70 Tahun Tiongkok

Kamis, 03 Oktober 2019 - 16:21 WIB
70 Tahun Tiongkok
70 Tahun Tiongkok
A A A
Dinna Wisnu
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional

REPUBLIK Rakyat Tiongkok (China) memperingati hari raya kebangsaan atau hari raya nasional (Guoqing Jie) setiap 1 Oktober. Pada hari itu, seluruh rakyat Tiongkok memperingati jasa-jasa pendiri Republik Tiongkok dengan berbagai kegiatan selama satu minggu penuh yang disebut dengan Minggu Emas.

Hari Nasional Kebangsaan ini berbeda dengan Hari Raya Kemerdekaan Tiongkok dari Dinasti Qing pada 21 September 1949. Tanggal 1 Oktober menjadi tanggal khusus karena pada tanggal tersebut, pada 1949 berdiri pemerintahan pertama di negara dengan sistem pemerintahan republik yang baru. Oleh sebab itu, 1 Oktober menjadi tanggal yang lebih berarti bagi masyarakat Tiongkok.

Rakyat Tiongkok dapat berbangga karena ketika menginjak hari jadinya ke-70 tahun telah mampu meningkatkan pendapatan per kapita penduduknya dengan relatif signifikan. Bank Dunia mencatat bahwa PDB per kapita PPP Tiongkok pada 2018 adalah USD18.210. Pendapatan ini masih lebih rendah dibandingkan AS yang sudah mencapai USD62.641, tetapi lebih tinggi daripada Indonesia yang masih USD13.056.

Indonesia sendiri pernah mengungguli Tiongkok dalam hal pendapatan per kapita sejak 1990-an hingga 2007. Pendapatan per kapita Tiongkok pada 2007 adalah USD6.847, sementara Indonesia USD7.041.

Pendapatan ini disusul pada 2008 ketika pendapatan per kapita Tiongkok mencapai USD7.651, sementara Indonesia USD7.510. Sejak itu, pendapatan per kapita Tiongkok melesat meninggalkan Indonesia jauh hingga saat ini. Kita bahkan lebih tertinggal jauh dibandingkan ketika Tiongkok masih berada di bawah kita pada 1990-an.

Salah satu penyebab dari kemajuan yang pesat itu karena Tiongkok berhasil mengelola pasokan tenaga kerja murah dari sektor perdesaan untuk industrialisasi di perkotaan. Tiongkok sejak 1980-an telah membuka diri terhadap kapitalisme sambil tetap mempertahankan ideologi sosialisme di dalam negerinya. Tiongkok membuka beberapa wilayah seperti di Provinsi Jiangsu, Shandong, He’nan, Zhejiang, atau Fujian untuk menjadi pusat industrialisasi serta menyerap tenaga kerja dari pedesaan di sekitar provinsi-provinsi tersebut.

Tenaga kerja yang melakukan migrasi ke pusat-pusat industrialisasi itu bersedia menerima upah murah dan bekerja produktif karena rendahnya upah atau pendapatan di perdesaan. Mereka bersedia bekerja siang dan malam selain untuk mengejar pendapatan, juga karena secara politik sulit untuk meminta kenaikan upah.

Tiongkok saat itu sudah menjadi penyedia tenaga kerja terbesar di dunia. Jumlah penduduk saat Tiongkok membuka industrialisasi hampir mencapai 970 juta orang dan 80% bekerja di sektor agrikultur (Garnaut dan Li, 2006)

Beberapa analisis mengatakan bahwa keunggulan komparatif tenaga kerja murah itu tidak akan lama dinikmati oleh Tiongkok. Alasannya karena upah atau pendapatan di perdesaan akan merayap naik seiring dengan kekurangan tenaga kerja akibat banyak yang melakukan migrasi ke pusat industri.

Analisis kurangnya tenaga kerja ini diperkuat dengan kebijakan satu anak, satu keluarga, yang sudah menjadi kebijakan wajib di Tiongkok sejak 1979 ketika populasi di Tiongkok diperkirakan saat itu sudah mendekati satu miliar lebih. Naiknya upah di sektor perdesaan secara teoretis akan menyurutkan keinginan penduduk untuk melakukan migrasi ke kota sehingga di kota, upah buruh akan naik dan menyebabkan ongkos produksi tidak lagi kompetitif.

Pendekatan di atas dikenal dengan nama Lewis Turning Point (LTP) pada 1954 yang dikembangkan oleh Arthur Lewis, seorang ekonom peraih Nobel Memorial Prize in Economic Sciences, setelah mengamati perkembangan ekonomi di Jepang. Pendekatannya terutama digunakan untuk menganalisis perkembangan ekonomi di negara yang masih memiliki ekonomi ganda, yaitu ekonomi tradisional yang didominasi oleh sektor agrikultur di satu sisi dan ekonomi modern yang ditandai dengan industrialisasi di sisi yang lain.

Negara yang menuju atau telah melewati LTP perlu mewaspadai industrialisasi yang melemah dan terancam akan risiko terjadinya krisis. Industrialisasi yang melemah itu karena tidak ada lagi tenaga kerja yang bisa dibayar murah.

Beberapa analisis berbeda pendapat tentang apakah Tiongkok sudah mendekati atau melewati LTP tersebut. Ada yang mengatakan bahwa Tiongkok sudah menuju atau melewati LTP tersebut seperti yang disampaikan oleh Garnaut dan Li (2006), Cai Fang (2010.2011), atau Nabar and N’Diaye (2013).

