Prolog Pilkada Penuh Drama
loading...
A
A
A
PARA bakal calon kandidat yang hendak berlaga di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 sudah mendaftar dan bersiap menunggu pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pendaftaran bakal calon yang ibarat dalam drama disebut prolog (pembukaan) sudah terasa penuh intrik dan pergolakan batin yang mengaduk-aduk emosi dan perasaan.
baca juga: Penyebab Kalangan Selebritis Pede Maju Pilkada 2024
Di injury time penutupan pendaftaran, bahkan masih ada manuver-manuver tak terduga yang membuat publik Tanah Air terhentak, cemas, was-was, galau, dan bertanya-tanya. Siapa-siapa bakal calon kandidat yang akan tampil, dan cerita seru macam apa pula yang bakal mereka tampilkan?
Paling mengejutkan ketika nama Anies Rasyid Baswedan tidak jadi didaftarkan sebagai calon kandidat di Pilkada Jakarta, dan malah santer disebut akan berlaga di Pilkada Jawa Barat (Jabar). Mantan Gubernur Jakarta ini akan diusung PDIP, meski pada ending-nya yang bersangkutan menyatakan tidak jadi maju.
"Kemarin juga sebetulnya kita menerima undangan, tawaran untuk ikut dalam kontestasi Pilgub Jawa Barat, kita apresiasi sekali ajakan ini, panggilan ini. Tapi dengan mempertimbangkan berbagai faktor, kami putuskan untuk tak mengikuti kontestasi di Jawa Barat," kata Anies melalui siaran YouTube-nya, Jumat (30/8/2024).
Patut disadari, mulanya tahapan Pilkada seperti bakal distorsi karena banyak partai politik (parpol) yang tidak bisa mengusung jagoannya tanpa berkoalisi, bahkan diprediksi akan banyak calon tunggal yang bakal bertarung dengan kotak kosong. Namun berkat PKPU No 10/2024 membuka ruang lebih luas bagi parpol untuk mengusung jagoannya tanpa harus berkoalisi.
Secara spesifik, ada dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diakomodasi PKPU Nomor 10/2024 yang tertuang dalam Pasal 11 dan 15. Pasal 11 mengatur tentang persentase dukungan parpol terhadap pasangan calon (paslon) disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), sedangkan Pasal 15 memuat aturan terkait syarat usai bakal calon kepala daerah (Bacakada) dihitung saat penetapan.
Dalam Pasal 15, dijelaskan untuk kontestan pilkada 2024 tingkat provinsi, minimal harus berusia 30 tahun saat penetapan. PKPU ini sekaligus mengubur mimpi Kaesang Pengareb yang digadang-gadang maju sebagai calon gubernur Jawa Tengah (Jateng), sebab usianya masih 29 tahun saat penetapan pasangan calon pada 22 September 2024.
Yang paling krusial adalah aturan dalam pasal 11. Di mana pasal ini memberikan kesempatan parpol yang memperoleh 6,5 persen suara sah dalam Pemilu Legislatif DPRD 2024, untuk mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi. Di Jakarta misalnya, Pilkada sebenarnya bisa saja diikuti delapan pasangan calon dari delapan Parpol berbeda, karena perolehan suara sah delapan parpol dalam Pemilu Legislatif DPRD Jakarta di atas 7,5 persen (sesuai PKPU terbaru).
baca juga: Diaspora Indonesia Berharap Pilkada 2024 Berlangsung Demokratis
Adapun kedelapan parpol tersebut adalah PKB, Partai Gerindra, PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, PAN, dan PSI. Ditambah dengan satu pasangan calon independen yang telah lolos, yakni Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto, Pilkada Jakarta bisa diikuti sembilan paslon.
Namun, peta politik terkini hanya ada tiga pasangan calon yang bakal bertarung, yakni Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto (independent); Ridwan Kamil-Suswono yang diusung 14 parpol dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yakni Gerindra, PKS, Golkar, Demokrat, NasDem, PSI, PKB, Gelora, PBB, Perindo, PAN, PPP, Garuda dan PKN; serta Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI dan Hanura.
