Omnibus Law Cipta Kerja Tak Boleh Diselesaikan Lewat Kebut Semalam
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Elnino M Husein Mohi menilai pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja tak boleh dilakukan lewat sistem kebut semalam. Dia juga menilai Omnibus Law Cipta Kerja juga tak bisa diselesaikan dalam waktu tiga bulan, empat bulan atau lima bulan.
"Kalau harus 5 tahun, why not? Yang penting hasilnya semaksimal mungkin, lewat kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan undang-undang yang telah diatur Undang-undang 12/2011 dan perubahannya," ujar Elnino dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/4/2020). (Baca juga: Di Tengah Pandemi COVID-19, DPR Tetap Bahas RUU Ciptaker dengan Pemerintah)
Dia mengatakan, RUU Cipta Kerja itu harus dikaji betul. Dia melanjutkan, maksud penciptaan iklim investasi yang kondusif, jangan sampai justru mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. "Serta kepemilikan negara terhadap bumi, dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, Pasal 33 UUD 1945," ujarnya. (Baca juga: Begini Urutan Pembahasan Omnibus Law Ciptaker di Baleg DPR)
Dia menuturkan, RUU Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak Undang-undang sekaligus. "Sederhananya, RUU sapujagat. For everything! Hanya 174 pasal, memang. Tapi, secara subtansi RUU ini memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi," ungkap Sekretaris Fraksi Partai Gerindra MPR ini.
Dia menambahkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan itu mencakup banyak isu penting dan strategis yang perlu dikaji betul, semisal lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, penyederhanaan prosedur investasi, dan lain-lain. "Meski tujuannya fokus untuk merampingkan regulasi bagi penciptaan kerja, tapi jangan sampai short-cut-nya salah," tuturnya.
Alih-alih menyederhanakan, kata dia, RUU itu malah bikin ribet. Dia berpendapat, dimaksudkan untuk menghapus over-lapping dan over-regulated, malah justru sebaliknya. Elnino mengatakan, tercatat RUU Cipta Kerja ini mensyaratkan 500-an aturan turunan yakni peraturan pemerintah yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak.
"Akhirnya, tak ada undang-undang yang sempurna. Namun, tugas konstitusional kita adalah memperhatikan semua hal secara menyeluruh dalam hal melakukan penyempurnaan untuk sebesar-besarnya memenangkan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penyempurnaan aspek investasi, jangan sampai mengorbankan aspek yang lain. "Sebagai catatan, saya pernah terlibat dalam perancangan Draft RUU Penyiaran, dari awal 2015 hingga september 2019. Hanya sekitar 160 pasal sederhana, tapi akhirnya Draft RUU tersebut gagal diundangkan, bahkan gagal jadi RUU hingga masa jabatan saat itu habis," katanya.
Karena, kata dia, proses akademiknya lama, melibatkan banyak orang. Juga proses politiknya lama, karena melibatkan banyak fraksi di DPR yang berbeda perspektif satu dengan yang lain. Padahal, saat itu semua orang sepakat agar UU Penyiaran Tahun 2002 harus segera diganti dengan UU baru karena perkembangan teknologi informasi dan penyiaran. Sepakat untuk segera mengundangkan, tapi akhirnya tidak ketemu titik kesepakatannya.
"Apalagi RUU Omnibus Law yang tebalnya luar biasa ini. Belum pula kondisi sekarang ini yang WFH (Work From Home-red) tentu agak menghambat jalannya perdebatan dan diskusi yang baik untuk penyempurnaan RUU. Kalau ingin UU ini benar-benar pro rakyat, pro negara, dan pro masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik," ucapnya.
"Kalau harus 5 tahun, why not? Yang penting hasilnya semaksimal mungkin, lewat kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan undang-undang yang telah diatur Undang-undang 12/2011 dan perubahannya," ujar Elnino dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/4/2020). (Baca juga: Di Tengah Pandemi COVID-19, DPR Tetap Bahas RUU Ciptaker dengan Pemerintah)
Dia mengatakan, RUU Cipta Kerja itu harus dikaji betul. Dia melanjutkan, maksud penciptaan iklim investasi yang kondusif, jangan sampai justru mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. "Serta kepemilikan negara terhadap bumi, dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, Pasal 33 UUD 1945," ujarnya. (Baca juga: Begini Urutan Pembahasan Omnibus Law Ciptaker di Baleg DPR)
Dia menuturkan, RUU Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak Undang-undang sekaligus. "Sederhananya, RUU sapujagat. For everything! Hanya 174 pasal, memang. Tapi, secara subtansi RUU ini memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi," ungkap Sekretaris Fraksi Partai Gerindra MPR ini.
Dia menambahkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan itu mencakup banyak isu penting dan strategis yang perlu dikaji betul, semisal lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, penyederhanaan prosedur investasi, dan lain-lain. "Meski tujuannya fokus untuk merampingkan regulasi bagi penciptaan kerja, tapi jangan sampai short-cut-nya salah," tuturnya.
Alih-alih menyederhanakan, kata dia, RUU itu malah bikin ribet. Dia berpendapat, dimaksudkan untuk menghapus over-lapping dan over-regulated, malah justru sebaliknya. Elnino mengatakan, tercatat RUU Cipta Kerja ini mensyaratkan 500-an aturan turunan yakni peraturan pemerintah yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak.
"Akhirnya, tak ada undang-undang yang sempurna. Namun, tugas konstitusional kita adalah memperhatikan semua hal secara menyeluruh dalam hal melakukan penyempurnaan untuk sebesar-besarnya memenangkan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penyempurnaan aspek investasi, jangan sampai mengorbankan aspek yang lain. "Sebagai catatan, saya pernah terlibat dalam perancangan Draft RUU Penyiaran, dari awal 2015 hingga september 2019. Hanya sekitar 160 pasal sederhana, tapi akhirnya Draft RUU tersebut gagal diundangkan, bahkan gagal jadi RUU hingga masa jabatan saat itu habis," katanya.
Karena, kata dia, proses akademiknya lama, melibatkan banyak orang. Juga proses politiknya lama, karena melibatkan banyak fraksi di DPR yang berbeda perspektif satu dengan yang lain. Padahal, saat itu semua orang sepakat agar UU Penyiaran Tahun 2002 harus segera diganti dengan UU baru karena perkembangan teknologi informasi dan penyiaran. Sepakat untuk segera mengundangkan, tapi akhirnya tidak ketemu titik kesepakatannya.
"Apalagi RUU Omnibus Law yang tebalnya luar biasa ini. Belum pula kondisi sekarang ini yang WFH (Work From Home-red) tentu agak menghambat jalannya perdebatan dan diskusi yang baik untuk penyempurnaan RUU. Kalau ingin UU ini benar-benar pro rakyat, pro negara, dan pro masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik," ucapnya.
(cip)