Fenomena Calon Tunggal Bukti Demokrasi Lokal Semakin Rapuh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tantangan mewujudkan demokrasi di daerah melalui pilkada kian tidak mudah. Fenomena calon tunggal yang jumlahnya terus bertambah salah satu bukti kualitas demokrasi lokal makin terdegradasi. Kondisi kini diperparah dengan adanya dugaan calon boneka yang sengaja dimunculkan untuk mempermudah kemenangan.
Calon boneka adalah istilah yang digunakan untuk pasangan calon yang sengaja didorong menjadi peserta pilkada agar pasangan calon utama seolah-olah memiliki lawan. Fenomena calon boneka yang merupakan bagian dari politik transaksional antara pasangan calon dan partai politik (parpol) berpeluang kembali terjadi di Pilkada Serentak 2020.
Bahkan isu calon boneka kini menyeruak dari Kota Solo. Di Pilkada Solo muncul pasangan calon Bagyo Wahyono-FX Suparjo (Bajo) yang berasal dari jalur perseorangan atau independen. Sejumlah kalangan mempertanyakan Bajo yang dinilai dengan mudah lolos verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum. (Baca: Calon Tunggal di Pilkada Jadi Musibah Bagi Demokrasi)
Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) PKS Solo Sugeng Riyanto dalam keterangannya menyebut Bajo minim rekam jejak, tetapi berhasil menggalang dukungan KTP dari 8,5% dari total daftar pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir. Dia mempertanyakan sistem yang mendukung pasangan tersebut, termasuk diperolehnya dari mana.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengatakan, calon boneka dalam pilkada memang sudah menjadi diskusi sejak dulu. Meski kemunculan calon boneka dikecam karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, faktanya masih saja muncul saat pilkada. Hanya tidak pernah bisa dibuktikan kecurigaan bahwa pasangan calon tertentu boneka atau bukan. “Untuk membuktikan calon boneka bukan sesuatu yang mudah,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Pada Pilkada 2020, Khoirunnisa menyebut motif memunculkan calon boneka diduga demi meminimalkan potensi kekalahan. Jika harus melawan kotak kosong, kekalahan dinilai masih terbuka cukup lebar. Kotak kosong lebih mengancam karena masyarakat yang merasa tidak cocok dengan pilihan calon yang ada bisa menjadikannya sebagai saluran aspirasi. (Baca juga: Rusia Masih Optimis Rencana Pembelian Sukhoi Indonesia akan Berlanjut)
“Pilkada Makassar 2018 kan menunjukkan bahwa kotak kosong bisa menang lawan calon tunggal dan mengakibatkan pilkada harus diulang kembali,” katanya. Jika pasangan calon tunggal harus menghadapi kotak kosong, kemungkinan untuk kalah dianggap masih terbuka.
Pada Pilkada 2020 setidaknya ada 30 daerah yang berpotensi punya calon tunggal. Pada daerah ini masih terbuka muncul calon boneka sebelum pendaftaran pilkada dilakukan pada 4–6 September 2020.
Ke depan praktik mengusung calon tunggal lalu disusul kemunculan calon boneka masih berpotensi terjadi. Faktor penyebabnya menurut Khoirunnisa adalah syarat pencalonan kepala daerah yang cukup sulit. Tidak mudah bagi partai politik untuk bisa mengusung pasangan calon. Partai harus berkoalisi. “Akhirnya tidak jarang seluruh partai berkoalisi mendukung satu pasangan calon yang memiliki elektabilitas sangat tinggi,” paparnya.
Praktik antidemokrasi itu bisa dihilangkan jika dilakukan perubahan regulasi pencalonan di pilkada. Syarat pencalonan harus dimudahkan, baik dari jalur partai politik maupun perseorangan. Untuk jalur partai, kata dia, tidak perlu ada syarat minimal dukungan 20% kursi DPRD atau 25% suara dari hasil pemilu sebelumnya. Sementara untuk jalur perseorangan syarat dukungan berupa pengumpulan KTP harus diturunkan.
“Hal ini supaya lebih banyak pasangan calon yang muncul sehingga pemilih pun punya alternatif pilihan,” tandasnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan, partainya tidak pernah bermain-main dalam sebuah kontestasi, termasuk dalam pilkada.
