Kerja KPK Akan Diawasi, Independensi Terancam

Jum'at, 06 September 2019 - 05:44 WIB
Kerja KPK Akan Diawasi, Independensi Terancam
Kerja KPK Akan Diawasi, Independensi Terancam
A A A
JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) resmi diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR. Jika sah menjadi undang-undang, keberadaan aturan baru ini akan memengaruhi nasib lembaga antirasuah tersebut.

Revisi yang diajukan kalangan DPR terbilang sangat mendasar. Dari enam isu besar yang bakal direvisi, salah satu poin krusial itu adalah KPK tidak lagi menjadi lembaga ad hoc, melainkan bagian dari eksekutif (pemerintah), KPK juga akan diawasi oleh dewan pengawas. Selanjutnya kepada dewan pengawaslah KPK harus meminta izin melakukan penyadapan.

Langkah DPR tersebut langsung memantik reaksi berbagai kalangan. Mereka menilai revisi diarahkan untuk melumpuhkan KPK. Penentangan di antaranya disampaikan Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dan pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar. Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi mempertanyakan keabsahannya secara hukum karena revisi UU KPK tidak termasuk RUU prioritas di Program Legislasi Nasional 2019.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas dalam lembaran laporan Baleg tertanggal 4 September 2019 mengungkapkan, salah satu materi muatan RUU tentang KPK menyatakan kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan.

Hanya dia menggariskan, walaupun KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. "Pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara," ujar dia.

Pada revisi juga dinyatakan KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK.

Poin selanjutnya KPK selaku lembaga penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia (integrated criminal justice system). "Oleh karena itu KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia," demikian dijelaskan Supratman.

Isu keempat mengenai langkah pencegahan disebutkan setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan terhadap Penyelenggara Negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatannya. Dalam hal ini KPK tidak lagi berwenang terhadap LHKPN. Kemudian atau isu kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah 5 (lima) orang.

Dewan Pengawas KPK tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh organ pelaksana pengawas. Isu keenam mengenai kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama (satu) tahun.

Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan kepada publik. "Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksud dapat dicabut apabila ditemukan bukti baru yang berdasarkan putusan praperadilan," jelas Supratman.

Proses pengusulan RUU tersebut terbilang cepat. Sebelumnya pada tanggal 3 September 2019, Badan Legislasi telah menyelenggarakan rapat pleno Baleg dengan agenda pandangan fraksi-fraksi terhadap hasil penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dilakukan Panitia Kerja (Panja).

Pada rapat tersebut seluruh fraksi telah menyetujui hasil kerja Panja dan menyetujui agar RUU tentang Perubahan Kedua atas UU KPK segera disampaikan kepada Pimpinan DPR untuk disampaikan ke rapat paripurna dan diputuskan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR dalam rapat paripurna terdekat. Kemarin usulan itu disetujui dalam rapat paripurna yang hanya dihadiri 77 orang di Gedung DPR, Senayan.

KPK yang dimintai konfirmasi mengaku tidak mengetahuinya karena tidak dilibatkan dalam penyusunan Revisi RUU Kedua No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah pun mengingatkan revisi UU KPK sebelumnya yang melemahkan lembaga pemberantasan korupsi itu. Dia pun menegaskan KPK belum membutuhkan revisi UU tersebut.

"Justru dengan UU ini KPK bisa bekerja menangani kasus-kasus korupsi, termasuk OTT, serta upaya penyelamatan keuangan negara lainnya melalui tugas pencegahan," ucapnya. Dia menuturkan, perubahan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak akan bisa disahkan menjadi UU tanpa pembahasan dan persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Karena UU adalah produk DPR bersama Presiden," ucapnya.

Presiden Joko Widodo mengakui belum mengetahui isi usulan revisi UU KPK. Karena itu dirinya mengaku belum bisa menyampaikan apa-apa. Namun dia menggariskan, kerja KPK saat ini dengan UU yang ada sudah baik."Itu inisiatif DPR. Saya belum tahu isinya. Yang jelas KPK saat ini bekerja dengan baik," tuturnya di Rumah Radakng, Pontianak Kalimantan Barat, kemarin.

Sementara itu Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo meminta Presiden Jokowi bersikap atas Revisi UU KPK yang diajukan anggota DPR. "Jadi (DPR) jangan juga nambah-nambahin persoalan dengan membahas soal-soal yang tidak terlalu penting menurut publik meski menurut elite itu penting supaya mereka tidak mudah juga ditangkap oleh KPK, kan gitu," kata Adnan saat dihubungi Sindonews, Kamis (5/9/2019).

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mempertanyakan langkah DPR RI dalam merevisi UU KPK. Apalagi sebelumnya revisi UU KPK sempat diprotes masyarakat karena akan melemahkan kinerja KPK."Saya sendiri merasa kaget karena tiba-tiba akan ada penetapan RUU perubahan UU KPK, karena sejak rencana perubahan yang oleh masyarakat sipil ditengarai sebagai upaya pelemahan tidak terdengar lagi, tetapi kemudian tiba tiba muncul lagi," ujar Fickar kepada wartawan, Jakarta, kemarin.