Analis lain seperti Ryoshin Minami dan Xinxin Ma (2010) mengatakan bahwa Tiongkok belum melewati TLP tersebut sehingga masih memiliki kesempatan untuk tetap tumbuh lebih pesat, karena angkatan kerja murah yang masih melimpah dari wilayah perdesaan. Pendapat lain mengatakan bahwa hanya sebagian provinsi di Tiongkok yang sudah mencapai, tetapi ada juga provinsi lain yang belum mencapai titik tersebut seperti yang disampaikan Zheng Wei and Fung Kwan (2018).

Terlepas dari perdebatan tersebut, Tiongkok hingga saat ini masih menjadi mesin pengekspor terbesar di dunia. Tiongkok mungkin telah mengantisipasi akan terjadinya proses pelambatan industri sehingga analisis yang mengatakan terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi yang drastis tidak sepenuhnya terjadi.

Indeks Kerumitan Ekonomis (2018) mencatat bahwa Tiongkok mengekspor barang-barang senilai USD2,41 triliun dan mengimpor USD1,54 triliun pada 2017. Transaksi itu menghasilkan neraca perdagangan positif USD873 miliar, dengan rata-rata pertumbuhan ekspor Tiongkok sejak 2012–2017 ada pada angka 2,5%.

Salah satu strategi yang menjadi kebijakan politik luar negeri untuk tetap mempertahankan mesin ekspor adalah dengan memperluas pasar dan jaringan distribusi melalui OBOR. OBOR belum sepenuhnya bekerja, tetapi penetrasi Tiongkok dalam berbagai pembangunan dan investasi di berbagai negara yang masuk dalam jaringan infrastruktur OBOR telah lama berlangsung, seperti di negara-negara Afrika dan Asia. Produk-produk Tiongkok sudah banyak membanjiri pasar negara tersebut mulai dari produk teknologi tinggi seperti baja, chip komputer hingga pasar tradisional dan ritel seperti yang diungkap oleh data di atas.

Hal ini juga tidak lepas dengan revolusi teknologi informasi oleh Tiongkok. Tiongkok saat ini sudah menjadi pemimpin global dalam sistem e-commerce dan pembayaran mobile. Alibaba, Baidu, DiDi Chuxing, JD.com, Meituan-Dianping, dan Tencent adalah perusahaan-perusahaan yang memimpin perdagangan elektronik, layanan internet, dan perusahaan fintech yang paling berharga di dunia.

Perusahaan-perusahaan ini juga banyak yang sudah melakukan penetrasi ke Indonesia melalui penyertaan modal perusahaan-perusahaan e-commerce yang ada saat ini. Sektor-sektor baru seperti e-commerce dan layanan keuangan daring memperoleh momentum dalam ekonomi yang didominasi oleh sektor-sektor yang berorientasi ekspor.

Dominasi Tiongkok dalam perdagangan dunia seperti yang kita ketahui, telah mengundang perlawanan dari AS. AS mengenakan tarif atas barang-barang Tiongkok senilai USD34 miliar pada Juli 2018 dan USD16 miliar pada Agustus 2018. Kebijakan itu juga dibalas oleh Tiongkok terhadap produk-produk AS dengan nilai yang relatif hampir sama.

Perang dagang itu sebelumnya dikhawatirkan akan mengurangi investasi asing, tetapi Kementerian Perdagangan Tiongkok melaporkan bahwa investasi asing langsung (FDI) ke Daratan Tiongkok pascapengenaan tarif justru meningkat 7,3% tahun ke tahun menjadi 533,14 miliar yuan pada periode Januari–Juli 2019. Selama tujuh bulan terakhir telah berdiri total 24.050 perusahaan asing dengan kenaikan Investasi terjadi di industri teknologi tinggi sebesar 43,1% tahun ke tahun. Investor tersebut terutama dari Jerman dan Korea Selatan yang tidak secara langsung terkena sanksi dari AS.

Kemajuan ekonomi Tiongkok tidak berarti lepas dari risiko. Tiongkok perlu menjaga inflasi karena utang publik adalah alasan untuk khawatir terbesar saat ini di Tiongkok. Tiongkok mencatat utang pemerintah yang setara dengan 50,50% dari produk domestik bruto (PDB) negara itu pada 2018.

Pemerintah membatasi pinjaman untuk perusahaan-perusahaan milik negara sebagai prioritas. Situasi ini mendorong pemerintah untuk memperkenalkan langkah-langkah pelonggaran moneter, seperti membebaskan bank untuk menawarkan pinjaman lebih banyak pada bisnis yang lebih kecil.

Di sisi lain, Tiongkok menghadapi banyak tantangan terutama mengatasi populasi yang menua dan tenaga kerja yang menyusut. Tiongkok juga mempertimbangkan seberapa besar ruang keterbukaan sistem politik ekonominya bagi pengaruh luar serta masalah daya saing dalam ekonomi yang bergantung pada belanja modal yang tinggi dan perluasan kredit.

Tiongkok juga mengalami kesenjangan antara standar hidup kota-kota dan perdesaan, zona perkotaan di pantai Tiongkok dan pedalaman serta bagian barat negara itu, serta antara kelas menengah perkotaan dan mereka yang belum dapat mengambil untung dari pertumbuhan beberapa dekade terakhir. Ketidaksetaraan ini menjadi semakin mengkhawatirkan bagi otoritas dan investor Tiongkok.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4749 seconds (0.1#10.140)