Masalah Krusial Unsur Kerugian Keuangan Negara dan Perekonomian Negara dalam UU Tipikor
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
SALAH satu masalah krusial di dalam implementasi UU Tipikor 1999 adalah dimasukkannya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3, terutama di dalam praktik karena penyidik, penuntut, juga hakim tidak memiliki pendidikan akuntansi, sehingga memerlukan bantuan Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) yang merupakan lembaga negara satu-satunya diberi mandat UUD 1945.
Sehubungan dengan banyaknya perkara korupsi yang diduga telah menimbulkan kerugian negara, telah terjadi penumpukan perkara di Kejaksaan dan KPK. Dalam hal ini dipastikan BPK saja menghadapi masalah sumber daya manusia, karena selain tugasnya membantu Kejaksaan dan KPK, juga tugas rutin memeriksa kinerja Kementerian/Lembaga setiap tahun cukup menyita waktu dan tenaga, sehingga Kejaksaan dan KPK beralih meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan dengan putusan MKRI dan Peraturan MARI tugas menghitung kerugian keuangan negara diperluas meliputi lembaga audit tercatat di Kementerian Keuangan .
Akibat dari beragamnya lembaga yang menghitung kerugian keuangan negara, maka dipastikan terdapat disparitas hasil audit di antara lembaga audit tersebut yang mengakibatkan tidak ada kepastian hukum sebagaimana dikehendaki dalam Putusan MK bahwa penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara harus nyata dan pasti (actual lost). Hal yang sama telah diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yakni Pasal 1 angka 22 yang menyatakan bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Pengertian kerugian keuangan negara secara nyata meliputi kerugian Pusat/ daerah- APBN dan APBD. Namun, kerugian perekonomian negara sampai saat ini tidak memiliki dasar hukum penghitungan (audit)-nya, sedangkan di dalam penjelasan Pasal 27 UU Tipikor telah peringatkan bahwa yang dimaksud dengan "tindak pidana yang sulit pembuktiannya" antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komiditi berjangka atau di bidang moneter dan keuangan yang a) bersifat lintas batas teritorial, b) dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, dan c) dilakukan oleh penyelenggara negara.
Merujuk penjelasan Pasal 27 UU Tipikor jelas bahwa kerugian perekonomian negara tidak mudah dan dapat dipastikan hasil auditnya sehingga sulit memenuhi putusan MK dan UU Perbendaharaan Negara bahwa kerugiannya harus bersifat actual lost, bukan potential lost. Untuk membedakan kedua "lost" tersebut, rujukan utama adalah standar audit yang jelas dan rinci serta pasti parameter penghitungan ada tidaknya kerugian negara. Untuk kerugian keuangan negara telah terdapat rujukan UU dan Peraturan BPK yang berlaku bagi auditor BPK di dalam mencari dan menemukan indikasi kerugian keuangan negara dengan merujuk penghitungan pada dana-dana yang terdapat pada APBN dan APBD.
Hal ini dapat diketahui dari Bagian Menimbang UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Merujuk ketentuan UU aquo jelas bahwa standar audit BPK/BPKP dan lembaga audit lainnya dapat digunakan dalam pemeriksaan dana APBN dan APBD.
Di sisi lain, pembentuk UU Tipikor 1999 ketika penyusunannya belum mampu menjelaskan aspek hukum dan lembaga yang berwenang menghitung kerugian perekonomian negara sehingga ketika awal penerapan UU Tipikor 1999 belum pernah dilakukan penghitungan perekonomian negara untuk menemukan syarat terpenuhinya suatu tindak pidana korupsi. Hal tersebut baru dilaksanakan Kejaksaan ketika pemeriksaan kasus PT AJS dengan menggunakan pendapat ahli ekonomi makro dan ahli hukum korporasi.
Kekeliruan dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi selama ini adalah aparatur penegak hukum termasuk Hakim masih terobsesi pada tujuan hukum pidana pada penghukuman, dengan harapan dapat dicapainya penjeraan bagi pelakunya, apalagi perbuatannya telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Merujuk pada obsesi tujuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan alasan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), sedangkan di dalam UU Nomor Nomor 31 Tahun 1999, telah digunakan pendekatan non-pidana yaitu melalui gugatan perdata (non-criminal based conviction) yang tersirat dalam Pasal 31 ayat (1) UU aquo yang menyatakan: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Berdasarkan ketentuan aquo disimpulkan bahwa, tuntutan pidana bukan satu-satunya cara melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam praktik penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi selalu mengutamakan tuntutan pidana, sedangkan dalam UU Tipikor terbuka kemungkinan dilakukan gugatan perdata, yang sangat jarang dilakukan kejaksaan sampai saat ini.