Penegasan itu disampaikan Hasto menanggapi pertanyaan adanya dugaan calon boneka di Pilkada Kota Solo demi menghindarkan pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakoso yang diusung koalisi seluruh parpol di DPRD minus PKS tidak melawan kotak kosong. (Baca juga: Santri Ditangkap, Warga Kepung Polisi di Pondok Pesantren)
Keseriusan PDIP dibuktikan dengan aksi Gibran-Teguh yang langsung tancap gas melakukan sosialisasi ke masyarakat setelah selesai menjalani Sekolah Calon Kepala Daerah yang digelar DPP PDIP. "Kami tidak pernah bermain-main dalam politik," ujar Hasto kemarin.
Menurut dia, demokrasi di Solo adalah kontestasi antarkandidat dan hak-hak tersebut dijamin sebagai hak konstitusional warga negaranya. Untuk itu PDIP menghargai jika ada pasangan lain yang ikut kontestasi. "Sehingga selain Mas Gibran, ada juga pasangan independen, ini merupakan hal yang sehat bagi demokrasi," katanya.
Hasto menegaskan, persaingan dalam demokrasi merupakan hal yang wajar dan tak selalu melihat apa kendaraan politiknya, baik itu partai politik ataupun jalur perseorangan. (Baca juga: Sindiran Tere Liye: Pertamina Tak Pernah Salah, yang salah Kalian)
Dilema PKS
Sementara itu PKS dalam situasi dilema setelah gagal mengusung calon di Pilkada Solo. Partai ini belum menentukan sikap setelah hanya terdapat dua pasangan calon yang kemungkinan bakal maju, yakni Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dan pasangan independen Bagyo Wahyono-FX Supardjo.
“Kami mau mengajukan calon sebagaimana amanah Musda PKS, tetapi terbentur jumlah kursi. Harus koalisi ternyata tidak bisa terbentuk karena semua partai sudah bergabung ke satu pasangan calon,” kata Ketua DPD PKS Kota Solo Abdul Ghofar Ismail saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
PKS disebutnya membutuhkan waktu agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Dalam beberapa waktu terakhir, pihaknya mencoba menyerap aspirasi dan jajak pendapat mulai struktur tingkat kecamatan, ranting, kader hingga simpul-simpul massa PKS mengenai masukan dalam pengambilan keputusan. (Lihat videonya: 5 Orang di Tangerang Tewasi Usai Tenggak Miras Oplosan)
Sejauh ini PKS belum bisa menyampaikan sikapnya, termasuk kemungkinan bersikap netral di Pilkada Solo. Hasil jajak pendapat dan serap aspirasi akan disampaikan ke DPW PKS Jawa Tengah maupun DPP PKS. (Ary Wahyu Wibowo/Abdul Rochim/Bakti)
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
Calon boneka adalah istilah yang digunakan untuk pasangan calon yang sengaja didorong menjadi peserta pilkada agar pasangan calon utama seolah-olah memiliki lawan. Fenomena calon boneka yang merupakan bagian dari politik transaksional antara pasangan calon dan partai politik (parpol) berpeluang kembali terjadi di Pilkada Serentak 2020.
Bahkan isu calon boneka kini menyeruak dari Kota Solo. Di Pilkada Solo muncul pasangan calon Bagyo Wahyono-FX Suparjo (Bajo) yang berasal dari jalur perseorangan atau independen. Sejumlah kalangan mempertanyakan Bajo yang dinilai dengan mudah lolos verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum. (Baca: Calon Tunggal di Pilkada Jadi Musibah Bagi Demokrasi)
Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) PKS Solo Sugeng Riyanto dalam keterangannya menyebut Bajo minim rekam jejak, tetapi berhasil menggalang dukungan KTP dari 8,5% dari total daftar pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir. Dia mempertanyakan sistem yang mendukung pasangan tersebut, termasuk diperolehnya dari mana.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengatakan, calon boneka dalam pilkada memang sudah menjadi diskusi sejak dulu. Meski kemunculan calon boneka dikecam karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, faktanya masih saja muncul saat pilkada. Hanya tidak pernah bisa dibuktikan kecurigaan bahwa pasangan calon tertentu boneka atau bukan. “Untuk membuktikan calon boneka bukan sesuatu yang mudah,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Pada Pilkada 2020, Khoirunnisa menyebut motif memunculkan calon boneka diduga demi meminimalkan potensi kekalahan. Jika harus melawan kotak kosong, kekalahan dinilai masih terbuka cukup lebar. Kotak kosong lebih mengancam karena masyarakat yang merasa tidak cocok dengan pilihan calon yang ada bisa menjadikannya sebagai saluran aspirasi. (Baca juga: Rusia Masih Optimis Rencana Pembelian Sukhoi Indonesia akan Berlanjut)
“Pilkada Makassar 2018 kan menunjukkan bahwa kotak kosong bisa menang lawan calon tunggal dan mengakibatkan pilkada harus diulang kembali,” katanya. Jika pasangan calon tunggal harus menghadapi kotak kosong, kemungkinan untuk kalah dianggap masih terbuka.
