Menakar Manfaat BRICS dan MIKTA bagi Indonesia
loading...
A
A
A
Arifi Saiman
Alumnus Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, Konsul Jenderal RI New York (2019-2022), dan penulis buku Diplomasi Santri
PARTISIPASI Indonesia dalam BRICS sebagai negara mitra (partner country) adalah "kado diplomasi multilateral" pertama bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Berbasis kebijakan luar negeri bebas dan aktif (free and active foreign policy), Indonesia tercatat cukup aktif dalam kiprah diplomasinya di fora internasional, baik di lingkup kawasan maupun di lingkup global.
Di tingkat kawasan sebagai contoh, Indonesia merupakan negara anggota sekaligus salah satu pendiri Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan salah satu pendiri Gerakan Non-Blok (GNB). Sementara itu, Indonesia juga menjadi bagian dari kelompok-kelompok blok ekonomi global seperti G-20 dan Belt and Road Initiative (BRI) yang belakangan kerap pula disebut Global Development Initiative (GDI). Selain itu, Indonesia sebagai negara muslim terkemuka di dunia juga menjadi bagian penting dari Organisasi Kerja Sama Islam ( OKI ).
Di balik partisipasi aktif Indonesia di fora internasional, muncul satu pertanyaan yang seyogianya kita jawab secara jujur terkait tujuan dan target yang hendak diraih dari partisipasi Indonesia dimaksud. Hal ini didasari pemikran bahwa partisipasi dalam sebuah lembaga organisasi atau forum kerja sama internasional, jika sifatnya simbolis semat, tentunya akan menjadi sia-sia karena hasil yang didapat tidak sepadan dengan anggaran yang dikeluarkan.
Pengeluaran anggaran di sini digunakan antara lain untuk pembayaran kontribusi untuk keanggotaan lembaga organisasi regional/internasional atau untuk pembiayaan perjalanan dinas (jaldis) delegasi RI (Delri). Terlebih lagi masalah jaldis pejabat pemerintah ke luar negeri saat ini mendapat perhatian tersendiri dari Presiden Prabowo Subianto khususnya jaldis yang dilakukan tanpa tujuan dan hasil yang konkret.
Sekilas BRICS
Istilah BRIC yang merupakan akronim dari Brasil, Rusia, India, dan China dicetuskan oleh ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, pada tahun 2001. Jim O’Neil meramalkan keempat negara tersebut akan mendominasi perekonomian dunia pada tahun 2050. Saat ini negara-negara BRICS memiliki total nilai ekonomi mencapai 33,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global dan mewakili 45% dari total populasi dunia.
Diawali dengan pertemuan tingkat Menlu negara-negara BRIC di sela-sela Sidang Majelis Umum (SMU) PBB di New York pada tahun 2006, BRIC selanjutnya tumbuh berkembang menjadi sebuah blok kekuatan baru dunia dan KTT BRIC pertama diadakan di Yekaterinburg, Rusia pada tanggal 16 Juni 2009. Nama Indonesia sempat dipandang oleh sebagian kalangan berpotensi menjadi bagian dari BRIC bersama Afrika Selatan, sehingga jika keduanya bergabung maka akronim nama kelompok ini akan berubah menjadi BRIICS (Brazil, Russia, India, Indonesia, China, South Africa). Namun, ternyata justru Afrika Selatan yang "dipilih" untuk bergabung dengan BRICS pada tahun 2010.
Nama "BRICS" yang merupakan akronim dari masing-masing negara pilar utamanya memberikan nilai plus tersendiri bagi Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan, salah satunya menempatkan mereka pada posisi “founders” sekaligus “owners” dari organisasi ini. Dari aspek penamaan, nama BRICS terasa sedikit berbeda dibandingkan dengan nama lembaga organisasi kerja sama yang mengusung kekhasan organisasinya, seperti ASEAN, Indian Ocean Rim Association (IORA), dan sejenisnya.
Indonesia dan BRICS
Kehadiran Indonesia pada KTT BRICS di Rusia baru-baru ini menandai era baru partisipasi Indonesia sebagai partner country kelompok blok ekonomi ini. Secara umum masuknya Indonesia ke dalam BRICS secara umum disambut cukup positif meskipun tidak sedikit yang mempertanyakan keputusan Indonesia dalam konteks ini. Bagi pihak yang mempertanyakan bergabungnya Indonesia sebagai partner country BRICS, setidaknya terdapat dua pertimbangan utama yang mendasarinya.
