Karhutla dan Kejahatan Ecocide

Selasa, 24 September 2019 - 04:39 WIB
Karhutla dan Kejahatan Ecocide
Karhutla dan Kejahatan Ecocide
A A A
M. Ridha Saleh
Komisioner Komnas HAM 2007-2012

PERNYATAAN yang mengejutkan keluar dari Presiden Joko Widodo di beberapa media cetak dan online saat kunjungan kerja ke Provinsi Riau untuk melihat langsung kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Banut, Kabupaten Pelalawan.

Presiden Jokowi Menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau ada unsur kesengajaan terorganisir. Indikasinya, luas lahan yang terbakar sangat luas, bahkan di depan awak media Jokowi menegaskan kalau lihat luasnya besar sekali ini terorganisir.

Di seluruh Indonesia, berdasarkan data BNPB, ada 2.862 titik panas. Untuk wilayah Kalimantan Tengah memiliki titik api (hotspot) terbanyak, yakni 954 titik. Kemudian, disusul Kalimantan Barat 527 titik api; Sumatera Selatan 366 titik api; Jambi 222 titik api; Kalimantan Selatan 119 titik api, dan Riau 59 titik api.

Luas karhutla di Indonesia selama 2019, sesuai data KLHK, sudah mencapai 328.722 hektare. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektare, Kalbar (25.900 ha), Kalsel (19.490 ha), Sumsel (11.826 ha), Jambi (11.022 ha) dan Riau (49.266 ha).

Akibat karhutla telah mengakibatkan polusi udara yang sangat berbahaya, Berdasarkan aplikasi AirVisual, indeks kualitas udara (AQI) dan PM 2.5 sudah mencapai angka 1.760 dengan kategori berbahaya. dan ini terjadi di hampir semua kota besar di Sumatra dan Kalimantan.

Hingga Selasa (17/9/2019), polisi telah menetapkan 218 orang dan 5 perusahaan sebagai tersangka, sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel sekitar 42 perusahaan di 43 lokasi yang diduga menjadi otak di balik aksi karhutla.

Kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh karhutla: Pertama yaitu telah terjadi kerusakan ekologi atau ekosistem, termasuk di dalamnya, pemusnahan terhadap sumber daya flora dan fauna; Kedua yaitu gangguan pada kesehatan di masyarakat bahkan hingga meninggal dunia; Ketiga yaitu terhentinya serta kerugian pada kegiatan pendidikan dan perekonomian masyarakat seperti perdagangan, pariwisata, transportasi dan kegiatan-kegiatan produktif lainya.

Oleh karena itu, karhutla telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang besar. Berdasarkan data Bank Dunia, saat kebakaran lahan besar-besaran terjadi 2015 lalu nilai kerugian pemerintah mencapai Rp2,5 triliun.

Jumlah kerugian itu belum termasuk dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, terhentinya proses produksi, terganggunya kegiatan perdagangan dan transportasi, serta menurunnya nilai sumber daya di daerah terdampak. Jika ditotal, estimasi kerugian bisa membengkak hingga Rp221 triliun.

Substansi Ecocide
Berdasarkan pernyataan resmi pemerintah bahwa, dampak dari karhutla tidak hanya mempengaruhi degradasi kualitas lingkungan alam wilayah sekitar atau berdampak pada korban langsung, akan tetapi juga mempengaruhi wilayah-wilayah lain yang masih memperlihatkan relasi aliran sumberdaya seperti yang telah kita saksikan bersama.

Dalam kasus karhutlah, polusi dan penetrasi pencemaran udara yang merusak kehidupan manusia juga tidak dapat di kategorisasi ada korban langsung atau tidak langsung, seperti dampak dari kerusakan sumberdaya alam biasanya, sebab daya dari pencemaran udara itu lebih bersifat massif, menyeluruh dan merusak satu-satunya titik sumber sumber penghidupan manusia.

Bahkan dampak dari pencemaran udara akibat karhutla tidak hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang yang menyebabkan kematian dan penyimpangan genetic bagi generasi yang akan datang.

