Urgensi, Konsepsi dan Implementasi Benteng Pertahanan IKN
loading...
A
A
A
baca juga: Hak atas Tanah di IKN Diobral, Mardani: Ini Namanya IKN for Sale
Secara teoritis, fasilitas pertahanan -baik pasukan maupun alutsista- sudah digelar karena presiden dan pimpinan negeri ini lainnya akan semakin intensif dan berkunjung, dan bahkan menetap di tempat tersebut. Karena itu, patut dipertanyakan apa saja yang telah dipersiapkan otoritas terkait, khususnya Kementerian Pertahanan dan TNI untuk mengamankan ibu kota negara baru ini?
Center of Gravity
Pembangunan sistem pertahanan tangguh untuk ibu kota negara dalam sejarah peradaban dilakukan dengan berbagai metode. Di antara kisah paling terkemuka ditunjukkan Konstatinopel. Untuk mengamankan ibu kota Bizantium, kaisar negeri tersebut membangun tembok untuk membentengi ibu kota dari ancaman Kesultanan Turki Usmani.
Pada puncak kemegahannya, tembok Konstantinopel memiliki panjang 12 kilometer, berlapis setinggi 12 meter, dan memiliki 192 menara yang masing-masing dilengkapi ketapel sebagai senjata artileri kala itu untuk mengusir pasukan lawan yang menyerbu, serta dikelilingi parit sedalam 7 meter untuk menghalangi atau menjebak prajurit infanteri yang mencoba meringsek ke benteng.
Pertahanan kota yang mulai dibangun Constantine 1 pada 330 H menjadi kian kokoh karena sebagian wilayah dikelilingi perairan yang menghubungkan Laut Tengah dan Laut Hitam yang membatasi Asia dan Eropa. Belum lagi pertahanan didukung keberadaan rantai yang bisa menghalangi kapal masuk ke Selat Golden Horn.
Saking kuatnya pertahanan, tembok Konstatinopel baru bisa ditembus setelah melalui berbagai strategi yang dilakukan pasukan Turki Usmani dalam kurun 800 tahun -dimulai dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan (44 H), Sulaiman bin Abdul Malik (98 H), Harun al-Rasyid (190 H), hingga Sultan Murad II (1451). Tembok raksasa baru jebol pada 1453 di era kepemimpinan Muhammad Al Fatih atau Fatih Sang Penakluk (Sultan Mehmed II).
Upaya meruntuhkan benteng Konstatinopel jelas tidak berlangsung mudah. Sukses bisa diraih setelah pasukan Kesultanan Turki membuat meriam raksasa untuk memborbadir benteng, dan kemudian berhasil merobohkan Gerbang Saint Romanus. Di sisi lain, mereka juga sukses membawa kapal melewati daratan untuk menghindari jebakan rantai yang membentang di Selat Golden Horn.
Jatuhnya tembok Konstatinopel itu pun menjadi penanda hancurnya kekaisaran Romawi timur tersebut. Belajar dari kisah jatuhnya Konstatinopel, pemerintah harus belajar bahwa pertahanan ibu kota sangat krusial untuk mempertahankan kedaulatan negara secara keseluruhan.
Apalagi, di ibu kota negara lah pusat pemerintahan dan perekonomian dijalankan, dan dalamnya tinggal para perwakilan negara-negara sahabat. Karena itulah, harus dipikirkan bagaimana bisa membangun benteng sekuat-kuatnya untuk menjamin pertahanan ibu kota dari berbagai ancaman. Benteng berupa tembok kokoh yang mengelilingi ibu kota tentu sudah tidak relevan.
Secara teoritis, fasilitas pertahanan -baik pasukan maupun alutsista- sudah digelar karena presiden dan pimpinan negeri ini lainnya akan semakin intensif dan berkunjung, dan bahkan menetap di tempat tersebut. Karena itu, patut dipertanyakan apa saja yang telah dipersiapkan otoritas terkait, khususnya Kementerian Pertahanan dan TNI untuk mengamankan ibu kota negara baru ini?
Center of Gravity
Pembangunan sistem pertahanan tangguh untuk ibu kota negara dalam sejarah peradaban dilakukan dengan berbagai metode. Di antara kisah paling terkemuka ditunjukkan Konstatinopel. Untuk mengamankan ibu kota Bizantium, kaisar negeri tersebut membangun tembok untuk membentengi ibu kota dari ancaman Kesultanan Turki Usmani.
Pada puncak kemegahannya, tembok Konstantinopel memiliki panjang 12 kilometer, berlapis setinggi 12 meter, dan memiliki 192 menara yang masing-masing dilengkapi ketapel sebagai senjata artileri kala itu untuk mengusir pasukan lawan yang menyerbu, serta dikelilingi parit sedalam 7 meter untuk menghalangi atau menjebak prajurit infanteri yang mencoba meringsek ke benteng.
Pertahanan kota yang mulai dibangun Constantine 1 pada 330 H menjadi kian kokoh karena sebagian wilayah dikelilingi perairan yang menghubungkan Laut Tengah dan Laut Hitam yang membatasi Asia dan Eropa. Belum lagi pertahanan didukung keberadaan rantai yang bisa menghalangi kapal masuk ke Selat Golden Horn.
Saking kuatnya pertahanan, tembok Konstatinopel baru bisa ditembus setelah melalui berbagai strategi yang dilakukan pasukan Turki Usmani dalam kurun 800 tahun -dimulai dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan (44 H), Sulaiman bin Abdul Malik (98 H), Harun al-Rasyid (190 H), hingga Sultan Murad II (1451). Tembok raksasa baru jebol pada 1453 di era kepemimpinan Muhammad Al Fatih atau Fatih Sang Penakluk (Sultan Mehmed II).
Upaya meruntuhkan benteng Konstatinopel jelas tidak berlangsung mudah. Sukses bisa diraih setelah pasukan Kesultanan Turki membuat meriam raksasa untuk memborbadir benteng, dan kemudian berhasil merobohkan Gerbang Saint Romanus. Di sisi lain, mereka juga sukses membawa kapal melewati daratan untuk menghindari jebakan rantai yang membentang di Selat Golden Horn.
Jatuhnya tembok Konstatinopel itu pun menjadi penanda hancurnya kekaisaran Romawi timur tersebut. Belajar dari kisah jatuhnya Konstatinopel, pemerintah harus belajar bahwa pertahanan ibu kota sangat krusial untuk mempertahankan kedaulatan negara secara keseluruhan.
Apalagi, di ibu kota negara lah pusat pemerintahan dan perekonomian dijalankan, dan dalamnya tinggal para perwakilan negara-negara sahabat. Karena itulah, harus dipikirkan bagaimana bisa membangun benteng sekuat-kuatnya untuk menjamin pertahanan ibu kota dari berbagai ancaman. Benteng berupa tembok kokoh yang mengelilingi ibu kota tentu sudah tidak relevan.