Pertama, pertimbangan menyangkut pentingnya menjaga marwah dan martabat Indonesia di mata dunia, khususnya di mata negara-negara BRICS. Sejarah bangsa mencatat dengan tinta emas kiprah Indonesia dalam pergaulan internasional di antaranya tampil sebagai pelopor. Kepeloporan Indonesia dalam pendirian GNB dan ASEAN adalah contoh fakta sejarah yang sangat membanggakan. Atas dasar pertimbangan prestasi gemilang di masa lalu tersebut, kiranya dapat dimengerti jika ada sebagian kalangan yang berharap “lebih” terkait keberadaan Indonesia di BRICS. Dalam arti, meski tidak menjadi negara pilar utama BRICS, setidaknya kiprah Indonesia tidak dipandang sebagai follower belaka.
Kedua, pertimbangan terkait aspek manfaat bergabung BRICS untuk kepentingan nasional Indonesia. Sebagai contoh, dalam konteks keberadaan Rusia sebagai anggota BRICS sekaligus sebagai negara maju di bidang industri pertahanan dan negara kaya sumber daya energi khususnya migas, bagaimana strategi Indonesia dalam memanfaatkan Rusia sebagai mitra strategisnya di bidang pertahanan dan migas vis-à-vis stick and carrot policy-nya Amerika Serikat khususnya yang terkait dengan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Selama rasa ketakuan akan sanksi CAATSA terus membayangi, maka pola hubungan dengan Rusia dalam kerangka BRICS akan tetap bersifat business as usual alih-alih business unusual sebagaimana yang diharapkan.
MIKTA Kekuatan Penyeimbang
Selain BRICS, Indonesia juga merupakan anggota MIKTA (Mexico, Indonesia, Korea, Turkiye, Australia), sebuah cross-regional consultative platform. BRICS dan MIKTA memiliki kesamaan dalam proses pendiriannya. Selain negara-negara anggota utamanya sama-sama anggota G-20, MIKTA juga didirikan di New York pada bulan September 2013 di sela-sela SMU PBB. Sebagai forum konsultasi lintas kawasan, MIKTA didesain untuk membangun saling kesepahaman dan meningkatkan hubungan kerja sama bilateral serta mengembangan proyek bersama untuk memperluas pertukaran informasi dan pengalaman di antara sesama negara-negara anggota.
Indonesia menaruh harapan besar kepada MIKTA untuk dapat menjadi sebuah kekuatan positif (a positive force) di tengah situasi dunia yang terpolarisasi. Dalam situasi dunia seperti ini, MIKTA dapat berperan sebagai bridge builder bagi terjalinnya hubungan dan kerja sama internasional yang didasari sikap saling memahami satu sama lain. Peranan sebagai bridge builder sangat terbuka untuk diperankan oleh MIKTA khususnya dalam menjembatani komunikasi dan membangun kesepahaman antara Blok Barat khususnya Amerika Serikat dan BRICS.
Peranan MIKTA sebagai bridge builder dalam hal ini mesti ditopang dengan penguatan kelembagaan MIKTA sebagaimana proses penguatan kelembagaan yang berhasil dilewati dengan baik oleh BRICS. Peranan MIKTA sebagai bridge builder dinilai sangat strategis dalam rangka meredam potensi gesekan kepentingan antara Blok Barat dan BRICS di masa mendatang. Potensi terjadinya gesekan politik di antara kedua pihak dapat muncul ke permukaan sebagai konsekuensi logis atau implikasi nyata dari adanya kebijakan perluasan keanggotaan BRICS yang tergolong masif namun cukup sensitif.
Perluasan keanggotaan BRICS dalam konteks ini diumumkan secara terbuka pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 22-24 Agustus 2023. Saat itu tercatat ada penambahan anggota baru BRICS, yaitu Argentina, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Januari 2024. Pada KTT BRICS ke-16 di Kota Kazan, Rusia tanggal 22-24 Oktober 2024, BRICS juga mengumumkan secara terbuka 13 negara mitra baru (new partner country), yakni Indonesia, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turkiye, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam. Dari negara-negara tersebut, dua di antaranya adalah anggota MIKTA, yaitu Indonesia dan Turkiye.
