Calon Tunggal di Pilkada Imbas Perilaku Parpol Ambil Jalan Praktis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah ( Pilkada) Serentak 2020 dihantui banyak calon tunggal. Setidaknya ada 30 daerah yang berpotensi menyajikan pertarungan lawan kotak kosong.
Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran (Unpad), Idil Akbar mengatakan pilkada dengan calon tunggal diakibatkan oleh perilaku partai politik (parpol) yang tidak percaya diri untuk memajukan kadernya sendiri. Parpol gagal dalam menjalankan rekrutmen atau kaderisasi politik. (Baca juga: Hanafi Rais Mundur dari DPR sejak Mei, Ini Alasan PAN Belum Lakukan PAW)
“(Parpol) melihat calon yang berbasiskan kemampuan finansial dan politik, terutama sisi popularitas dan elektabilitas. Kemudian, parpol mengambil jalan praktis mencalonkan yang mempunyainya peluang besar untuk menang,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews , Kamis (27/8/2020).
Jumlah calon tunggal pada setiap pilkada terus meningkat. Pada Pilkada Serentak 2017 ada 9 daerah. Daerah-daerah itu, antara lain Kabupaten Pati, Buton, Tulang Bawang, serta Kota Sorong, dan Jayapura.
Tahun berikutnya, jumlahnya meningkat menjadi 19 daerah. Wilayah menggelar pilkada tunggal itu, antara lain Kabupaten Tangerang, Prabumulih, Lebak, Minahasa Tenggara, Karanganyar.
Pilkada tahun ini, beberapa daerah yang berpotensi menggelar pilkada dengan calon tunggal, antara lain Kabupaten Ngawi, Semarang, Sragen, Boyolali, dan Pematang Siantar. “(Kalau terjadi) Berarti ada peningkatan yang luar biasa di tahun 2020,” ucap Idil.
Idil menerangkan pilkada dengan calon tunggal akan berimplikasi pada jalannya pemerintahan. Dari semua pilkada calon tunggal, hanya di Kota Makassar, kotak kosong menang.
Idil memaparkan dengan dukungan semua parpol di legislatif akan berdampak pada stabilitas jalannya pemerintahan. Negatifnya, tidak ada oposisi yang mengkritisi setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah dan jajarannya. (Baca juga: Jokowi Kembali Tegaskan Pangkas Eselon PNS Tanpa Kurangi Pendapatan)
“Mungkin ada tapi tidak bisa frontal menjalankannya. Ini menjadi satu yang tidak baik di dalam demokrasi pemerintahan. Bagaimanapun legislatif harus mengawasi eksekutif sehingga tidak keluar jalur,” pungkasnya.
Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran (Unpad), Idil Akbar mengatakan pilkada dengan calon tunggal diakibatkan oleh perilaku partai politik (parpol) yang tidak percaya diri untuk memajukan kadernya sendiri. Parpol gagal dalam menjalankan rekrutmen atau kaderisasi politik. (Baca juga: Hanafi Rais Mundur dari DPR sejak Mei, Ini Alasan PAN Belum Lakukan PAW)
“(Parpol) melihat calon yang berbasiskan kemampuan finansial dan politik, terutama sisi popularitas dan elektabilitas. Kemudian, parpol mengambil jalan praktis mencalonkan yang mempunyainya peluang besar untuk menang,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews , Kamis (27/8/2020).
Jumlah calon tunggal pada setiap pilkada terus meningkat. Pada Pilkada Serentak 2017 ada 9 daerah. Daerah-daerah itu, antara lain Kabupaten Pati, Buton, Tulang Bawang, serta Kota Sorong, dan Jayapura.
Tahun berikutnya, jumlahnya meningkat menjadi 19 daerah. Wilayah menggelar pilkada tunggal itu, antara lain Kabupaten Tangerang, Prabumulih, Lebak, Minahasa Tenggara, Karanganyar.
Pilkada tahun ini, beberapa daerah yang berpotensi menggelar pilkada dengan calon tunggal, antara lain Kabupaten Ngawi, Semarang, Sragen, Boyolali, dan Pematang Siantar. “(Kalau terjadi) Berarti ada peningkatan yang luar biasa di tahun 2020,” ucap Idil.
Idil menerangkan pilkada dengan calon tunggal akan berimplikasi pada jalannya pemerintahan. Dari semua pilkada calon tunggal, hanya di Kota Makassar, kotak kosong menang.
Idil memaparkan dengan dukungan semua parpol di legislatif akan berdampak pada stabilitas jalannya pemerintahan. Negatifnya, tidak ada oposisi yang mengkritisi setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah dan jajarannya. (Baca juga: Jokowi Kembali Tegaskan Pangkas Eselon PNS Tanpa Kurangi Pendapatan)
“Mungkin ada tapi tidak bisa frontal menjalankannya. Ini menjadi satu yang tidak baik di dalam demokrasi pemerintahan. Bagaimanapun legislatif harus mengawasi eksekutif sehingga tidak keluar jalur,” pungkasnya.
(kri)