Memang, secara umum tidak terlalu terjadi perubahan signifikan di peta politik Pilkada Jakarta berikut empat provinsi lainnya di pulau Jawa, yakni Jatim, Jateng, Jabar, dan Banten yang selama ini menjadi barometer pergolakan politik Tanah Air. Karena skenario awal parpol-parpol yang tergabung dalam KIM Plus yang dimotori Partai Gerindra, tetap bisa mengusung pasangan calon yang digadang-gadang.
Namun begitu, tetap saja dengan diberlakukannya PKPU No 10/2004 membuat parpol-parpol yang semula perolehan suaranya tidak mencukupi syarat, kini merasa punya peluang dan bergegas mengajukan calon sendiri tanpa harus berkoalisi. Seperti di Provinsi Banten. PDIP dengan percaya diri mengusung Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi.
Tak sampai satu hari, pasangan ini juga mendapat dukungan dari Partai Golkar yang notabene tergabung dalam KIM Plus berikut parpol lainnya yakni Partai Buruh, Gelora, Ummat, PBB, dan PKN. Sementara KIM Plus sendiri yang menyisakan Gerindra, PKS, Demokrat, NasDem, PKB, PAN, PSI, serta PPP mengusung pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah.
Kemudian di Jawa Barat, PKS bersama Nasdem dan PPP juga tiba-tiba pisah jalan dengan KIM Plus, dengan mengusung Akhmad Syaikhu-Ilham Habibie. Sedangkan KIM Plus (Gerindra, Golkar, PAN, Partai Hanura, Partai Gelora, Partai Garuda, PKN, Partai Buruh, Prima, Perindo, PBB, dan Partai Ummat) mengusung Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan. Selain itu, ada dua pasangan calon lagi yang mendaftar, yakni Jeje Wiradinata-Ronal Sunandar Surapradja dari PDIP, dan Acep Adang Ruhiyat-Gitalis Dwi Natarina yang diusung PKB.
baca juga: Pilkada 2024, PPATK Bidik Aliran Uang Hasil Kejahatan
Di Pilkada Jawa Tengah, dua jenderal telah mendaftarkan diri. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa bersama Hendrar Prihadi datang ke KPUD Jawa Tengah pada Selasa (27/8). Pasangan ini diusungPDIPyang juga dikenal sebagai partai pemilik kursi terbanyak di DPRD Jawa Tengah. Padahari yang sama, Komjen Ahmad Luthfi bersama Taj Yasin Maimoen juga mendaftarkan diri. Mereka didampingi Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka ke KPUD Jawa Tengah. Pasangan ini disokong KIM Plus (Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, PSI, PBB, Partai Buruh, Partai Garuda, PKN, serta Prima).
Lalu dari Jatim, pasangan calon petahana Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak resmi mendaftar Pilgub Jawa Timur pada hari pertama. Mereka diusung oleh 15 partai yang tergabung dalam KIM Plus, yakni PAN, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PSI, PKS, Perindo, Nasdem, Partai Buruh, Partai Gelora, PBB, PKN, Partai Garuda, serta Prima. Kemudian pada hari terakhir pendaftaran, Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta juga mendaftar dengan dukungan dari PDIP dan Hanura. Disusul PKB yang mengusung dua kader internal Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim.
Demokrasi Elektoral dan Oligarki
Tak ubahnya Pemilu Presiden dan Legislatif, kontestasi para calon pemimpin daerah di tingkat provinsi, kota dan kabupaten juga dengan sangat disadari tak pernah luput dari praktik oligarki . Oligarki yang berkuasa tetap menjadikan demokrasi elektoral terus berada di bawah kepentingannya, dengan menyediakan uang bagi pasangan calon yang dijagokannya sebagai imbalan atas peneguhan kekuasaan ekonominya di tingkat lokal.