Kerawanan akan terjadinya gesekan antara BRICS dan Blok Barat juga berpotensi dipicu oleh keinginan pihak BRICS yang mencoba melepaskan diri dari ketergantungan atas mata uang dollar Amerika Serikat serta keinginan akan kehadiran lembaga-lembaga internasional alternatif seperti lembaga International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang berada di bawah kendali Barat.
Lokomotif Kemajuan MIKTA
Keberadaan Indonesia di MIKTA dinilai lebih strategis dibandingkan dengan keberadaannya di BRICS. Salah satu alasan di sini berhubungan dengan keberadaan Indonesia yang terpatri dalam nama lembaga (MIKTA) melalui akronim “I” yang merefleksikannya sebagai bagian dari negara inti atau founding countries. Adanya akronim nama Indonesia di sini juga merupakan investasi ketokohan Indonesia dalam kepolitikan global. Dibandingan dengan BRICS, MIKTA memiliki nilai lebih yang bersifat konkret.
Dalam konteks kerja sama di bidang teknologi pertahanan, Indonesia dan dua negara MIKTA, yaitu Korea Selatan dan Turkiye, telah memiliki kerja sama kemitraan strategis di sektor industri pertahanan. Bersama Korea Selatan, Indonesia terlibat dalam kerja sama pengembangan pesawat tempur KF-21 meski sempat ‘mandek’ kelanjutannya. Sementara itu, bersama Turkiye, Indonesia mengembangkan kerja sama kemitraan strategis di bidang produksi medium tank Harimau.
Fakta konkret di atas menunjukkan potensi MIKTA sangat menjanjikan meskipun secara kelembagaan masih berstatus sebagai forum konsultasi antar sesama negara-negara anggotanya. Melalui kemauan politik (political will) dari negara-negara anngotanya, MIKTA diyakini dapat tumbuh jauh lebih kuat dan memiliki posisi setara secara kelembagaan dengan BRICS. Semakin bertambah kuatnya MIKTA, manfaat nyata dari keberadaanya niscaya akan semakin dirasakan oleh negara-negara anggotanya.
Kebijakan “setengah hati” negara-negara pilar MIKTA terhadap masa depan MIKTA secara kasatmata cukup nyata. Bahkan, MIKTA Leaders’ Gathering pertama baru diselenggarakan di sela-sela acara KTT G-20 di New Delhi tanggal 9 September 2023. Namun, situasi demikian justru merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk berkontribusi dan memegang kendali lokomotif kemajuan MIKTA agar dapat berdiri sejajar dengan BRICS.
Di sini Indonesia dengan kebijakan luar bebas aktifnya dapat berperan maksimal di banyak lini untuk tujuan kemaslahatan masyarakat dunia tanpa mempertaruhkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Langkah diplomasi demikian dipandang selaras dengan prinsip diplomasi Indonesia yang mengusung semangat “menang tanpo ngasorake” sekaligus meneguhkan peranan Indonesia sebagai “truly global player” alih-alih “truly global follower” di ranah pergaulan internasional.
Penguatan Mesin Diplomasi
Guna mendukung keberhasilan diplomasi Indonesia di luar negeri, termasuk di lingkup BRICS dan MIKTA, pemerintah Indonesia tentunya perlu memperkuat mesin diplomasi Indonesia yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Dalam konteks ini dan seperti posisi Kemenkeu saat ini yang tidak berada di bawah Kemenko namun berada langsung di bawah Presiden, keberadaan Kemlu kiranya patut dipertimbangkan untuk ditempatkan langsung di bawah presiden, bukan di bawah Kemenko Polkam yang heavy-nya secara spesifik lebih pada aspek politik-keamanan.
Dengan berada langsung di bawah Presiden, Kemlu akan memiliki kewenangan dan kemudahan akses untuk hadir dalam proses perumusan kebijakan diplomasi yang tersebar di semua lini. Hal ini mengingat ranah diplomasi tidak hanya mencakup aspek politik-keamanan semata namun juga mencakup bidang-bidang lainnya, yaitu Tourism, Trade, Investment, Services (TTI-S) yang secara substansi pembahasannya berada di bawah kewenangan Kemenko terkait. Diplomasi Kuat, Indonesia Hebat!!!