Studi yang diterbitkan di jurnal Environmental Research Letters pada tahun 2016 menaksir jumlah kematian akibat kabut asap pada 2015 sebanyak 91.600 di Indonesia, 6.500 di Malaysia, dan 2.200 di Singapura. Walaupun pemerintah Indonesia menolak angka tersebut, dan mengatakan bahwa itu merupakan estimasi hasil studi, bukan angka temuan di lapangan.

Ecocide adalah perusakan lingkungan alam yang terjadi atas dasar kelalaian atau tindakan sengaja yang dilakukan melalui berbagai aktivitas yang terorganisir dan sistimatis serta membahayakan dan membunuh kehidupan manusia. Dengan demikian, jika mengacu pada pernyataan Presiden maka karhutlah yang terjadi selama ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan ecocide.

Kejahatan Ecocide dalam konteks kerhutla merupakan hasil dari eksternalisasi terhadap keamanan dan kedamaian ekosistim alam melalui destruktifikasi sistim keamanan dan presedur yang tidak memadai yang digunakan oleh korporasi dalam mengelola lingkungan hidup.

Ecocide harus dipahami sebagaimana fungsi dan struktur modal bekerja, dengan menggunakan kekuasaan untuk menumpuk dan merusak siklus alam serta mengubahnya menjadi sebuah proses deplesi terhadap sumberdaya alam yang terakibat secara linear, melebihi kendala dan batas-batas alam dan menyebabkan benturan 'celah metabolisme' antara modal dan alam.

Dari fakta dan data yang tersedia, karhutlah yang berlangsung di sejumlah daerah, terjadi oleh karena dijadikan sebagai cara untuk melakukan ekspansi modal oleh korporasi untuk mendapatkan keuntungan dari parktek bisnis perkebunan besar di Indonesia.

Ecocide merupakan kejahatan modern setara dengan kejahatan internasional lainya yang disebut dalam Statuta Roma, dikarenakan tindakan, pelibatan, dan dampaknya terhadap esensi damai dan perdamaian penduduk, hak hidup dan tata kelangsungan kehidupan manusia dan lingkungan hidup masa kini dan masa yang akan datang.

Unsur lain yang dapat digunakan untuk melihat kategori kejahatan ecocide yaitu; (1) kerusakan yang luas, (2) kerusakan atau kehilangan ekosistem dari suatu wilayah tertentu, (3) kerusakan dilakukan apakah oleh seorang manusia atau oleh penyebab lain, (4) kenikmatan damai oleh penduduk wilayah setempat yang telah berkurang parah dari lingkungan alam.

Pengutan Hukum
Pembakaran untuk membersihkan lahan dilarang di bawah hukum no. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 4/2001 mengenai Pengelolaan Degradasi Lingkungan dan/atau Polusi berkaitan dengan Hutan atau Kebakaran Lahan.

Namun beberapa Riset menunjukkan bahwa beberapa perusahan besar lebih memilih risiko bersalah dan membayar denda daripada mengeluarkan biaya untuk melakukan tindakan pencegahan.

Pada tahun 1987, Komisi Hukum Internasional telah mengusulkan bahwa pada daftar kejahatan internasional, harus mempertimbangkan pentingnya memasukan kejahatan ecocide, sebagai refleksi dari kebutuhan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, serta mencegah penggunaan senjata nuklir, kolonialisme, apartheid serta agresi ekonomi.

Guna mencegah kejahatan tersebut terus berlangsung, Polly Higgins, pengacara dari London, mengajukan sebuah proposal hukum kepada PBB pada April 2011 untuk menambahkan kejahatan ecocide ke dalam Statuta Roma. Dalam proposal itu, dia memasukkan pemusnahan lingkungan hidup secara besar-besaran atau ecocide sebagai pelanggaran berat HAM atau kejahatan kelima terhadap perdamaian.

Usulan serupa sebenarnya juga bisa dilakukan di Indonesia dengan mengusulkan kejahatan ecocide masuk dalam revisi undang-undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana menambahkan satu kejahatan ecocide sebagai pelanggaran HAM yang berat.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2929 seconds (0.1#10.140)