Karlmarx menjelaskan oligarki menunjukkan bahwa hubungan kekuasaan politik sebagian yang tak terpisahkan dari mekanisme bekerjanya kapitalisme. Dalam bahasa Yunani, oligarki (oligarkhÃa) yang berarti "aturan oleh sedikit"; olÃgos = sedikit, dan arkho = mengatur atau memerintah adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.
Orang-orang ini mungkin atau mungkin tidak, dibedakan oleh satu atau beberapa karakteristik, seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol perusahaan, agama, politik, atau militer. Sepanjang sejarah, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis. Aristoteles mempelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya, yang istilah lain yang umum digunakan saat ini adalah plutokrasi.
Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Dalam "hukum besi oligarki" dia menyarankan bahwa pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.
baca juga: Sumbangan Dana Kampanye Pilkada 2024 Dibagi 4 Kategori
Kelompok oligarki menemukan jalannya sendiri, dengan membangun sistem politik uang. Demokrasi elektoral dikontrol dengan menempatkan kekuatan uang dalam memenangi pemilihan, sehingga elite politik yang berlaga dalam kontestasi politik semakin bergantung pada kekuatan uang. Dengan negara seperti ini, oligarki dapat merebut dan menguasai sumber daya ekonomi demi pemupukan dan akumulasi kekayaan. Oligarki mencetak politikus, pejabat politik, birokrat, dan jaringan patronasenya dalam sistem yang dikendalikan oleh mereka.
Memang, dengan diterapkannya PKPU Nomor 10/2024 tentang perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8/2024 tentang pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, jalannya Pilkada 2024 terasa lebih kompetitif dan bergairah. Syarat pencalonan yang diatur dalam PKPU ini membuat pilkada lebih inklusif dan memberikan peluang yang lebih besar bagi calon alternatif yang potensial untuk berkompetisi.
Di sisi lain, terbukti peraturan ini juga mampu mencegah upaya parpol dalam mempersempit ruang kontestasi, termasuk praktik calon tunggal atau calon boneka di sejumlah daerah. Hal ini juga mengurangi kemungkinan kecurangan, karena semakin banyak pihak yang akan mengawasi proses pemilihan. Dengan demikian, Pilkada 2024 diharapkan dapat memunculkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas, juga menciptakan proses pemilihan yang lebih transparan dan adil.
Namun begitu, di ajang Pilkada serentak 2024 yang notabene banyak menguras energi dan biaya, tetap memberi ruang oligarki untuk bekerja. Oligarki menyebabkan elite politik yang menjadi calon kepala daerah tak bisa berpaling dari ketergantungannya pada kekuatan uang. Sebaliknya, pengusaha butuh kontrol terhadap alokasi sumber daya pemerintah di tingkat lokal seperti alokasi proyek APBD dan perizinan usaha atau alih fungsi lahan.
baca juga: Catatan Perindo untuk KPU terkait Logistik Pilkada 2024
Tak hanya itu, sejumlah oligarki juga menguasai partai politik. Dengan begitu, kekuasaan oligarki yang bersifat predatoris ini berkesesuaian dengan demokrasi politik uang, serta mekarnya jaringan preman dalam desentralisasi kekuasaan itu. Makanya, masyarakat sebagai pemilik suara harus cermat membaca dinamika yang berkembang di kontestasi Pilkada.
Bahwa, persaingan para elit dan parpol yang tampak keras di permukaan sesungguhnya hanya mekanisme untuk mencapai kesepakatan, dengan membangun kolaborasi. Supremasi kekuasaan yang dilandasi oleh kepentingan mempertahankan bagaimana institusi-institusi publik bekerja serta bagaimana aktor-aktor bertindak untuk mencapai kemenangan.