Alumnus Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, Konsul Jenderal RI New York (2019-2022), dan penulis buku Diplomasi Santri
PARTISIPASI Indonesia dalam BRICS sebagai negara mitra (partner country) adalah "kado diplomasi multilateral" pertama bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Berbasis kebijakan luar negeri bebas dan aktif (free and active foreign policy), Indonesia tercatat cukup aktif dalam kiprah diplomasinya di fora internasional, baik di lingkup kawasan maupun di lingkup global.
Di tingkat kawasan sebagai contoh, Indonesia merupakan negara anggota sekaligus salah satu pendiri Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan salah satu pendiri Gerakan Non-Blok (GNB). Sementara itu, Indonesia juga menjadi bagian dari kelompok-kelompok blok ekonomi global seperti G-20 dan Belt and Road Initiative (BRI) yang belakangan kerap pula disebut Global Development Initiative (GDI). Selain itu, Indonesia sebagai negara muslim terkemuka di dunia juga menjadi bagian penting dari Organisasi Kerja Sama Islam ( OKI ).
Di balik partisipasi aktif Indonesia di fora internasional, muncul satu pertanyaan yang seyogianya kita jawab secara jujur terkait tujuan dan target yang hendak diraih dari partisipasi Indonesia dimaksud. Hal ini didasari pemikran bahwa partisipasi dalam sebuah lembaga organisasi atau forum kerja sama internasional, jika sifatnya simbolis semat, tentunya akan menjadi sia-sia karena hasil yang didapat tidak sepadan dengan anggaran yang dikeluarkan.
Baca Juga
Pengeluaran anggaran di sini digunakan antara lain untuk pembayaran kontribusi untuk keanggotaan lembaga organisasi regional/internasional atau untuk pembiayaan perjalanan dinas (jaldis) delegasi RI (Delri). Terlebih lagi masalah jaldis pejabat pemerintah ke luar negeri saat ini mendapat perhatian tersendiri dari Presiden Prabowo Subianto khususnya jaldis yang dilakukan tanpa tujuan dan hasil yang konkret.
Sekilas BRICS
Istilah BRIC yang merupakan akronim dari Brasil, Rusia, India, dan China dicetuskan oleh ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, pada tahun 2001. Jim O’Neil meramalkan keempat negara tersebut akan mendominasi perekonomian dunia pada tahun 2050. Saat ini negara-negara BRICS memiliki total nilai ekonomi mencapai 33,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global dan mewakili 45% dari total populasi dunia.
Diawali dengan pertemuan tingkat Menlu negara-negara BRIC di sela-sela Sidang Majelis Umum (SMU) PBB di New York pada tahun 2006, BRIC selanjutnya tumbuh berkembang menjadi sebuah blok kekuatan baru dunia dan KTT BRIC pertama diadakan di Yekaterinburg, Rusia pada tanggal 16 Juni 2009. Nama Indonesia sempat dipandang oleh sebagian kalangan berpotensi menjadi bagian dari BRIC bersama Afrika Selatan, sehingga jika keduanya bergabung maka akronim nama kelompok ini akan berubah menjadi BRIICS (Brazil, Russia, India, Indonesia, China, South Africa). Namun, ternyata justru Afrika Selatan yang "dipilih" untuk bergabung dengan BRICS pada tahun 2010.
Nama "BRICS" yang merupakan akronim dari masing-masing negara pilar utamanya memberikan nilai plus tersendiri bagi Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan, salah satunya menempatkan mereka pada posisi “founders” sekaligus “owners” dari organisasi ini. Dari aspek penamaan, nama BRICS terasa sedikit berbeda dibandingkan dengan nama lembaga organisasi kerja sama yang mengusung kekhasan organisasinya, seperti ASEAN, Indian Ocean Rim Association (IORA), dan sejenisnya.
Indonesia dan BRICS
Kehadiran Indonesia pada KTT BRICS di Rusia baru-baru ini menandai era baru partisipasi Indonesia sebagai partner country kelompok blok ekonomi ini. Secara umum masuknya Indonesia ke dalam BRICS secara umum disambut cukup positif meskipun tidak sedikit yang mempertanyakan keputusan Indonesia dalam konteks ini. Bagi pihak yang mempertanyakan bergabungnya Indonesia sebagai partner country BRICS, setidaknya terdapat dua pertimbangan utama yang mendasarinya.