Lihat Juga: Pengamat Sebut Klaim Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Timah Tidak Didukung Bukti Kuat
SALAH satu masalah krusial di dalam implementasi UU Tipikor 1999 adalah dimasukkannya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3, terutama di dalam praktik karena penyidik, penuntut, juga hakim tidak memiliki pendidikan akuntansi, sehingga memerlukan bantuan Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) yang merupakan lembaga negara satu-satunya diberi mandat UUD 1945.
Sehubungan dengan banyaknya perkara korupsi yang diduga telah menimbulkan kerugian negara, telah terjadi penumpukan perkara di Kejaksaan dan KPK. Dalam hal ini dipastikan BPK saja menghadapi masalah sumber daya manusia, karena selain tugasnya membantu Kejaksaan dan KPK, juga tugas rutin memeriksa kinerja Kementerian/Lembaga setiap tahun cukup menyita waktu dan tenaga, sehingga Kejaksaan dan KPK beralih meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan dengan putusan MKRI dan Peraturan MARI tugas menghitung kerugian keuangan negara diperluas meliputi lembaga audit tercatat di Kementerian Keuangan .
Akibat dari beragamnya lembaga yang menghitung kerugian keuangan negara, maka dipastikan terdapat disparitas hasil audit di antara lembaga audit tersebut yang mengakibatkan tidak ada kepastian hukum sebagaimana dikehendaki dalam Putusan MK bahwa penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara harus nyata dan pasti (actual lost). Hal yang sama telah diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yakni Pasal 1 angka 22 yang menyatakan bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Baca Juga
Pengertian kerugian keuangan negara secara nyata meliputi kerugian Pusat/ daerah- APBN dan APBD. Namun, kerugian perekonomian negara sampai saat ini tidak memiliki dasar hukum penghitungan (audit)-nya, sedangkan di dalam penjelasan Pasal 27 UU Tipikor telah peringatkan bahwa yang dimaksud dengan "tindak pidana yang sulit pembuktiannya" antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komiditi berjangka atau di bidang moneter dan keuangan yang a) bersifat lintas batas teritorial, b) dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, dan c) dilakukan oleh penyelenggara negara.
Merujuk penjelasan Pasal 27 UU Tipikor jelas bahwa kerugian perekonomian negara tidak mudah dan dapat dipastikan hasil auditnya sehingga sulit memenuhi putusan MK dan UU Perbendaharaan Negara bahwa kerugiannya harus bersifat actual lost, bukan potential lost. Untuk membedakan kedua "lost" tersebut, rujukan utama adalah standar audit yang jelas dan rinci serta pasti parameter penghitungan ada tidaknya kerugian negara. Untuk kerugian keuangan negara telah terdapat rujukan UU dan Peraturan BPK yang berlaku bagi auditor BPK di dalam mencari dan menemukan indikasi kerugian keuangan negara dengan merujuk penghitungan pada dana-dana yang terdapat pada APBN dan APBD.
Hal ini dapat diketahui dari Bagian Menimbang UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Merujuk ketentuan UU aquo jelas bahwa standar audit BPK/BPKP dan lembaga audit lainnya dapat digunakan dalam pemeriksaan dana APBN dan APBD.
Di sisi lain, pembentuk UU Tipikor 1999 ketika penyusunannya belum mampu menjelaskan aspek hukum dan lembaga yang berwenang menghitung kerugian perekonomian negara sehingga ketika awal penerapan UU Tipikor 1999 belum pernah dilakukan penghitungan perekonomian negara untuk menemukan syarat terpenuhinya suatu tindak pidana korupsi. Hal tersebut baru dilaksanakan Kejaksaan ketika pemeriksaan kasus PT AJS dengan menggunakan pendapat ahli ekonomi makro dan ahli hukum korporasi.
Kekeliruan dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi selama ini adalah aparatur penegak hukum termasuk Hakim masih terobsesi pada tujuan hukum pidana pada penghukuman, dengan harapan dapat dicapainya penjeraan bagi pelakunya, apalagi perbuatannya telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Merujuk pada obsesi tujuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan alasan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), sedangkan di dalam UU Nomor Nomor 31 Tahun 1999, telah digunakan pendekatan non-pidana yaitu melalui gugatan perdata (non-criminal based conviction) yang tersirat dalam Pasal 31 ayat (1) UU aquo yang menyatakan: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Berdasarkan ketentuan aquo disimpulkan bahwa, tuntutan pidana bukan satu-satunya cara melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam praktik penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi selalu mengutamakan tuntutan pidana, sedangkan dalam UU Tipikor terbuka kemungkinan dilakukan gugatan perdata, yang sangat jarang dilakukan kejaksaan sampai saat ini.
Lihat Juga: Pengamat Sebut Klaim Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Timah Tidak Didukung Bukti Kuat
(zik)