Dengan dinamikanya yang berkembang, tentu semua berharap Pilkada Serentak 2024 bisa berjalan lancar, aman, jujur dan berkeadilan. Masyarakat diharapkan menjadi pemilih cerdas dan mampu memilih calon kepala daerahnya dengan baik. Jangan karena kepentingan sesaat apalagi karena diberi uang dan iming-iming janji, malah terjebak memilih orang-orang yang salah dan terbenam makin dalam.
baca juga: Penyebab Kalangan Selebritis Pede Maju Pilkada 2024
Di injury time penutupan pendaftaran, bahkan masih ada manuver-manuver tak terduga yang membuat publik Tanah Air terhentak, cemas, was-was, galau, dan bertanya-tanya. Siapa-siapa bakal calon kandidat yang akan tampil, dan cerita seru macam apa pula yang bakal mereka tampilkan?
Paling mengejutkan ketika nama Anies Rasyid Baswedan tidak jadi didaftarkan sebagai calon kandidat di Pilkada Jakarta, dan malah santer disebut akan berlaga di Pilkada Jawa Barat (Jabar). Mantan Gubernur Jakarta ini akan diusung PDIP, meski pada ending-nya yang bersangkutan menyatakan tidak jadi maju.
"Kemarin juga sebetulnya kita menerima undangan, tawaran untuk ikut dalam kontestasi Pilgub Jawa Barat, kita apresiasi sekali ajakan ini, panggilan ini. Tapi dengan mempertimbangkan berbagai faktor, kami putuskan untuk tak mengikuti kontestasi di Jawa Barat," kata Anies melalui siaran YouTube-nya, Jumat (30/8/2024).
Patut disadari, mulanya tahapan Pilkada seperti bakal distorsi karena banyak partai politik (parpol) yang tidak bisa mengusung jagoannya tanpa berkoalisi, bahkan diprediksi akan banyak calon tunggal yang bakal bertarung dengan kotak kosong. Namun berkat PKPU No 10/2024 membuka ruang lebih luas bagi parpol untuk mengusung jagoannya tanpa harus berkoalisi.
Secara spesifik, ada dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diakomodasi PKPU Nomor 10/2024 yang tertuang dalam Pasal 11 dan 15. Pasal 11 mengatur tentang persentase dukungan parpol terhadap pasangan calon (paslon) disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), sedangkan Pasal 15 memuat aturan terkait syarat usai bakal calon kepala daerah (Bacakada) dihitung saat penetapan.
Dalam Pasal 15, dijelaskan untuk kontestan pilkada 2024 tingkat provinsi, minimal harus berusia 30 tahun saat penetapan. PKPU ini sekaligus mengubur mimpi Kaesang Pengareb yang digadang-gadang maju sebagai calon gubernur Jawa Tengah (Jateng), sebab usianya masih 29 tahun saat penetapan pasangan calon pada 22 September 2024.
Yang paling krusial adalah aturan dalam pasal 11. Di mana pasal ini memberikan kesempatan parpol yang memperoleh 6,5 persen suara sah dalam Pemilu Legislatif DPRD 2024, untuk mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi. Di Jakarta misalnya, Pilkada sebenarnya bisa saja diikuti delapan pasangan calon dari delapan Parpol berbeda, karena perolehan suara sah delapan parpol dalam Pemilu Legislatif DPRD Jakarta di atas 7,5 persen (sesuai PKPU terbaru).
baca juga: Diaspora Indonesia Berharap Pilkada 2024 Berlangsung Demokratis
Adapun kedelapan parpol tersebut adalah PKB, Partai Gerindra, PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, PAN, dan PSI. Ditambah dengan satu pasangan calon independen yang telah lolos, yakni Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto, Pilkada Jakarta bisa diikuti sembilan paslon.
Namun, peta politik terkini hanya ada tiga pasangan calon yang bakal bertarung, yakni Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto (independent); Ridwan Kamil-Suswono yang diusung 14 parpol dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yakni Gerindra, PKS, Golkar, Demokrat, NasDem, PSI, PKB, Gelora, PBB, Perindo, PAN, PPP, Garuda dan PKN; serta Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI dan Hanura.
