Eks Penasihat KPK Ungkap Proses Penolakan Terhadap Revisi UU No 30/2002
loading...
A
A
A
"Yang pertama, itu kita minta daftar isian masalahnya, DIM-nya sebenarnya seperti apa, sih? Sehingga urgensi dari revisi apakah bisa dibenarkan atau sebaliknya? Yang kedua, yang kami minta pada waktu itu adalah draf terakhir dari RUU revisi itu. Sampai pimpinan selesai periodisasinya juga enggak pernah dikirim. Jadi memang sangat aneh," paparnya. (Baca juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
Dia menjelaskan, draf revisi UU KPK justru didapatkan dari pihak luar yakni kalangan akademisi. Itupun, kata Budi, tidak bisa menjawab bahwa official draft yang final yang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Karenanya ujar Budi, KPK secara kelembagaan tidak pernah menerima draf resmi RUU KPK baik dari Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham maupun DPR. "Itu tidak pernah ada. Justru kami mendapatkannya dari luaran. Waktu diskusi di internal KPK, selalu ada pertanyaan sebenarnya kita mendiskusikan ini jangan-jangan draf aslinya yang dibahas bukan ini?. Jadi kami sendiri di internal KPK, saya sendiri juga membaca ada versi ini, versi itu, ada versi a, versi b. Jadi masing-masing versi itu ada," imbuhnya.
Budi membeberkan, seperti diketahui bersama bahwa UU baru hasil revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna pada 17 September 2019. Selepas itu memang UU baru KPK yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 belum berlaku karena menunggu pengesahan dari Presiden Joko Widodo.
Selepas pengesahan oleh DPR, Budi menceritakan, KPK melakukan upaya berikutnya dengan jalur informal. Budi sempat berdiskusi dengan Agus Rahardjo selaku ketua KPK saat itu di ruang kerja Agus. Agus bersama pimpinan lain ternyata berupaya melakukan bypass ke Istana. Di dalam ruang kerja, Agus menunjukkan ke Budi tentang isi pesan WhatsApp antara Agus dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
"Waktu itu Pak Ketua, Pak Agus menunjukkan ke saya WA-nya yang disampaikan kepada Mensesneg, untuk diberi waktu lah dan diberi kesempatan bisa ketemu Presiden. Kalau saya tidak salah ingat, jawabnya (jawaban Pratikno) memang jadwalnya (Presiden) padat sekali. Itu sebenarnya upaya-upaya yang sudah kami lakukan dari internal KPK," tegas Budi.
Dia menjelaskan, draf revisi UU KPK justru didapatkan dari pihak luar yakni kalangan akademisi. Itupun, kata Budi, tidak bisa menjawab bahwa official draft yang final yang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Karenanya ujar Budi, KPK secara kelembagaan tidak pernah menerima draf resmi RUU KPK baik dari Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham maupun DPR. "Itu tidak pernah ada. Justru kami mendapatkannya dari luaran. Waktu diskusi di internal KPK, selalu ada pertanyaan sebenarnya kita mendiskusikan ini jangan-jangan draf aslinya yang dibahas bukan ini?. Jadi kami sendiri di internal KPK, saya sendiri juga membaca ada versi ini, versi itu, ada versi a, versi b. Jadi masing-masing versi itu ada," imbuhnya.
Budi membeberkan, seperti diketahui bersama bahwa UU baru hasil revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna pada 17 September 2019. Selepas itu memang UU baru KPK yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 belum berlaku karena menunggu pengesahan dari Presiden Joko Widodo.
Selepas pengesahan oleh DPR, Budi menceritakan, KPK melakukan upaya berikutnya dengan jalur informal. Budi sempat berdiskusi dengan Agus Rahardjo selaku ketua KPK saat itu di ruang kerja Agus. Agus bersama pimpinan lain ternyata berupaya melakukan bypass ke Istana. Di dalam ruang kerja, Agus menunjukkan ke Budi tentang isi pesan WhatsApp antara Agus dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
"Waktu itu Pak Ketua, Pak Agus menunjukkan ke saya WA-nya yang disampaikan kepada Mensesneg, untuk diberi waktu lah dan diberi kesempatan bisa ketemu Presiden. Kalau saya tidak salah ingat, jawabnya (jawaban Pratikno) memang jadwalnya (Presiden) padat sekali. Itu sebenarnya upaya-upaya yang sudah kami lakukan dari internal KPK," tegas Budi.
(cip)