Eks Penasihat KPK Ungkap Proses Penolakan Terhadap Revisi UU No 30/2002
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Santoso mengungkap proses penolakan KPK secara formal dan informal atas upaya revisi, pembahasan, dan pengesahan atas UU KPK yang disampaikan ke DPR dan pemerintah.
Keterangan ini disampaikan Budi Santoso saat bersaksi dalam persidangan lanjutan uji materiil dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU baru KPK, dengan perkara nomor: 79/PUU-XVII/2019, di Gedung MK, Senin (24/8/2020) Perkara ini sebelumnya diajukan oleh 14 pemohon yakni Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo dkk.
Bersama Budi Santoso, tim kuasa hukum pemohon juga menghadirkan satu saksi lain yakni Manik Marganama Hendra selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) 2019. Satu saksi lain dari internal KPK tidak hadir karena terkendala izin dari pimpinan KPK. Saat persidangan berlangsung, hadir juga satu pemohon prinsipal yakni Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode Muhamad Syarif didampingi Muhamad Isnur sebagai kuasa hukum pemohon. (Baca juga: Budi Santoso: Revisi UU KPK Berhubungan Erat dengan Hasil Pansus Angket DPR)
Pada saat bersamaan di hari yang sama, MK juga menyidangkan beberapa gugatan lain sehubungan dengan uji materiil dan uji formil UU baru KPK. Masing-masing perkara nomor: 59/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, dan 73/PUU-XVII/2019.
Budi Santoso menyatakan, KPK secara formal kelembagaan pernah mengirimkan surat resmi ke pihak-pihak terkait yakni Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Presiden, dan DPR yang di antara isinya mempertanyakan pembahasan atas revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 dan meminta penundaan revisi tersebut. Seingat Budi, ada dua surat yang dikirimkan KPK ke pihak-pihak terkait tersebut. Surat pertama tertanggal 16 September, sedangkan surat kedua tidak diingat lagi tanggalnya oleh Budi. (Baca juga: Bagir Manan Sebut Revisi UU KPK Meniadakan Prinsip Extra Ordinary)
"Secara garis besar substansi dua surat tersebut adalah KPK meminta untuk menunda dulu pengesahaan revisi RUU KPK. Mengingat tidak ada alasan yang mendesak sebenarnya untuk mempercepat proses revisi Undang-Undang KPK pada masa sidang DPR yang waktu itu notabene sudah di ujung periode. Kalau enggak salah kurang satu atau dua minggu saja berakhirnya kan. Kalau tidak salah kan 30 September masa akhir periode DPR yang 2004-2019," kata Budi di hadapan hakim panel MK.
Subtansi kedua, tutur dia, KPK juga menyampaikan dalam proses revisi kalau toh memang harus dipaksakan dibahas, maka pemerintah dan DPR perlu mendengar dan mempertimbangkan masukan serta tanggapan dari masyarakat luas. Apalagi saat proses pembahasan revisi bergulir, sudah ramai dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan, ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi, dan media massa tanpa henti memberitakan.
"Berikutnya, KPK kan stakeholders utamanya, usernya dari undang-undang itu nanti kalau nanti direvisi dan disahkan. Jadi, sebagai user seharusnya diminta dong feedback, input, masukan, dan mungkin aspirasinya. Tapi itu tidak pernah terjawab, tidak pernah direspons. Dan, KPK ketika mengirim surat kembali pun juga tidak ada respons yang positif," paparnya. (Baca juga: Revisi UU KPK Dinilai Langgar Asas Pembentukan Undang-Undang)
Mantan komisioner Ombudsman RI ini melanjutkan, karena dua surat KPK tidak digubris kemudian KPK kembali mengirimkan surat ke pemerintah. Di antara isinya, KPK menyampaikan sebenarnya yang lebih perlu direvisi adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bahkan untuk revisi UU Pemberantasan Tipikor, KPK telah menyusun dan menyiapkan hasil kajian dan draf revisi UU tersebut. "Nah, kemudian ada lagi kami mengusulkan ada penyusunan undang-undang yang lebih diperlukan oleh KPK dan untuk menjalankan tugas kewenangan KPK sesuai dengan ratifikasi UNCAC," katanya.