Memang, secara umum tidak terlalu terjadi perubahan signifikan di peta politik Pilkada Jakarta berikut empat provinsi lainnya di pulau Jawa, yakni Jatim, Jateng, Jabar, dan Banten yang selama ini menjadi barometer pergolakan politik Tanah Air. Karena skenario awal parpol-parpol yang tergabung dalam KIM Plus yang dimotori Partai Gerindra, tetap bisa mengusung pasangan calon yang digadang-gadang.
Namun begitu, tetap saja dengan diberlakukannya PKPU No 10/2004 membuat parpol-parpol yang semula perolehan suaranya tidak mencukupi syarat, kini merasa punya peluang dan bergegas mengajukan calon sendiri tanpa harus berkoalisi. Seperti di Provinsi Banten. PDIP dengan percaya diri mengusung Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi.
Tak sampai satu hari, pasangan ini juga mendapat dukungan dari Partai Golkar yang notabene tergabung dalam KIM Plus berikut parpol lainnya yakni Partai Buruh, Gelora, Ummat, PBB, dan PKN. Sementara KIM Plus sendiri yang menyisakan Gerindra, PKS, Demokrat, NasDem, PKB, PAN, PSI, serta PPP mengusung pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah.
Kemudian di Jawa Barat, PKS bersama Nasdem dan PPP juga tiba-tiba pisah jalan dengan KIM Plus, dengan mengusung Akhmad Syaikhu-Ilham Habibie. Sedangkan KIM Plus (Gerindra, Golkar, PAN, Partai Hanura, Partai Gelora, Partai Garuda, PKN, Partai Buruh, Prima, Perindo, PBB, dan Partai Ummat) mengusung Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan. Selain itu, ada dua pasangan calon lagi yang mendaftar, yakni Jeje Wiradinata-Ronal Sunandar Surapradja dari PDIP, dan Acep Adang Ruhiyat-Gitalis Dwi Natarina yang diusung PKB.
baca juga: Pilkada 2024, PPATK Bidik Aliran Uang Hasil Kejahatan
Di Pilkada Jawa Tengah, dua jenderal telah mendaftarkan diri. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa bersama Hendrar Prihadi datang ke KPUD Jawa Tengah pada Selasa (27/8). Pasangan ini diusungPDIPyang juga dikenal sebagai partai pemilik kursi terbanyak di DPRD Jawa Tengah. Padahari yang sama, Komjen Ahmad Luthfi bersama Taj Yasin Maimoen juga mendaftarkan diri. Mereka didampingi Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka ke KPUD Jawa Tengah. Pasangan ini disokong KIM Plus (Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, PSI, PBB, Partai Buruh, Partai Garuda, PKN, serta Prima).
Lalu dari Jatim, pasangan calon petahana Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak resmi mendaftar Pilgub Jawa Timur pada hari pertama. Mereka diusung oleh 15 partai yang tergabung dalam KIM Plus, yakni PAN, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PSI, PKS, Perindo, Nasdem, Partai Buruh, Partai Gelora, PBB, PKN, Partai Garuda, serta Prima. Kemudian pada hari terakhir pendaftaran, Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta juga mendaftar dengan dukungan dari PDIP dan Hanura. Disusul PKB yang mengusung dua kader internal Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim.
Demokrasi Elektoral dan Oligarki
Tak ubahnya Pemilu Presiden dan Legislatif, kontestasi para calon pemimpin daerah di tingkat provinsi, kota dan kabupaten juga dengan sangat disadari tak pernah luput dari praktik oligarki . Oligarki yang berkuasa tetap menjadikan demokrasi elektoral terus berada di bawah kepentingannya, dengan menyediakan uang bagi pasangan calon yang dijagokannya sebagai imbalan atas peneguhan kekuasaan ekonominya di tingkat lokal.
Karlmarx menjelaskan oligarki menunjukkan bahwa hubungan kekuasaan politik sebagian yang tak terpisahkan dari mekanisme bekerjanya kapitalisme. Dalam bahasa Yunani, oligarki (oligarkhÃa) yang berarti "aturan oleh sedikit"; olÃgos = sedikit, dan arkho = mengatur atau memerintah adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.
