, ada pengaturan tentang penghargaan lainnya. Yang akan diberikan pada pekerja yang masih aktif bekerja dalam rentang masa kerja minimal 3-6 tahun mendapat satu bulan gaji, masa kerja 6-9 tahun mendapat dua bulan gaji, dan seterusnya kelipatan 3 tahun.
"Itu kurang terekspos mungkin dianggap kurang menarik, lebih tertarik pada isi yang menghantam pemerintah seperti indikasi pesangon hilang, PHK dipermudah dan lain sebagainya," ujar Ristadi.
Meski demikian, Ristadi juga mengungkapkan, masih ada hal yang dianggap rekan-rekan buruh berpotensi merugikan pekerja seperti tentang penurunan nilai pesangon, dari batas sepuluh tahun menjadi delapan tahun, ada penurunan satu bulan gaji.
"Kemudian secara menyeluruh belum diatur bagaimana kalau perusahaan pailit, bangkrut itu bagaimana penyelesaian ya, hanya disebutkan akan diatur dalam peraturan pemerintah," terangnya.
Ristadi juga menjelaskan, fakta ketenagakerjaan di Indonesia saat ini. Dari hasil survei KSPN pertengahan 2019 di 23 kabupaten kota Industri besar, di enam provinsi di Jawa. Dengan mengambil responden yang tidak berserikat.
"Dari 1.000 responden hanya 6 orang yang statusnya pekerja tetap, sementara 994 pekerja kontrak dengan masa kontrak rata-rata diatas lima tahun. Ada 692 yang mendapat upah di bawah upah minimum. Namun yang cukup bagus ada 768 sudah ikut Jamsostek," papar Ristadi.
Ristadi juga melihat kondisi pekerja di sektor perbankan dan otomotif yang relatif bagus. Tapi di sektor padat kerja, tekstil garmen, hotel, pariwisata dan yang lain masih memprihatinkan.
"Jadi, sikap kami terhadap UU Omnibuslaw Cipta Kerja, kami berharap, revisi atau ketentuan UU baru harusnya menjawab fakta-fakta di lapangan itu," ujarnya.
(Baca juga: Ketua Komisi X: RUU Ciptaker Bisa Jadikan Indonesia Pasar Bebas Pendidikan)
Hal itu disampaikan Ristadi dalam sebuah forum diskusi online bertema Bagaimana Posisi dan Nasib Pekerja dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker), Jumat (11/9/2020) malam. (Baca juga: UU Omnibus Law Target Diketok Oktober Mendatang, Jika Benar Super Cepat)
Menurut Ristadi, Klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta kerja terdapat di Bab IV, Pasal 88, 89,90,91, itu ada yang menghapus dan menambahi, tiga Undang-undang yang berlaku, yaitu UU Ketenagakerjaan, UU BPJS dan UU SJSN.
"Ada yang dihapus, tapi muncul di pasal lain yang kalau tidak dibaca teliti seolah sudah dihapus di RUU Cipta Kerja, seperti larangan pengusaha membayar upah minimum itu masih ada di pasal lain," kata Ristadi.
Menurutnya, banyak yang tak membaca utuh dan komprehensif postur RUU Cipta Kerja Klaster ketenagakerjaan. Selain itu menjadi tidak obyektif ketika ada sentimen politik.
Diakuinya, ada hal-hal baru dalam RUU Cipta Kerja, belum diatur Undang-undang sebelumnya, dan cukup positif namun kurang terekspos. Pertama, akan diberikannya kompensasi kepada pekerja kontrak yang di PHK dalam masa kerja minimal satu tahun.
Kedua, akan diatur soal jaminan kehilangan pekerjaan yang dalam UU BPJS itu tidak ada. Ketiga, ada pengaturan tentang penghargaan lainnya. Yang akan diberikan pada pekerja yang masih aktif bekerja dalam rentang masa kerja minimal 3-6 tahun mendapat satu bulan gaji, masa kerja 6-9 tahun mendapat dua bulan gaji, dan seterusnya kelipatan 3 tahun.
"Itu kurang terekspos mungkin dianggap kurang menarik, lebih tertarik pada isi yang menghantam pemerintah seperti indikasi pesangon hilang, PHK dipermudah dan lain sebagainya," ujar Ristadi.
Meski demikian, Ristadi juga mengungkapkan, masih ada hal yang dianggap rekan-rekan buruh berpotensi merugikan pekerja seperti tentang penurunan nilai pesangon, dari batas sepuluh tahun menjadi delapan tahun, ada penurunan satu bulan gaji.
"Kemudian secara menyeluruh belum diatur bagaimana kalau perusahaan pailit, bangkrut itu bagaimana penyelesaian ya, hanya disebutkan akan diatur dalam peraturan pemerintah," terangnya.
Ristadi juga menjelaskan, fakta ketenagakerjaan di Indonesia saat ini. Dari hasil survei KSPN pertengahan 2019 di 23 kabupaten kota Industri besar, di enam provinsi di Jawa. Dengan mengambil responden yang tidak berserikat.
"Dari 1.000 responden hanya 6 orang yang statusnya pekerja tetap, sementara 994 pekerja kontrak dengan masa kontrak rata-rata diatas lima tahun. Ada 692 yang mendapat upah di bawah upah minimum. Namun yang cukup bagus ada 768 sudah ikut Jamsostek," papar Ristadi.
Ristadi juga melihat kondisi pekerja di sektor perbankan dan otomotif yang relatif bagus. Tapi di sektor padat kerja, tekstil garmen, hotel, pariwisata dan yang lain masih memprihatinkan.
"Jadi, sikap kami terhadap UU Omnibuslaw Cipta Kerja, kami berharap, revisi atau ketentuan UU baru harusnya menjawab fakta-fakta di lapangan itu," ujarnya.
(maf)