Menakar Manfaat BRICS dan MIKTA bagi Indonesia
loading...
A
A
A
Pertama, pertimbangan menyangkut pentingnya menjaga marwah dan martabat Indonesia di mata dunia, khususnya di mata negara-negara BRICS. Sejarah bangsa mencatat dengan tinta emas kiprah Indonesia dalam pergaulan internasional di antaranya tampil sebagai pelopor. Kepeloporan Indonesia dalam pendirian GNB dan ASEAN adalah contoh fakta sejarah yang sangat membanggakan. Atas dasar pertimbangan prestasi gemilang di masa lalu tersebut, kiranya dapat dimengerti jika ada sebagian kalangan yang berharap “lebih” terkait keberadaan Indonesia di BRICS. Dalam arti, meski tidak menjadi negara pilar utama BRICS, setidaknya kiprah Indonesia tidak dipandang sebagai follower belaka.
Kedua, pertimbangan terkait aspek manfaat bergabung BRICS untuk kepentingan nasional Indonesia. Sebagai contoh, dalam konteks keberadaan Rusia sebagai anggota BRICS sekaligus sebagai negara maju di bidang industri pertahanan dan negara kaya sumber daya energi khususnya migas, bagaimana strategi Indonesia dalam memanfaatkan Rusia sebagai mitra strategisnya di bidang pertahanan dan migas vis-à-vis stick and carrot policy-nya Amerika Serikat khususnya yang terkait dengan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Selama rasa ketakuan akan sanksi CAATSA terus membayangi, maka pola hubungan dengan Rusia dalam kerangka BRICS akan tetap bersifat business as usual alih-alih business unusual sebagaimana yang diharapkan.
MIKTA Kekuatan Penyeimbang
Selain BRICS, Indonesia juga merupakan anggota MIKTA (Mexico, Indonesia, Korea, Turkiye, Australia), sebuah cross-regional consultative platform. BRICS dan MIKTA memiliki kesamaan dalam proses pendiriannya. Selain negara-negara anggota utamanya sama-sama anggota G-20, MIKTA juga didirikan di New York pada bulan September 2013 di sela-sela SMU PBB. Sebagai forum konsultasi lintas kawasan, MIKTA didesain untuk membangun saling kesepahaman dan meningkatkan hubungan kerja sama bilateral serta mengembangan proyek bersama untuk memperluas pertukaran informasi dan pengalaman di antara sesama negara-negara anggota.
Indonesia menaruh harapan besar kepada MIKTA untuk dapat menjadi sebuah kekuatan positif (a positive force) di tengah situasi dunia yang terpolarisasi. Dalam situasi dunia seperti ini, MIKTA dapat berperan sebagai bridge builder bagi terjalinnya hubungan dan kerja sama internasional yang didasari sikap saling memahami satu sama lain. Peranan sebagai bridge builder sangat terbuka untuk diperankan oleh MIKTA khususnya dalam menjembatani komunikasi dan membangun kesepahaman antara Blok Barat khususnya Amerika Serikat dan BRICS.
Peranan MIKTA sebagai bridge builder dalam hal ini mesti ditopang dengan penguatan kelembagaan MIKTA sebagaimana proses penguatan kelembagaan yang berhasil dilewati dengan baik oleh BRICS. Peranan MIKTA sebagai bridge builder dinilai sangat strategis dalam rangka meredam potensi gesekan kepentingan antara Blok Barat dan BRICS di masa mendatang. Potensi terjadinya gesekan politik di antara kedua pihak dapat muncul ke permukaan sebagai konsekuensi logis atau implikasi nyata dari adanya kebijakan perluasan keanggotaan BRICS yang tergolong masif namun cukup sensitif.
Perluasan keanggotaan BRICS dalam konteks ini diumumkan secara terbuka pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 22-24 Agustus 2023. Saat itu tercatat ada penambahan anggota baru BRICS, yaitu Argentina, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Januari 2024. Pada KTT BRICS ke-16 di Kota Kazan, Rusia tanggal 22-24 Oktober 2024, BRICS juga mengumumkan secara terbuka 13 negara mitra baru (new partner country), yakni Indonesia, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turkiye, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam. Dari negara-negara tersebut, dua di antaranya adalah anggota MIKTA, yaitu Indonesia dan Turkiye.
Kerawanan akan terjadinya gesekan antara BRICS dan Blok Barat juga berpotensi dipicu oleh keinginan pihak BRICS yang mencoba melepaskan diri dari ketergantungan atas mata uang dollar Amerika Serikat serta keinginan akan kehadiran lembaga-lembaga internasional alternatif seperti lembaga International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang berada di bawah kendali Barat.
Lokomotif Kemajuan MIKTA
Keberadaan Indonesia di MIKTA dinilai lebih strategis dibandingkan dengan keberadaannya di BRICS. Salah satu alasan di sini berhubungan dengan keberadaan Indonesia yang terpatri dalam nama lembaga (MIKTA) melalui akronim “I” yang merefleksikannya sebagai bagian dari negara inti atau founding countries. Adanya akronim nama Indonesia di sini juga merupakan investasi ketokohan Indonesia dalam kepolitikan global. Dibandingan dengan BRICS, MIKTA memiliki nilai lebih yang bersifat konkret.