Salah satu misalnya, kata Budi, untuk segera membahas dan mengesahkan UU Perampasan Aset sebagai implementasi dan tindak lanjut UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang ratifikasi UNCAC. Kemudian ada lagi usulan KPK yakni harmonisasi rancangan KUHAP dan KUHP. Budi melanjutkan, upaya formal yang dilakukan KPK selanjutnya yakni pimpinan KPK saat itu di antaranya Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif serta jajaran Biro Hukum KPK bertemu dengan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly. Pertemuan berlangsung di Gedung Kemenkumham. Saat pertemuan, KPK secara kelembagaan menanyakan dan meminta dua hal.
"Yang pertama, itu kita minta daftar isian masalahnya, DIM-nya sebenarnya seperti apa, sih? Sehingga urgensi dari revisi apakah bisa dibenarkan atau sebaliknya? Yang kedua, yang kami minta pada waktu itu adalah draf terakhir dari RUU revisi itu. Sampai pimpinan selesai periodisasinya juga enggak pernah dikirim. Jadi memang sangat aneh," paparnya. (Baca juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
Dia menjelaskan, draf revisi UU KPK justru didapatkan dari pihak luar yakni kalangan akademisi. Itupun, kata Budi, tidak bisa menjawab bahwa official draft yang final yang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Karenanya ujar Budi, KPK secara kelembagaan tidak pernah menerima draf resmi RUU KPK baik dari Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham maupun DPR. "Itu tidak pernah ada. Justru kami mendapatkannya dari luaran. Waktu diskusi di internal KPK, selalu ada pertanyaan sebenarnya kita mendiskusikan ini jangan-jangan draf aslinya yang dibahas bukan ini?. Jadi kami sendiri di internal KPK, saya sendiri juga membaca ada versi ini, versi itu, ada versi a, versi b. Jadi masing-masing versi itu ada," imbuhnya.
Budi membeberkan, seperti diketahui bersama bahwa UU baru hasil revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna pada 17 September 2019. Selepas itu memang UU baru KPK yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 belum berlaku karena menunggu pengesahan dari Presiden Joko Widodo.
Selepas pengesahan oleh DPR, Budi menceritakan, KPK melakukan upaya berikutnya dengan jalur informal. Budi sempat berdiskusi dengan Agus Rahardjo selaku ketua KPK saat itu di ruang kerja Agus. Agus bersama pimpinan lain ternyata berupaya melakukan bypass ke Istana. Di dalam ruang kerja, Agus menunjukkan ke Budi tentang isi pesan WhatsApp antara Agus dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
"Waktu itu Pak Ketua, Pak Agus menunjukkan ke saya WA-nya yang disampaikan kepada Mensesneg, untuk diberi waktu lah dan diberi kesempatan bisa ketemu Presiden. Kalau saya tidak salah ingat, jawabnya (jawaban Pratikno) memang jadwalnya (Presiden) padat sekali. Itu sebenarnya upaya-upaya yang sudah kami lakukan dari internal KPK," tegas Budi.
Keterangan ini disampaikan Budi Santoso saat bersaksi dalam persidangan lanjutan uji materiil dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU baru KPK, dengan perkara nomor: 79/PUU-XVII/2019, di Gedung MK, Senin (24/8/2020) Perkara ini sebelumnya diajukan oleh 14 pemohon yakni Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo dkk.
Bersama Budi Santoso, tim kuasa hukum pemohon juga menghadirkan satu saksi lain yakni Manik Marganama Hendra selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) 2019. Satu saksi lain dari internal KPK tidak hadir karena terkendala izin dari pimpinan KPK. Saat persidangan berlangsung, hadir juga satu pemohon prinsipal yakni Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode Muhamad Syarif didampingi Muhamad Isnur sebagai kuasa hukum pemohon. (Baca juga: Budi Santoso: Revisi UU KPK Berhubungan Erat dengan Hasil Pansus Angket DPR)
Pada saat bersamaan di hari yang sama, MK juga menyidangkan beberapa gugatan lain sehubungan dengan uji materiil dan uji formil UU baru KPK. Masing-masing perkara nomor: 59/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, dan 73/PUU-XVII/2019.
