Pemerintah Soroti Empat Isu Krusial RUU Penanggulangan Bencana

Senin, 07 September 2020 - 18:49 WIB
loading...
Pemerintah Soroti Empat Isu Krusial RUU Penanggulangan Bencana
Mensos Juliari P Batubara menyebut ada empat isu krusial dalam RUU Penanggulangan Bencana yang disoroti pemerintah. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VIII DPR dengan Menteri Sosial (Mensos), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Menteri Kesehatan (Menkes), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pemerintah dan DPR sepakat membahas Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (RUU PB).

Dalam pandangan resminya, pemerintah menyoroti empat isu krusial dalam RUU tersebut. Salah satunya, pemerintah merasa tidak perlu ada pencantuman lembaga kebencanaan dalam RUU ini, pemerintah juga keberatan mengenai pengalokasian dana siap pakai 2% dari APBN untuk penanggulangan bencana. “Pada prinsipnya pemerintah sangat mendukung usulan inisatif DPR atas RUU tentang penanggulangan bencana dan kami siap membahas pada rapat-rapat berikutnya,” kata Mensos Juliari P Batubara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (7/9/2020).

Juliari memaparkan, alinea ke-IV Pembukaan UUD 45 mengamanatkan negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar tersebut, pemerintah bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “Termasuk di dalamnya untuk melakukan perlindungan dan penanggulangan terhadap bencana,” imbuhnya. (Baca juga: RUU Penanggulangan Bencana Ditargetkan Selesai Awal Oktober)

Belakangan ini, sambung politikus PDIP ini, frekuensi terjadinya bencana di wilayah NKRI secara kuantitatif dan kualitatif jenisnya cenderung meningkat baik bencana yang disebabkan faktor alam, nonalam, maupun sosial. Untuk bencana yang disebabkan oleh faktor nonalam meliputi, gagal teknologi, wabah penyakit seperti Covid-19, kebakaran hutan, kebakaran lahan. kebakaran kawasan permukiman, hama, kecelakaan transportasi dan wabah penyakit. “Sedangkan untuk bencana yang disebabkan oleh faktor sosial meliputi konflik antarkelompk atau konflik sosial antarkomunitas masyarakat dan tindakan terorisme,” urai Juliari.

Menurut Juliari, pemerintah berpandangan perlu adanya UU baru mengenai penaggulangan bencana yang lebih komprehensif. UU baru mengenai penanggulangan bencana dimaksudkan sebagai pengganti UU 24/2007 diharapkan berisikan sistem atau pengaturan penanggulangan bencana yang lebih terencana dan terpadu. (Baca juga: DPR-Gugus Tugas Corona Sepakat Percepat Revisi UU Penanggulangan Bencana)

Setelah mempelajari dan mencermati RUU tentang Pennaggulangan Bencana, kata dia, terdapat empat isu krusial yang dibahas lebih lanjut guna mendapatkan pemahaman yang sama dalam RUU ini. Pertama, pemerintah sepakat pengaturan mengenai kelembagaan diatur dalam RUU ini, namun cukup besaran dan yang pokok saja khususnya yang terkait dengan fungsi lembaga penanggulangan bencana yang meliputi fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana.

“Begitu juga terkait dengan penamaan lembaga, pemerintah berpendapat tidak perlu menyebutkan nama dari lembaga yang menyelenggarakan penanggulangan bencana. Sebaiknya pengaturan terkait dengan syarat dan tata cara pengangkatan kepada lembaga, penjabaran fungsi koordinasi, komando dan pelaksana serta tugas struktur organisasi dan tata kerja lembaga akan diatur dengan fleksibilitas pengaturan,” imbuhnya. (Baca juga: Komisi VIII DPR Fokus Rampungkan RUU Penanggulangan Bencana)

Kedua, lanjut Juliari, pemerintah sepakat mengatur pengalokasian anggaran dalam RUU ini, namun kami berpendapat tidak perlu mengatur pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai dengan mencantumkan persentase secara spesifik yaitu sebesar paling sedikit 2% dari APBN, melainkan cukup diatur dalam kaitannya dengan pengalokasian anggaran negara penanggulangan bencana secara memadai. “Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya mandatory spending yang akan membebani anggaran negara untuk memberikan keleluasaan fiskal,” terangnya.

Ketiga, kata dia, ketentuan pidana yang diatur dalam RUU tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah mengusulkan dalam penjatuhan sanksi pidana tidak menerapkan sanksi pidana minimal baik pidana penjara maupun pidana denda, melainkan yang diterapkan adalah sanksi pidana maksimal. “Hal ini didasarkan pada pertimbangan tentang Penanggulangan Bencana yang diatur dalam RUU tentang Penanggulangan Bencana bukan termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa,” kata Juliari.

Terakhir, dia menambahkan, pemerintah sepakat mengenai peran lembaga usaha dan lembaga internasional dalam RUU ini, namun diperlukan adanya penambahan peran masyarkat dalam penanggulangan bencana, baik pada saat prabencana, darurat bencana maupun pascabencana. Karena, selama ini masyarakat telah berperan aktif membantu pemerintah dalam hal penanggulangan bencana. “Demikian pandangan pemerintah terhadap RUU tentang Penanggulangan Bencana, semoga dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam pembahasan,” katanya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.9029 seconds (0.1#10.140)