Orang-orang ini mungkin atau mungkin tidak, dibedakan oleh satu atau beberapa karakteristik, seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol perusahaan, agama, politik, atau militer. Sepanjang sejarah, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis. Aristoteles mempelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya, yang istilah lain yang umum digunakan saat ini adalah plutokrasi.
Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Dalam "hukum besi oligarki" dia menyarankan bahwa pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.
baca juga: Sumbangan Dana Kampanye Pilkada 2024 Dibagi 4 Kategori
Kelompok oligarki menemukan jalannya sendiri, dengan membangun sistem politik uang. Demokrasi elektoral dikontrol dengan menempatkan kekuatan uang dalam memenangi pemilihan, sehingga elite politik yang berlaga dalam kontestasi politik semakin bergantung pada kekuatan uang. Dengan negara seperti ini, oligarki dapat merebut dan menguasai sumber daya ekonomi demi pemupukan dan akumulasi kekayaan. Oligarki mencetak politikus, pejabat politik, birokrat, dan jaringan patronasenya dalam sistem yang dikendalikan oleh mereka.
Memang, dengan diterapkannya PKPU Nomor 10/2024 tentang perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8/2024 tentang pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, jalannya Pilkada 2024 terasa lebih kompetitif dan bergairah. Syarat pencalonan yang diatur dalam PKPU ini membuat pilkada lebih inklusif dan memberikan peluang yang lebih besar bagi calon alternatif yang potensial untuk berkompetisi.
Di sisi lain, terbukti peraturan ini juga mampu mencegah upaya parpol dalam mempersempit ruang kontestasi, termasuk praktik calon tunggal atau calon boneka di sejumlah daerah. Hal ini juga mengurangi kemungkinan kecurangan, karena semakin banyak pihak yang akan mengawasi proses pemilihan. Dengan demikian, Pilkada 2024 diharapkan dapat memunculkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas, juga menciptakan proses pemilihan yang lebih transparan dan adil.
Namun begitu, di ajang Pilkada serentak 2024 yang notabene banyak menguras energi dan biaya, tetap memberi ruang oligarki untuk bekerja. Oligarki menyebabkan elite politik yang menjadi calon kepala daerah tak bisa berpaling dari ketergantungannya pada kekuatan uang. Sebaliknya, pengusaha butuh kontrol terhadap alokasi sumber daya pemerintah di tingkat lokal seperti alokasi proyek APBD dan perizinan usaha atau alih fungsi lahan.
baca juga: Catatan Perindo untuk KPU terkait Logistik Pilkada 2024
Tak hanya itu, sejumlah oligarki juga menguasai partai politik. Dengan begitu, kekuasaan oligarki yang bersifat predatoris ini berkesesuaian dengan demokrasi politik uang, serta mekarnya jaringan preman dalam desentralisasi kekuasaan itu. Makanya, masyarakat sebagai pemilik suara harus cermat membaca dinamika yang berkembang di kontestasi Pilkada.
Bahwa, persaingan para elit dan parpol yang tampak keras di permukaan sesungguhnya hanya mekanisme untuk mencapai kesepakatan, dengan membangun kolaborasi. Supremasi kekuasaan yang dilandasi oleh kepentingan mempertahankan bagaimana institusi-institusi publik bekerja serta bagaimana aktor-aktor bertindak untuk mencapai kemenangan.
Dengan dinamikanya yang berkembang, tentu semua berharap Pilkada Serentak 2024 bisa berjalan lancar, aman, jujur dan berkeadilan. Masyarakat diharapkan menjadi pemilih cerdas dan mampu memilih calon kepala daerahnya dengan baik. Jangan karena kepentingan sesaat apalagi karena diberi uang dan iming-iming janji, malah terjebak memilih orang-orang yang salah dan terbenam makin dalam.
(hdr)