Pertama, pertimbangan menyangkut pentingnya menjaga marwah dan martabat Indonesia di mata dunia, khususnya di mata negara-negara BRICS. Sejarah bangsa mencatat dengan tinta emas kiprah Indonesia dalam pergaulan internasional di antaranya tampil sebagai pelopor. Kepeloporan Indonesia dalam pendirian GNB dan ASEAN adalah contoh fakta sejarah yang sangat membanggakan. Atas dasar pertimbangan prestasi gemilang di masa lalu tersebut, kiranya dapat dimengerti jika ada sebagian kalangan yang berharap “lebih” terkait keberadaan Indonesia di BRICS. Dalam arti, meski tidak menjadi negara pilar utama BRICS, setidaknya kiprah Indonesia tidak dipandang sebagai follower belaka.
Kedua, pertimbangan terkait aspek manfaat bergabung BRICS untuk kepentingan nasional Indonesia. Sebagai contoh, dalam konteks keberadaan Rusia sebagai anggota BRICS sekaligus sebagai negara maju di bidang industri pertahanan dan negara kaya sumber daya energi khususnya migas, bagaimana strategi Indonesia dalam memanfaatkan Rusia sebagai mitra strategisnya di bidang pertahanan dan migas vis-à-vis stick and carrot policy-nya Amerika Serikat khususnya yang terkait dengan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Selama rasa ketakuan akan sanksi CAATSA terus membayangi, maka pola hubungan dengan Rusia dalam kerangka BRICS akan tetap bersifat business as usual alih-alih business unusual sebagaimana yang diharapkan.
MIKTA Kekuatan Penyeimbang
Selain BRICS, Indonesia juga merupakan anggota MIKTA (Mexico, Indonesia, Korea, Turkiye, Australia), sebuah cross-regional consultative platform. BRICS dan MIKTA memiliki kesamaan dalam proses pendiriannya. Selain negara-negara anggota utamanya sama-sama anggota G-20, MIKTA juga didirikan di New York pada bulan September 2013 di sela-sela SMU PBB. Sebagai forum konsultasi lintas kawasan, MIKTA didesain untuk membangun saling kesepahaman dan meningkatkan hubungan kerja sama bilateral serta mengembangan proyek bersama untuk memperluas pertukaran informasi dan pengalaman di antara sesama negara-negara anggota.
Indonesia menaruh harapan besar kepada MIKTA untuk dapat menjadi sebuah kekuatan positif (a positive force) di tengah situasi dunia yang terpolarisasi. Dalam situasi dunia seperti ini, MIKTA dapat berperan sebagai bridge builder bagi terjalinnya hubungan dan kerja sama internasional yang didasari sikap saling memahami satu sama lain. Peranan sebagai bridge builder sangat terbuka untuk diperankan oleh MIKTA khususnya dalam menjembatani komunikasi dan membangun kesepahaman antara Blok Barat khususnya Amerika Serikat dan BRICS.
Peranan MIKTA sebagai bridge builder dalam hal ini mesti ditopang dengan penguatan kelembagaan MIKTA sebagaimana proses penguatan kelembagaan yang berhasil dilewati dengan baik oleh BRICS. Peranan MIKTA sebagai bridge builder dinilai sangat strategis dalam rangka meredam potensi gesekan kepentingan antara Blok Barat dan BRICS di masa mendatang. Potensi terjadinya gesekan politik di antara kedua pihak dapat muncul ke permukaan sebagai konsekuensi logis atau implikasi nyata dari adanya kebijakan perluasan keanggotaan BRICS yang tergolong masif namun cukup sensitif.
Perluasan keanggotaan BRICS dalam konteks ini diumumkan secara terbuka pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 22-24 Agustus 2023. Saat itu tercatat ada penambahan anggota baru BRICS, yaitu Argentina, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Januari 2024. Pada KTT BRICS ke-16 di Kota Kazan, Rusia tanggal 22-24 Oktober 2024, BRICS juga mengumumkan secara terbuka 13 negara mitra baru (new partner country), yakni Indonesia, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turkiye, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam. Dari negara-negara tersebut, dua di antaranya adalah anggota MIKTA, yaitu Indonesia dan Turkiye.
