Mahasiswa dan Perubahan Sosial Kota

Sabtu, 05 Oktober 2019 - 08:23 WIB
Mahasiswa dan Perubahan Sosial Kota
Mahasiswa dan Perubahan Sosial Kota
A A A
Tantan HermansahKetua Jurusan Magister KPI dan Dosen Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta

HARI-hari belakangan ini kita sedang disuguhi fenomena yang sebetulnya sudah dirindukan masyarakat cukup lama: mahasiswa "bangun dari tidurnya". Penantian itu terjawab akhir-akhir ini. Mereka, para mahasiswa itu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya akhirnya kembali mengharu-biru beragam narasi aksi kehidupan sosial politik negeri ini. Mereka meng-Ada dengan cara dan idenya. Milenialitas yang tadinya sering dicibir sebagai gaya hedonis seakan terpupus dan menjadi batu kristal dengan kilau yang memukau.
Sejak awal mahasiswa adalah fenomena kota. Tidak peduli mereka berasal dan latar belakang apa. Ia menjadi entitas yang mandiri dalam tubuh kota itu sendiri. Meski merupakan bagian dari subsistem kota yang rumit, entitas ini memiliki kemampuan adaptasi dan resiliensi yang tinggi. Apalagi dengan energinya yang besar dan daya lenting yang luar biasa itu, menyebabkan kelompok mahasiswa akan selalu dibutuhkan sepanjang sejarah dinamika kota.
Jika kita menelusuri sejarah pun entitas mahasiswa telah menjadi bagian yang sangat penting. Mereka tidak hanya sebagai penggembira perubahan, tetapi justru banyak yang merupakan aktor utama dari perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, sepanjang masyarakat masih ada, entitas mahasiswa tetap akan hadir dan dibutuhkan.
Sejarah pelibatan mahasiswa di Indonesia merentang bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sumpah Pemuda, Budi Oetomo, Tentara Pelajar, Orde Lama, Orde Reformasi adalah terma-terma yang melekat pada keberadaan mahasiswa dalam kancah sosial politik di Indonesia. Mereka memerankan diri dalam setiap momentum budaya yang ada, yang akhirnya berdampak besar pada sejarah sosial bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari saat ini tidak bisa dimungkiri bahwa mahasiswa adalah kelompok sosial yang memberikan kontribusi signifikan pada perubahan sosial, khususnya di perkotaan. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskannya sebagai berikut.
Pertama, seperti sudah kita mafhum, usia mahasiswa adalah generasi yang aktif, produktif, dan progresif. Keaktifan mereka bisa dilihat dari beragam aktivitas yang mereka inisiasi, ikuti, atau kembangkan. Kegiatan mereka ini tidak selalu komersial, bahkan banyak yang bersifat sukarela atau volunteer . Mereka bisa senang menjadi volunteer karena kebanyakan ekonomi mereka masih disokong orang tuanya. Produktivitas kelompok bisa ditemukan dari beragam eksperimen yang mereka lakukan. Bahkan tidak jarang produktivitas mereka ini tergolong unik dan sangat aktual-kekinian. Karena itu dengan konten dan konteksnya, tidak sedikit yang menuai keuntungan dari produktivitasnya. Adapun progresivitas kelompok ini terlihat dari keinginan mereka untuk menjadi leader di zamannya: membangun jejaring dan followers sebanyak mungkin dan melakukan endorsement pada produk non-mainstream sehingga mendapatkan pengikut dan kadang membangun atau menciptakan branding sendiri.
Kedua, sebagai kelompok sosial yang secara epistemis ada pada kelompok kelas menengah atas, cara berpikir mereka juga kadang selalu berusaha memecah keadaan, menerabas kebuntuan, dan mencari solusi yang tidak biasa, tidak standar. Kemampuan kelompok ini jelas sangat dipengaruhi infrastruktur yang melekat pada kultur mereka. Infrastruktur itu antara lain seperangkat teknologi yang memungkinkan mereka melampaui batas-batas teritorial dan budaya sehingga tawaran-tawaran mereka kadang susah dicerna oleh orang-orang zaman old, yang cenderung konvensional dan mapan.
Ketiga, mereka juga pelopor temuan. Temuan-temuan mereka yang otentik, original, dan sangat kekinian menyebabkan mereka kemudian menjadi juru bicara zaman, PR (public relation ) kemodernan, dan tentu saja peletak dasar trendi dan keaktualan. Dengan temuan-temuannya, yang kadang tidak pernah mempertimbangkan aspek keberlanjutan, justru mereka tidak pernah mencari, mengeksplorasi, dan menemukan kebaruan. Kebaruan inilah yang kemudian mewarnai dan mencahayai zaman. Bagi entitas ini, keuntungan bukan utama. Tapi kemanfaatan atas fungsi dari temuan mereka yang justru dikuatkan.
Keempat, dalam konteks dinamika sosial politik, kelompok mahasiswa kerap menorehkan diri sebagai korektor paling otentik. Mereka menyela dinamika sosial politik di parlemen, pemerintah, dan masyarakat melalui pola dan logika aksi yang memukau dan tajam. Tidak jarang karena gerakannya yang lengkap: peduli, orasi, dan aksi, mereka bersinergi dengan batin rakyat. Ketiganya kemudian aktif menjadi pendorong gelombang masif perubahan.
Namun jika ditelusuri, gelombang perubahan yang dilakukan mahasiswa tidak melulu selalu bersifat momentual atau terkait dengan realitas sosial-politik tertentu. Artinya perubahan-perubahan yang dihasilkan dari keseharian mereka pun sangat kuat. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan gaya hidup, tren, serta realitas budaya populer lainnya. Jika yang sifatnya momentual itu lebih karena ada struktur politik yang perlu dikritisi, tetapi yang sifatnya graduatif pun muncul karena kebutuhan aktual mereka sendiri.
Contoh paling nyata adalah di kota-kota yang jumlah mahasiswanya tinggi, sudah lama muncul tradisi untuk melakukan diskusi-diskusi dan kongkow tidak hanya di kampus, tetapi juga di kafe atau ruang publik lain. Selain itu karena kecintaan mereka untuk memproduksi ide pada ruang yang lebih implementatif, tidak sedikit yang akhirnya mendorong lahirnya brand baru yang melekat dengan citra budaya mereka.
Daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal mahasiswa biasanya menjadi kawasan industri baru yang tumbuh pelan, tetapi tidak jarang menggeliat menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Bahkan peninggalan mereka menjadi penguat lahirnya "wisata kota" atau urban tourism d i mana produk dari urban tourism antara lain adalah eat, play, dan shopping. Budaya makan, main, dan belanja saat ini sudah menghasilkan pendapatan yang cukup signifikan bagi daerah. Selain itu proses interaksi yang dihasilkannya pun berkontribusi pada terciptanya budaya baru yang inklusif (Hermansah, 2019).
Dengan demikian perubahan sosial yang dihasilkan dari kehadiran mahasiswa pada sebuah momen dan kawasan tertentu, sangat nyata dan jelas. Kontribusinya bisa dipetakan pada dua aras: struktur sosial politik dan budaya. Keduanya berkolaborasi menghasilkan realitas dan fenomena sosial baru yang kadang mendorong terbangunnya kesejahteraan sosial masyarakat.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6115 seconds (0.1#10.140)