Kekeliruan dalam Menyikapi UU Tipikor

Senin, 04 September 2023 - 09:13 WIB
loading...
Kekeliruan dalam Menyikapi...
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

SEJAK di bangku kuliah semester pertama, telah diajarkan dengan berwanti-wanti kepada kita bahwa asas legalitas dalam hukum pidana merupakan pilar hukum pidana yang utama. Karena pilar hukum pidana tersebut merupakan bangunan dasar berdiri tegaknya negara hukum.

Di dalam asas legalitas itulah penerapan hukum pidana dillarang ditafsirkan atau diperluas selain apa yang telah tertulis di dalamnya (lex scripta), apa yang yag harus dibaca sesuai apa yang tertulisnya (lex stricta), dan apa yang telah dijelaskan di dalam norma undang-undang (hukum pidana) di dalamnya. Penerapan UU Pidana (hukum pidana) yang bertentangan dengan pilar hukum asas legalitas dan asas-asas hukum lainnya mutatis mutandis penerapan tersebut batal demi hukum (van rechts nieteg) dan tidak sah.

Praktik hukum kekinian terutama dalam peradilan perkara tindak pidana korupsi (tipikor) telah terbiasa terjadi dimana ketentuan hukum acara pidana dalam UU Tipikor telah menyimpang terlalu jauh dan amat sulit dihentikan dan dikembalikan kepada asal mula dilahirkannya ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut adalah ketentuan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Ketentuan tersebut mensyaratkan dua hal di dalam menerapkan ketentuan UU Tipikor. Pertama, bahwa UU Tipikor hanya berlaku terhadap pelanggaran atas ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Kedua, bahwa pelanggaran administratif yang terdapat di dalam undang-undang lain selain UU Tipikor seperti UU Perbankan, UU Pasar Modal dan lainnya sekalipun terdapat bukti adanya kerugian negara akan tetapi jika pelanggaran tersebut tidak secara tegas di dalam UU nya disebut tindak pidana korupsi maka yang berlaku adalah sanksi yang ada di dalam UU lain tersebut, bukan sanksi yang terdapat di dalam UU Tipikor.

Dalam keadaan hukum sedemikian, maka aparatur hukum (penyidik) perlu meneliti lebih jauh apakah di dalam pelanggaran administratif tersebut ditemukan perbuatan yang bersifat melawan hukum atau keterlibatan penyelenggaran negara. Selain itu perlu diteliti juga apakah terdapat keterkaitan antara perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang tersebut dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Jika penyidik dapat menemukan bukti-bukti kuat dalam penyidikan lebih lanjut mengenai keterlibatan penyelenggara negara atau perbuatan melawan hukum maka pelanggaran administratif tersebut adalah tindak pidana korupsi. Sehingga dengan demikian adanya akibat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam pelanggaran adminstratif tidak serta merta perkara tersebut dapat dituntut, diperiksa dan diadili berdasarkan UU Tipikor. Pertimbangannya adalah bahwa, unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara adalah akibat; di dalam hukum pidana diutamakan perbuatan (daadstrafrecht) atau hukum pidana atas perbuatan sehingga akibat dari suatu perbuatan bukan sesuatu yang diutamakan.

Dalam konteks ini, maka di dalam UU Tipikor unsur (elemen) perbuatan melawan hukum (Pasal 2) atau perbuatan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3) yang harus dibuktikan terlebih dulu. Kekeliruan nyata yang sering terjadi adalah disebabkan pola pikir aparatur hukum dan masyarakat selalu hanya mengandalkan akibat (kerugian keuangan negara atau pereknomian negara), tetapi tidak mempertimbangkan ada tidaknya penyebab dari akibat tersebut.

Konstruksi hukum yang dibangun dalam UU Tipikor adalah pertama, bahwa korupsi merupakan kolaborasi antara (pemegang) kekuasaan dan pelaku usaha. Kedua, korupsi merupakan extra-ordinary crimes dan kini telah merupakan budaya karena ia telah berkembang secara sistematik terorganisasi (extraordinary and systematic crime). Ketiga, korupsi telah berdampak negatif yang sangat luas bahkan melampaui batas negara. Berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi, dan budaya maka korupsi merupakan bagian penting dalam pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan hukum di Indonesia.

Upaya pemberantasan korupsi merupakan bagian penting yang juga memerlukan kerja sama secara sadar antara pemerintah, kejaksaan, dan KPK serta masyarakat sipil (LSM) sehingga gerakan pemberantasan korupsi tidak timpang sebelah dan aparatur penegak hukum juga tidak berjalan sendirian. Dukungan masyarakat harus dimulai sejak awal penyelidikan bukan di akhir penyidikan dengan tertangkapnya koruptor atau adanya OTT atau setelah putusan pengadilan yang memberikan hukuman. Sama halnya dengan kesadaran kebersihan lingkungan yang penting bukan keberadaan tong sampah yang bertumpuk-tumpuk melainkan kesadaran bersama masyarakat untuk mau membuang sampah ditempatnya.

Begitu pula memahami filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi memerlukan kerja cerdas dan lugas untuk dapat memilah-milah mana perbuatan koruptif dan yang bukan. Karena tidak semata-mata dilihat dari akibatnya melainkan dari sudut siapa dan apa penyebabnya. Sehingga dengan cara pandang demikian masyarakat tidak terjebak pada proses stigmatisasi atau labeling yang tidak perlu dan membuang-buang energi hanya untuk menghujat koruptor bahkan aparatur penegak hukum. Namun, diperlukan pemikiran jernih dan efisien serta tidak melanggar hak asasi setiap orang sekalipun ia dalam status sebagai pelaku korupsi.

Kita tidak dapat menafikan fakta adanya “hanky-pangky” antara oknum aparatur hukum dan pelaku korupsi namun akan sendirinya sirna karena malu melihat masyarakat yang mau menolak gratifikasi atau suap. Upaya pemerintah dalam bidang perundang-undangan untuk sementara ini sudah memadai tinggal implementasinya yang belum sejalan dengan filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi dan suap atau gratifikasi yang belum berhenti.

Untuk melengkapi kelemahan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, kiranya pemerintah dan DPR RI segera menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang diharapkan dapat menimbulkan selain efek jera juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara dan dapat menghentikan hambatan/gangguan yang dapat merugikan perekonomian negara dimanapun aset tindak pidana disembunyikan baik di dalam maupun luar negeri.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1117 seconds (0.1#10.140)