Kerawanan akan terjadinya gesekan antara BRICS dan Blok Barat juga berpotensi dipicu oleh keinginan pihak BRICS yang mencoba melepaskan diri dari ketergantungan atas mata uang dollar Amerika Serikat serta keinginan akan kehadiran lembaga-lembaga internasional alternatif seperti lembaga International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang berada di bawah kendali Barat.
Lokomotif Kemajuan MIKTA
Keberadaan Indonesia di MIKTA dinilai lebih strategis dibandingkan dengan keberadaannya di BRICS. Salah satu alasan di sini berhubungan dengan keberadaan Indonesia yang terpatri dalam nama lembaga (MIKTA) melalui akronim “I” yang merefleksikannya sebagai bagian dari negara inti atau founding countries. Adanya akronim nama Indonesia di sini juga merupakan investasi ketokohan Indonesia dalam kepolitikan global. Dibandingan dengan BRICS, MIKTA memiliki nilai lebih yang bersifat konkret.
Dalam konteks kerja sama di bidang teknologi pertahanan, Indonesia dan dua negara MIKTA, yaitu Korea Selatan dan Turkiye, telah memiliki kerja sama kemitraan strategis di sektor industri pertahanan. Bersama Korea Selatan, Indonesia terlibat dalam kerja sama pengembangan pesawat tempur KF-21 meski sempat ‘mandek’ kelanjutannya. Sementara itu, bersama Turkiye, Indonesia mengembangkan kerja sama kemitraan strategis di bidang produksi medium tank Harimau.
Fakta konkret di atas menunjukkan potensi MIKTA sangat menjanjikan meskipun secara kelembagaan masih berstatus sebagai forum konsultasi antar sesama negara-negara anggotanya. Melalui kemauan politik (political will) dari negara-negara anngotanya, MIKTA diyakini dapat tumbuh jauh lebih kuat dan memiliki posisi setara secara kelembagaan dengan BRICS. Semakin bertambah kuatnya MIKTA, manfaat nyata dari keberadaanya niscaya akan semakin dirasakan oleh negara-negara anggotanya.
Kebijakan “setengah hati” negara-negara pilar MIKTA terhadap masa depan MIKTA secara kasatmata cukup nyata. Bahkan, MIKTA Leaders’ Gathering pertama baru diselenggarakan di sela-sela acara KTT G-20 di New Delhi tanggal 9 September 2023. Namun, situasi demikian justru merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk berkontribusi dan memegang kendali lokomotif kemajuan MIKTA agar dapat berdiri sejajar dengan BRICS.
Di sini Indonesia dengan kebijakan luar bebas aktifnya dapat berperan maksimal di banyak lini untuk tujuan kemaslahatan masyarakat dunia tanpa mempertaruhkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Langkah diplomasi demikian dipandang selaras dengan prinsip diplomasi Indonesia yang mengusung semangat “menang tanpo ngasorake” sekaligus meneguhkan peranan Indonesia sebagai “truly global player” alih-alih “truly global follower” di ranah pergaulan internasional.
Penguatan Mesin Diplomasi
Guna mendukung keberhasilan diplomasi Indonesia di luar negeri, termasuk di lingkup BRICS dan MIKTA, pemerintah Indonesia tentunya perlu memperkuat mesin diplomasi Indonesia yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Dalam konteks ini dan seperti posisi Kemenkeu saat ini yang tidak berada di bawah Kemenko namun berada langsung di bawah Presiden, keberadaan Kemlu kiranya patut dipertimbangkan untuk ditempatkan langsung di bawah presiden, bukan di bawah Kemenko Polkam yang heavy-nya secara spesifik lebih pada aspek politik-keamanan.
Dengan berada langsung di bawah Presiden, Kemlu akan memiliki kewenangan dan kemudahan akses untuk hadir dalam proses perumusan kebijakan diplomasi yang tersebar di semua lini. Hal ini mengingat ranah diplomasi tidak hanya mencakup aspek politik-keamanan semata namun juga mencakup bidang-bidang lainnya, yaitu Tourism, Trade, Investment, Services (TTI-S) yang secara substansi pembahasannya berada di bawah kewenangan Kemenko terkait. Diplomasi Kuat, Indonesia Hebat!!!
(zik)