Kontestan Pilkada Sedikit, Burhanuddin Muhtadi: Demokrasi Semakin Tergerus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kontestasi politik Indonesia, baik pemilihan kepala daerah (Pilkada), legislatif (pileg), maupun presiden (pilpres), selalu dikaitkan dengan semakin menguatnya oligarki. Jika semakin kuat, dikhawatirkan tidak ada lagi kompetisi dalam sistem demokrasi Indonesia.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menerangkan oligarki itu biasanya tidak tunggal. Mereka kadang mempunyai kepentingan yang sama. Akan tetapi, kadang mereka saling berkompetisi satu sama lain. “Persekongkolan oligarki di politik lokal, kalau kita lihat belakangan itu makin lama mengalami krisis kompetisi. Kalau tidak ada kompetisi atau kontestasi itu berarti (demokrasi) hilang,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Oligarki dan HAM: Konsep dan Praktiknya di Indonesia”, Senin (7/9/2020). (Baca juga: Calon Tunggal di Pilkada Imbas Perilaku Parpol Ambil Jalan Praktis)
Indikasi demokrasi itu semakin tergerus adalah jumlah kontestan pilkada semakin menurun. Sebelum pilkada serentak 2015, rata-rata peserta 5-6 pasangan calon (paslon). Bahkan pernah ada satu daerah memiliki 11 paslon. “Karena waktu itu persyaratan calon independen mudah, sekarang sulit. Sekarang rata-rata peserta pilkada enggak sampai tiga. Makin lama, calon tunggal meningkat. Sekarang potensi kotak kosong itu 28 (daerah),” tuturnya. (Baca juga: Calon Tunggal di Pilkada Jadi Musibah Bagi Demokrasi)
Lulusan Universitas Islam Negeri Jakarta itu menegaskan kompetisi itu ruh demokrasi. Kenyataanya, di beberapa daerah terjadi anomali. Ada beberapa pertahana dengan elektabilitas tinggi tidak bisa maju, seperti di Kendal dan Wonosobo. Begitu juga dengan Wali Kota Jambi Syarif Fasha tidak bisa maju dalam pemilihan gubernur karena kekurangan dukungan partai politik. “Lama kelamaan rebutan rekom untuk menghindari kompetisi sebenarnya,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menerangkan oligarki itu biasanya tidak tunggal. Mereka kadang mempunyai kepentingan yang sama. Akan tetapi, kadang mereka saling berkompetisi satu sama lain. “Persekongkolan oligarki di politik lokal, kalau kita lihat belakangan itu makin lama mengalami krisis kompetisi. Kalau tidak ada kompetisi atau kontestasi itu berarti (demokrasi) hilang,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Oligarki dan HAM: Konsep dan Praktiknya di Indonesia”, Senin (7/9/2020). (Baca juga: Calon Tunggal di Pilkada Imbas Perilaku Parpol Ambil Jalan Praktis)
Indikasi demokrasi itu semakin tergerus adalah jumlah kontestan pilkada semakin menurun. Sebelum pilkada serentak 2015, rata-rata peserta 5-6 pasangan calon (paslon). Bahkan pernah ada satu daerah memiliki 11 paslon. “Karena waktu itu persyaratan calon independen mudah, sekarang sulit. Sekarang rata-rata peserta pilkada enggak sampai tiga. Makin lama, calon tunggal meningkat. Sekarang potensi kotak kosong itu 28 (daerah),” tuturnya. (Baca juga: Calon Tunggal di Pilkada Jadi Musibah Bagi Demokrasi)
Lulusan Universitas Islam Negeri Jakarta itu menegaskan kompetisi itu ruh demokrasi. Kenyataanya, di beberapa daerah terjadi anomali. Ada beberapa pertahana dengan elektabilitas tinggi tidak bisa maju, seperti di Kendal dan Wonosobo. Begitu juga dengan Wali Kota Jambi Syarif Fasha tidak bisa maju dalam pemilihan gubernur karena kekurangan dukungan partai politik. “Lama kelamaan rebutan rekom untuk menghindari kompetisi sebenarnya,” ucapnya.
(cip)