Fenomena Calon Tunggal Bukti Demokrasi Lokal Semakin Rapuh

Kamis, 27 Agustus 2020 - 08:37 WIB
loading...
Fenomena Calon Tunggal...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Tantangan mewujudkan demokrasi di daerah melalui pilkada kian tidak mudah. Fenomena calon tunggal yang jumlahnya terus bertambah salah satu bukti kualitas demokrasi lokal makin terdegradasi. Kondisi kini diperparah dengan adanya dugaan calon boneka yang sengaja dimunculkan untuk mempermudah kemenangan.

Calon boneka adalah istilah yang digunakan untuk pasangan calon yang sengaja didorong menjadi peserta pilkada agar pasangan calon utama seolah-olah memiliki lawan. Fenomena calon boneka yang merupakan bagian dari politik transaksional antara pasangan calon dan partai politik (parpol) berpeluang kembali terjadi di Pilkada Serentak 2020.

Bahkan isu calon boneka kini menyeruak dari Kota Solo. Di Pilkada Solo muncul pasangan calon Bagyo Wahyono-FX Suparjo (Bajo) yang berasal dari jalur perseorangan atau independen. Sejumlah kalangan mempertanyakan Bajo yang dinilai dengan mudah lolos verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum. (Baca: Calon Tunggal di Pilkada Jadi Musibah Bagi Demokrasi)

Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) PKS Solo Sugeng Riyanto dalam keterangannya menyebut Bajo minim rekam jejak, tetapi berhasil menggalang dukungan KTP dari 8,5% dari total daftar pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir. Dia mempertanyakan sistem yang mendukung pasangan tersebut, termasuk diperolehnya dari mana.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengatakan, calon boneka dalam pilkada memang sudah menjadi diskusi sejak dulu. Meski kemunculan calon boneka dikecam karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, faktanya masih saja muncul saat pilkada. Hanya tidak pernah bisa dibuktikan kecurigaan bahwa pasangan calon tertentu boneka atau bukan. “Untuk membuktikan calon boneka bukan sesuatu yang mudah,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Pada Pilkada 2020, Khoirunnisa menyebut motif memunculkan calon boneka diduga demi meminimalkan potensi kekalahan. Jika harus melawan kotak kosong, kekalahan dinilai masih terbuka cukup lebar. Kotak kosong lebih mengancam karena masyarakat yang merasa tidak cocok dengan pilihan calon yang ada bisa menjadikannya sebagai saluran aspirasi. (Baca juga: Rusia Masih Optimis Rencana Pembelian Sukhoi Indonesia akan Berlanjut)

“Pilkada Makassar 2018 kan menunjukkan bahwa kotak kosong bisa menang lawan calon tunggal dan mengakibatkan pilkada harus diulang kembali,” katanya. Jika pasangan calon tunggal harus menghadapi kotak kosong, kemungkinan untuk kalah dianggap masih terbuka.

Pada Pilkada 2020 setidaknya ada 30 daerah yang berpotensi punya calon tunggal. Pada daerah ini masih terbuka muncul calon boneka sebelum pendaftaran pilkada dilakukan pada 4–6 September 2020.

Ke depan praktik mengusung calon tunggal lalu disusul kemunculan calon boneka masih berpotensi terjadi. Faktor penyebabnya menurut Khoirunnisa adalah syarat pencalonan kepala daerah yang cukup sulit. Tidak mudah bagi partai politik untuk bisa mengusung pasangan calon. Partai harus berkoalisi. “Akhirnya tidak jarang seluruh partai berkoalisi mendukung satu pasangan calon yang memiliki elektabilitas sangat tinggi,” paparnya.

Praktik antidemokrasi itu bisa dihilangkan jika dilakukan perubahan regulasi pencalonan di pilkada. Syarat pencalonan harus dimudahkan, baik dari jalur partai politik maupun perseorangan. Untuk jalur partai, kata dia, tidak perlu ada syarat minimal dukungan 20% kursi DPRD atau 25% suara dari hasil pemilu sebelumnya. Sementara untuk jalur perseorangan syarat dukungan berupa pengumpulan KTP harus diturunkan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1019 seconds (0.1#10.140)