Haluan Negara dan Ekonomi Kita

Rabu, 28 Agustus 2019 - 08:18 WIB
Haluan Negara dan Ekonomi Kita
Haluan Negara dan Ekonomi Kita
A A A
Faozan Amar
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah

SETELAH
mengalami amendemen empat kali pada masa MPR Periode 1999-2004, gagasan amendemen terbatas terhadap UUD 1945 kembali berkumandang. Dimulai oleh rekomendasi MPR Periode 2009-2014 agar MPR periode 2014-2019 melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN sebagai haluan penyelenggara negara.

Rekomendasi tersebut, pada 16 Agustus 2019, oleh Ketua MPR ditindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Ad Hoc (PAH) I dan II. PAH I membahas tentang pokok-pokok haluan negara dan PAH II membahas materi rekomendasi MPR, perubahan tata tertib MPR dan ketetapan MPR.

Bola terus bergulir ketika rekomendasi Kongres V PDIP di Bali beberapa waktu lalu mengingatkan kembali pentingnya haluan negara dalam amendemen terbatas UUD 1945. Pada saat peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus lalu, Ketua MPR menegaskan kembali tentang amendemen terbatas UUD 1945 untuk membahas sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Walaupun prosesnya masih panjang dan tidak sederhana.

Mengapa haluan negara penting dalam pembangunan? Mengacu definisi frase "haluan negara" menurut KBBI antara lain adalah; arah, tujuan, pedoman atau petunjuk resmi politik suatu negara. Artinya, jika tidak ada haluan negara, maka bisa jadi tidak ada arah, tujuan, pedoman dan petunjuk ke mana pembangunan ekonomi negara ini akan dibawa sehingga berdampak pada ketidakjelasan dan ketidakpastian arah pembangunan nasional yang dituju.

Visi dan misi pembangunan bangsa tergantung dari visi-misi presiden terpilih (Pasal 4 UU No. 25/2004) yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum pada saat mendaftar (Pasal 169 UU Nomor 7/2017). Artinya, sangat boleh jadi visi-misi pembangunan nasional berbeda antarpresiden, bahkan presidennya sama, tapi visi-misi dan programnya bisa saja berbeda di antara periode pertama dan kedua.

Jadi, terlihat sangat jelas tiadanya kesinambungan dalam proses pembangunan. Maka, dampaknya pertama, biaya ekonomi tinggi. Sebab, apa yang sudah direncanakan oleh pemerintahan sebelumnya bisa saja tidak dilanjutkan oleh penggantinya karena berbeda visi-misi, program dan kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Contohnya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda dan pembangunan wisma atlet di Hambalang yang sampai sekarang mangkrak.

Kedua, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan dan belum mampu keluar dari pertumbuhan ekonomi yang berada di kisaran 5%. Jika kita lihat pertumbuhan ekonomi kita sejak 2011 sampai 2018 cenderung stagnan, bahkan turun di angka 6,17-5,07% (Budimanta, 2019). Akibatnya, Indonesia belum keluar dari negara middle income trap. Walaupun faktornya tidak tunggal, seperti pengaruh kondisi ekonomi global yang memang sedang lesu.

Ketiga, investor cenderung wait and see, bahkan ada yang memindahkan investasinya ke negara lain seperti ke Vietnam akibat ketidakjelasan arah pembangunan bangsa. Dampaknya adalah masih tingginya angka pengangguran dan rendahnya daya beli masyarakat, padahal penopang utama pertumbuhan ekonomi kita adalah konsumsi rumah tangga dan investasi (BPS, 2019).

Sehingga jika tidak diselesaikan dengan baik ini akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak. Sekarang peluang untuk mendapatkan investasi dari luar negeri sangat besar, terutama akibat dari perang dagang Amerika Serikat dan China. Namun masih bergantung pada kebijakan pemerintahan baru yang akan dilantik Oktober nanti.

Keempat, masih tingginya ketimpangan ekonomi. Misalnya proporsi kekayaan nasional yang dikuasai oleh 1% penduduk dewasa terus meningkat dari 31,5% pada 2010 menjadi 46,6% pada 2018. Angka buruh tani dan buruh bangunan tidak mengalami perbaikan yang berarti. Di samping itu, rasio Gini yang meskipun terus turun, angkanya tetap lebih tinggi dibandingkan dengan angka di era sebelum reformasi (Budimanta, 2019).

Berdasarkan uraian di atas, sangat jelaslah dampak negatif dari ketiadaan haluan negara. Artinya, gagasan untuk melakukan amendemen terbatas tentang haluan negara patut untuk diapresiasi, sebagai bagian dari ikhtiar untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila.

Pentingnya Haluan Negara
Sejak merdeka 74 tahun lalu sesungguhnya negara ini telah memiliki haluan negara. Pada masa Presiden Soekarno di kenal dengan nama Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang disahkan oleh Tap MPRS Nomor 2/1960. Bung Karno (1959) mengatakan "Pembangunan yang bersifat menyeluruh untuk menuju tercapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila."

Kemudian pada Orde Baru di era Presiden Soeharto, namanya garis-garis besar haluan negara (GBHN), yakni haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR, yang kemudian diimplementasikan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Pada era reformasi sekarang ini, sejak amendemen UUD 1945 oleh MPR Periode 1999-2004, GBHN sudah tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya Undang-Undang Nomor 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang cenderung eksekutif-sentris karena dalam penjabarannya tergantung pada visi misi presiden terpilih.

Haluan negara berfungsi untuk menjadi kaidah penuntun (guiding principles ) yang berisi arahan besar (directive principles ) tentang bagaimana setiap kebijakan pemerintah adalah implementasi dari nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Memasuki 100 tahun Indonesia pada 2045, tentu tantangan dan ancaman yang dihadapi bangsa ini tidaklah ringan. Baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Maka, perlu ada sinergi dan gotong-royong antarkomponen bangsa untuk menjawab tantangan tersebut.

Adanya haluan negara adalah memastikan bahwa arah dan tujuan bangsa ini benar sesuai dengan dasar dan ideologi bangsa serta selaras dengan UUD 1945. Apalagi haluan negara tercantum dalam UUD dan diputuskan oleh MPR yang memang memiliki kewenangan dalam mengamandemen UUD 1945, sehingga konsensus bersama tersebut akan menjadi mudah diimplementasikan oleh siapa pun presiden dan pemerintahannya. Alhasil, kepastian dan keberlanjutan dalam melaksanakan proses pembangunan akan menjadi jaminan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, bangsa Indonesia membutuhkan haluan negara untuk memberikan arah dan kepastian pembangunan. Maka, siapa pun presidennya dan dari partai apa pun yang berkuasa, keberlanjutan pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, dapat terus berlangsung. Dengan begitu, tujuan Indonesia merdeka, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dapat terwujud. Wallahua’lam.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3952 seconds (0.1#10.140)