Dalam konteks kerja sama di bidang teknologi pertahanan, Indonesia dan dua negara MIKTA, yaitu Korea Selatan dan Turkiye, telah memiliki kerja sama kemitraan strategis di sektor industri pertahanan. Bersama Korea Selatan, Indonesia terlibat dalam kerja sama pengembangan pesawat tempur KF-21 meski sempat ‘mandek’ kelanjutannya. Sementara itu, bersama Turkiye, Indonesia mengembangkan kerja sama kemitraan strategis di bidang produksi medium tank Harimau.
Kedua, pertimbangan terkait aspek manfaat bergabung BRICS untuk kepentingan nasional Indonesia. Sebagai contoh, dalam konteks keberadaan Rusia sebagai anggota BRICS sekaligus sebagai negara maju di bidang industri pertahanan dan negara kaya sumber daya energi khususnya migas, bagaimana strategi Indonesia dalam memanfaatkan Rusia sebagai mitra strategisnya di bidang pertahanan dan migas vis-à-vis stick and carrot policy-nya Amerika Serikat khususnya yang terkait dengan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Selama rasa ketakuan akan sanksi CAATSA terus membayangi, maka pola hubungan dengan Rusia dalam kerangka BRICS akan tetap bersifat business as usual alih-alih business unusual sebagaimana yang diharapkan.
MIKTA Kekuatan Penyeimbang
Selain BRICS, Indonesia juga merupakan anggota MIKTA (Mexico, Indonesia, Korea, Turkiye, Australia), sebuah cross-regional consultative platform. BRICS dan MIKTA memiliki kesamaan dalam proses pendiriannya. Selain negara-negara anggota utamanya sama-sama anggota G-20, MIKTA juga didirikan di New York pada bulan September 2013 di sela-sela SMU PBB. Sebagai forum konsultasi lintas kawasan, MIKTA didesain untuk membangun saling kesepahaman dan meningkatkan hubungan kerja sama bilateral serta mengembangan proyek bersama untuk memperluas pertukaran informasi dan pengalaman di antara sesama negara-negara anggota.
Indonesia menaruh harapan besar kepada MIKTA untuk dapat menjadi sebuah kekuatan positif (a positive force) di tengah situasi dunia yang terpolarisasi. Dalam situasi dunia seperti ini, MIKTA dapat berperan sebagai bridge builder bagi terjalinnya hubungan dan kerja sama internasional yang didasari sikap saling memahami satu sama lain. Peranan sebagai bridge builder sangat terbuka untuk diperankan oleh MIKTA khususnya dalam menjembatani komunikasi dan membangun kesepahaman antara Blok Barat khususnya Amerika Serikat dan BRICS.
Peranan MIKTA sebagai bridge builder dalam hal ini mesti ditopang dengan penguatan kelembagaan MIKTA sebagaimana proses penguatan kelembagaan yang berhasil dilewati dengan baik oleh BRICS. Peranan MIKTA sebagai bridge builder dinilai sangat strategis dalam rangka meredam potensi gesekan kepentingan antara Blok Barat dan BRICS di masa mendatang. Potensi terjadinya gesekan politik di antara kedua pihak dapat muncul ke permukaan sebagai konsekuensi logis atau implikasi nyata dari adanya kebijakan perluasan keanggotaan BRICS yang tergolong masif namun cukup sensitif.
Perluasan keanggotaan BRICS dalam konteks ini diumumkan secara terbuka pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 22-24 Agustus 2023. Saat itu tercatat ada penambahan anggota baru BRICS, yaitu Argentina, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Januari 2024. Pada KTT BRICS ke-16 di Kota Kazan, Rusia tanggal 22-24 Oktober 2024, BRICS juga mengumumkan secara terbuka 13 negara mitra baru (new partner country), yakni Indonesia, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turkiye, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam. Dari negara-negara tersebut, dua di antaranya adalah anggota MIKTA, yaitu Indonesia dan Turkiye.
Kerawanan akan terjadinya gesekan antara BRICS dan Blok Barat juga berpotensi dipicu oleh keinginan pihak BRICS yang mencoba melepaskan diri dari ketergantungan atas mata uang dollar Amerika Serikat serta keinginan akan kehadiran lembaga-lembaga internasional alternatif seperti lembaga International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang berada di bawah kendali Barat.
Lokomotif Kemajuan MIKTA
Keberadaan Indonesia di MIKTA dinilai lebih strategis dibandingkan dengan keberadaannya di BRICS. Salah satu alasan di sini berhubungan dengan keberadaan Indonesia yang terpatri dalam nama lembaga (MIKTA) melalui akronim “I” yang merefleksikannya sebagai bagian dari negara inti atau founding countries. Adanya akronim nama Indonesia di sini juga merupakan investasi ketokohan Indonesia dalam kepolitikan global. Dibandingan dengan BRICS, MIKTA memiliki nilai lebih yang bersifat konkret.
Dalam konteks kerja sama di bidang teknologi pertahanan, Indonesia dan dua negara MIKTA, yaitu Korea Selatan dan Turkiye, telah memiliki kerja sama kemitraan strategis di sektor industri pertahanan. Bersama Korea Selatan, Indonesia terlibat dalam kerja sama pengembangan pesawat tempur KF-21 meski sempat ‘mandek’ kelanjutannya. Sementara itu, bersama Turkiye, Indonesia mengembangkan kerja sama kemitraan strategis di bidang produksi medium tank Harimau.