Dalam pandangannya, konten-konten dalam revisi UU KPK hampir semuanya dapat melemahkan kinerja KPK. Misal dibentuknya dewan pengawas yang kedudukan dan kewenangan dewan pengawas di atas komisioner. Dia juga mempersoalkan keharusan KPK minta izin melakukan penyadapan kepada dewan pengawas adanya kewenangan menerbitkan SP3 dan LHKPN.

Menurut Fickar, kehadiran dewan pengawas akan sangat berkuasa dan akan melemahkan gerak langkah KPK. Demikian juga SP3 akan menempatkan KPK sebagai lembaga yang tidak berwibawa selain potensi godaan terhadap personel KPK, termasuk para penyidik."Konten-konten inilah yang pada waktu lalu ditolak masyarakat dan banyak pihak lainnya sehingga perubahan itu gagal dilakukan karena memang arahnya melemahkan KPK secara kelembagaan," jelasnya.

Dia lantas menandaskan, usulan revisi UU KPK jelas bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang tata cara pembentukan peraturan perundangan karena bertentangan dengan urgensi yang ditentukan UU aquo, yaitu rencana perubahan UU KPK bukan pengaturan lebih lanjut dari suatu ketentuan UUD 1945.

Selanjutnya perubahan UU KPK bukan perintah suatu UU untuk diatur dengan UU, serta rencana perubahan UU KPK bukan pengesahan perjanjian internasional. Dan rencana perubahan UU KPK bukan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi."Demikian juga rencana perubahan UU KPK bukanlah pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena masyarakat sendiri telah menolak rencana perubahan itu," jelasnya.

Dengan melakukan revisi UU KPK, Fickar menyebut DPR RI periode 2014-2019 bakal meninggalkan pekerjaan rumah besar bagi DPR RI periode 2019-2024 nantinya. "DPR meninggalkan bom waktu pada DPR yang akan datang," ucapnya. Di sisi lain, PSHK menilai, pengesahan tersebut melanggar hukum karena tak termasuk dalam RUU prioritas di Program Legislasi Nasional 2019 yang sudah disepakati bersama antara DPR dan pemerintah.

"Seharusnya yang dilakukan oleh Baleg DPR adalah untuk diusulkan menjadi RUU Prioritas dalam Prolegnas perubahan, tidak langsung menjadi usul inisiatif," ujar Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulisnya kemarin.

Fajri juga menyesalkan, DPR yang menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap peraturan perundang-undangan, yaitu UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Termasuk juga ketentuan internal kelembagaannya sendiri, yaitu Tata Tertib DPR," jelasnya.

untuk tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR sehingga proses pembahasan tidak dapat dilaksanakan. "Presiden Joko Widodo harus fokus pada RUU yang sudah masuk sebagai prioritas dalam Prolegnas 2019 yang sudah disepakati bersama DPR sebelumnya," tuturnya.

Hanya Dihadiri 77 Anggota Dewan

Revisi UU KPK disetujui dalam rapat paripurna DPR. Selain itu paripurna juga menyetujui UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) direvisi. Rapat paripurna itu dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Utut Adianto.

Dalam rapat tersebut, Utut awalnya menanyakan para anggota DPR yang hadir, apakah menyetujui revisi Undang-Undang MD3 menjadi usul DPR. Para anggota DPR yang hadir pun menjawab setuju. Selanjutnya Utut Adianto menanyakan kepada para anggota DPR yang hadir, apakah menyetujui revisi UU KPK menjadi usul DPR. Para anggota DPR yang hadir pun menjawab setuju secara bersamaan.

"Dengan demikian 10 fraksi telah menyampaikan pendapat fraksinya masing-masing. Pendapat fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi DPR RI tentang Perubahan Kedua UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dapat disetujui jadi usul DPR RI," kata Utut Adianto dalam rapat paripurna, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Selain substansi perundangan, rapat paripurna DPR kemarin juga menjadi sorotan karena hanya dihadiri 77 anggota DPR. Selebihnya, 204 orang anggota izin. Namun pimpinan DPR mengungkapkan total 281 orang anggota dewan menghadiri rapat paripurna itu dan menganggap rapat kuorum.

Koordinator Indonesia Parliamentary Center, Ahmad Hanafi mempersoalkan DPR menganggap kuorum berdasarkan daftar hadir, bukan kehadiran fisik. Kemudian, kata dia, pengambilan keputusan juga berdasarkan pada pendapat fraksi. "Meskipun sah secara mekanisme, secara etik ini tidak patut," ujar Ahmad Hanafi kepada SINDOnews kemarin.

Dia mengingatkan bahwa anggota DPR adalah pejabat publik, tentu harus memperhatikan moral publik. "Yang aneh dari paripurna kali ini adalah menyampaikan pendapat tertulis. Padahal ini pengambilan keputusan terhadap persetujuan usulan RUU oleh DPR," katanya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4375 seconds (0.1#10.140)