Menakar Omnibus Law

Rabu, 30 Oktober 2019 - 08:15 WIB
Menakar “Omnibus Law”
Menakar Omnibus Law
A A A
A Ahsin Thohari
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

DALAM pidato pertama setelah dilantik sebagai presiden periode 2019-2024, (20/10/2019), Joko Widodo (Jokowi) menyinggung satu di antara konsep penting dalam dunia hukum, yaitu omnibus law.

Menurutnya, dengan omnibus law akan dapat dilakukan penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Karena itu, Jokowi akan mengajak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggodok dua rancangan undang-undang (RUU) besar, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dua RUU itu menghimpun lebih dari 70 aturan yang terbagi dalam lima kluster: perizinan, penataan kewenangan, sanksi, pembinaan dan pengawasan, serta dukungan.

Buah pikiran Presiden itu tentu saja penting dianalisis secara saksama agar iktikad baik itu tidak menyimpang dari kerangka normatif-yuridis yang mutlak harus dipatuhi dan dapat mereproduksi kreasi di bidang hukum yang kelak dapat menjadi warisan berharga bagi dunia hukum kita. Meskipun demikian, karena belum memiliki preseden praktik pembentukan omnibus law dalam sejarah politik legislasi, kita perlu mengantisipasi beberapa hal agar kehadirannya tidak kontraproduktif.

Melewah Aturan

Gagasan pembentukan omnibus law ini sungguh menarik untuk didiskusikan lebih lanjut karena saat ini kita hidup di tengah rimba raya lebih dari 62.000 peraturan perundang-undangan, baik yang diterbitkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Alih-alih aturan itu membuat kehidupan negeri ini semakin kreatif, produktif, dan profitable, justru menjebak kita semua dalam kemubaziran regulasi tanpa faedah di pelbagai aspek kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Pada urutannya, ia telah menjerembabkan kita menjadi masyarakat yang melewah aturan (over-regulated society).

Rafael Domingo dalam The New Global Law (2010) menyatakan bahwa prinsip dasar agar suatu keadilan dapat dicapai dalam masyarakat adalah dengan membuat intervensi ke dalam masyarakat itu melalui pembentukan aturan. Akan tetapi, bila aturan itu lebih banyak ketimbang yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka masyarakat itu sejatinya telah memasuki kawasan over-regulated society.

Masyarakat seyogianya dipandu perilakunya oleh aturan yang adekuat, bukan aturan yang sia-sia (vain), berubah-ubah (capricious), dan meluas (all-embracing). “Servus iustitiae ius est,” ujar Domingo yang ingin menyiratkan bahwa hukum (lebih sempit lagi aturan) harus menjadi budak bagi keadilan, bukan tuan.

Birokrasi yang eksesif dan penggunaan kewenangan membentuk aturan yang berlebihan adalah ancaman nyata terhadap cita-cita kehidupan bernegara yang adil dan makmur. Hasrat untuk mengatur secara terlewat batas seluruh aspek kehidupan sesungguhnya sama saja dengan nafsu untuk membelokkan doktrin bahwa masyarakat itu berkedudukan sebagai tuan dan penguasa (society’s master and lord) dalam sebuah negara. Over-regulasi dalam sebuah negara adalah manipulasi jahat bagi khalayak yang justru menjadi penghalang terciptanya keadilan.

Kegelisahan Presiden akan fenomena over-regulasi inilah yang sebenarnya memicu sikap asertifnya untuk mengintroduksi politik hukum berupa omnibus law sebagai cara untuk melepaskan diri dari belenggu over-regulasi. Kita patut mengapresiasi sikap asertif ini karena sebenarnya telah lama kita menyadari gejala belenggu over-regulasi ini, namun tidak pernah ada komitmen politik yang kuat untuk mencoba melepasnya.

Sekadar Teknik

Pembangunan hukum di berbagai negara sering dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tidak mudah ditanggulangi. Satu di antara tantangan itu adalah mengimplementasikan perjanjian dagang internasional yang amat banyak jumlahnya ke dalam sistem hukum domestiknya. Maka itu, atas nama efektivitas dan efisiensi, beberapa negara menerapkan teknik pembentukan undang-undang secara terpadu (omnibus law-making technique). Kata omnibus dalam bahasa Latin berarti for everything, untuk semuanya, meliputi seluruhnya, sapu jagat atau terpadu.

Teknik ini memungkinkan satu RUU terpadu (omnibus bill) yang berisi perubahan atau bahkan penggantian beberapa UU sekaligus diajukan ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan dalam satu kesempatan pengambilan keputusan. Keuntungan teknik ini adalah pembentukan undang-undang berlangsung lebih cepat serta meniadakan tumpang-tindih, duplikasi, dan repetisi ketentuan yang biasa dialami saat teknik konvensional (non-omnibus bill) diterapkan.

Akan tetapi, teknik ini juga memiliki kekurangan karena cakupan isu yang diatur sangat luas dan banyak, omnibus law-making technique ini seringkali membatasi peluang untuk diskusi, partisipasi, dan pengawasan publik demi mengejar kecepatan pengesahan RUU menjadi UU. Karena itu, banyak pihak menilai bahwa teknik ini kurang demokratis. Teknik ini lazim diterapkan di negara-negara dengan tradisi common law system semacam Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, khususnya saat kegiatan ekonomi mencapai puncaknya.

Meskipun demikian, karena omnibus law-making technique ini sekadar teknik pembentukan undang-undang yang menyangkut pilihan metode belaka, gagasan omnibus law Presiden dapat diterapkan di Indonesia meskipun cenderung lebih dekat dengan tradisi civil law system.

Hal ini tidak melanggar aturan sepanjang dilakukan sesuai dengan Pasal 64 dan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, pelaksanaan pembentukan omnibus law nanti juga harus menempuh tahapan-tahapan standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, hingga pengundangan.

Sebetulnya kita bukan tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam mempraktikkan omnibus law-making technique ini. Setidaknya praktik yang dalam batas tertentu dapat dikatakan sebagai omnibus law-making technique dapat kita temukan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002. Seperti diketahui, ketetapan MPR ini telah meninjau materi dan status hukum 139 ketetapan MPR dan MPRS sekaligus dengan hanya satu produk hukum berupa ketetapan MPR.

Dengan demikian, mengingat secara substantif kita telah memiliki pengalaman yang kurang lebih serupa dengan konsep omnibus law-making technique, dalam jangka pendek ini ide Presiden seputar omnibus lawdapat dilanjutkan. Apalagi, secara faktual kita memang sangat membutuhkan RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Pemberdayaan UMKM itu untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.

Akan tetapi, untuk jangka panjang peraturan perundang-undangan yang menjadi kerangka normatif pengakuan eksistensi omnibus law-making technique ini perlu diadakan misalnya dengan mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 agar memiliki dasar legalitas yang lebih kuat. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi ada pihak yang mempermasalahkan legalitasnya dengan mengajukan uji materi.

Gagasan seputar omnibus lawini perlu dimaknai sebagai momentum untuk memupuk kesadaran kita bahwa undang-undang itu semestinya mendorong kreativitas, produktivitas, dan profitabilitas, bukan sekadar mengarahkan apalagi membatasi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4854 seconds (0.1#10.140)