Pada Pilkada 2020 setidaknya ada 30 daerah yang berpotensi punya calon tunggal. Pada daerah ini masih terbuka muncul calon boneka sebelum pendaftaran pilkada dilakukan pada 4–6 September 2020.
Ke depan praktik mengusung calon tunggal lalu disusul kemunculan calon boneka masih berpotensi terjadi. Faktor penyebabnya menurut Khoirunnisa adalah syarat pencalonan kepala daerah yang cukup sulit. Tidak mudah bagi partai politik untuk bisa mengusung pasangan calon. Partai harus berkoalisi. “Akhirnya tidak jarang seluruh partai berkoalisi mendukung satu pasangan calon yang memiliki elektabilitas sangat tinggi,” paparnya.
Praktik antidemokrasi itu bisa dihilangkan jika dilakukan perubahan regulasi pencalonan di pilkada. Syarat pencalonan harus dimudahkan, baik dari jalur partai politik maupun perseorangan. Untuk jalur partai, kata dia, tidak perlu ada syarat minimal dukungan 20% kursi DPRD atau 25% suara dari hasil pemilu sebelumnya. Sementara untuk jalur perseorangan syarat dukungan berupa pengumpulan KTP harus diturunkan.
“Hal ini supaya lebih banyak pasangan calon yang muncul sehingga pemilih pun punya alternatif pilihan,” tandasnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan, partainya tidak pernah bermain-main dalam sebuah kontestasi, termasuk dalam pilkada.
Penegasan itu disampaikan Hasto menanggapi pertanyaan adanya dugaan calon boneka di Pilkada Kota Solo demi menghindarkan pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakoso yang diusung koalisi seluruh parpol di DPRD minus PKS tidak melawan kotak kosong. (Baca juga: Santri Ditangkap, Warga Kepung Polisi di Pondok Pesantren)
Keseriusan PDIP dibuktikan dengan aksi Gibran-Teguh yang langsung tancap gas melakukan sosialisasi ke masyarakat setelah selesai menjalani Sekolah Calon Kepala Daerah yang digelar DPP PDIP. "Kami tidak pernah bermain-main dalam politik," ujar Hasto kemarin.
Menurut dia, demokrasi di Solo adalah kontestasi antarkandidat dan hak-hak tersebut dijamin sebagai hak konstitusional warga negaranya. Untuk itu PDIP menghargai jika ada pasangan lain yang ikut kontestasi. "Sehingga selain Mas Gibran, ada juga pasangan independen, ini merupakan hal yang sehat bagi demokrasi," katanya.
Hasto menegaskan, persaingan dalam demokrasi merupakan hal yang wajar dan tak selalu melihat apa kendaraan politiknya, baik itu partai politik ataupun jalur perseorangan. (Baca juga: Sindiran Tere Liye: Pertamina Tak Pernah Salah, yang salah Kalian)
Dilema PKS
Sementara itu PKS dalam situasi dilema setelah gagal mengusung calon di Pilkada Solo. Partai ini belum menentukan sikap setelah hanya terdapat dua pasangan calon yang kemungkinan bakal maju, yakni Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dan pasangan independen Bagyo Wahyono-FX Supardjo.
“Kami mau mengajukan calon sebagaimana amanah Musda PKS, tetapi terbentur jumlah kursi. Harus koalisi ternyata tidak bisa terbentuk karena semua partai sudah bergabung ke satu pasangan calon,” kata Ketua DPD PKS Kota Solo Abdul Ghofar Ismail saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
PKS disebutnya membutuhkan waktu agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Dalam beberapa waktu terakhir, pihaknya mencoba menyerap aspirasi dan jajak pendapat mulai struktur tingkat kecamatan, ranting, kader hingga simpul-simpul massa PKS mengenai masukan dalam pengambilan keputusan. (Lihat videonya: 5 Orang di Tangerang Tewasi Usai Tenggak Miras Oplosan)
Sejauh ini PKS belum bisa menyampaikan sikapnya, termasuk kemungkinan bersikap netral di Pilkada Solo. Hasil jajak pendapat dan serap aspirasi akan disampaikan ke DPW PKS Jawa Tengah maupun DPP PKS. (Ary Wahyu Wibowo/Abdul Rochim/Bakti)
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
(ysw)