Budi Santoso menyatakan, KPK secara formal kelembagaan pernah mengirimkan surat resmi ke pihak-pihak terkait yakni Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Presiden, dan DPR yang di antara isinya mempertanyakan pembahasan atas revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 dan meminta penundaan revisi tersebut. Seingat Budi, ada dua surat yang dikirimkan KPK ke pihak-pihak terkait tersebut. Surat pertama tertanggal 16 September, sedangkan surat kedua tidak diingat lagi tanggalnya oleh Budi. (Baca juga: Bagir Manan Sebut Revisi UU KPK Meniadakan Prinsip Extra Ordinary)
"Secara garis besar substansi dua surat tersebut adalah KPK meminta untuk menunda dulu pengesahaan revisi RUU KPK. Mengingat tidak ada alasan yang mendesak sebenarnya untuk mempercepat proses revisi Undang-Undang KPK pada masa sidang DPR yang waktu itu notabene sudah di ujung periode. Kalau enggak salah kurang satu atau dua minggu saja berakhirnya kan. Kalau tidak salah kan 30 September masa akhir periode DPR yang 2004-2019," kata Budi di hadapan hakim panel MK.
Subtansi kedua, tutur dia, KPK juga menyampaikan dalam proses revisi kalau toh memang harus dipaksakan dibahas, maka pemerintah dan DPR perlu mendengar dan mempertimbangkan masukan serta tanggapan dari masyarakat luas. Apalagi saat proses pembahasan revisi bergulir, sudah ramai dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan, ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi, dan media massa tanpa henti memberitakan.
"Berikutnya, KPK kan stakeholders utamanya, usernya dari undang-undang itu nanti kalau nanti direvisi dan disahkan. Jadi, sebagai user seharusnya diminta dong feedback, input, masukan, dan mungkin aspirasinya. Tapi itu tidak pernah terjawab, tidak pernah direspons. Dan, KPK ketika mengirim surat kembali pun juga tidak ada respons yang positif," paparnya. (Baca juga: Revisi UU KPK Dinilai Langgar Asas Pembentukan Undang-Undang)
Mantan komisioner Ombudsman RI ini melanjutkan, karena dua surat KPK tidak digubris kemudian KPK kembali mengirimkan surat ke pemerintah. Di antara isinya, KPK menyampaikan sebenarnya yang lebih perlu direvisi adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bahkan untuk revisi UU Pemberantasan Tipikor, KPK telah menyusun dan menyiapkan hasil kajian dan draf revisi UU tersebut. "Nah, kemudian ada lagi kami mengusulkan ada penyusunan undang-undang yang lebih diperlukan oleh KPK dan untuk menjalankan tugas kewenangan KPK sesuai dengan ratifikasi UNCAC," katanya.
Salah satu misalnya, kata Budi, untuk segera membahas dan mengesahkan UU Perampasan Aset sebagai implementasi dan tindak lanjut UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang ratifikasi UNCAC. Kemudian ada lagi usulan KPK yakni harmonisasi rancangan KUHAP dan KUHP. Budi melanjutkan, upaya formal yang dilakukan KPK selanjutnya yakni pimpinan KPK saat itu di antaranya Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif serta jajaran Biro Hukum KPK bertemu dengan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly. Pertemuan berlangsung di Gedung Kemenkumham. Saat pertemuan, KPK secara kelembagaan menanyakan dan meminta dua hal.
"Yang pertama, itu kita minta daftar isian masalahnya, DIM-nya sebenarnya seperti apa, sih? Sehingga urgensi dari revisi apakah bisa dibenarkan atau sebaliknya? Yang kedua, yang kami minta pada waktu itu adalah draf terakhir dari RUU revisi itu. Sampai pimpinan selesai periodisasinya juga enggak pernah dikirim. Jadi memang sangat aneh," paparnya. (Baca juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
Dia menjelaskan, draf revisi UU KPK justru didapatkan dari pihak luar yakni kalangan akademisi. Itupun, kata Budi, tidak bisa menjawab bahwa official draft yang final yang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Karenanya ujar Budi, KPK secara kelembagaan tidak pernah menerima draf resmi RUU KPK baik dari Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham maupun DPR. "Itu tidak pernah ada. Justru kami mendapatkannya dari luaran. Waktu diskusi di internal KPK, selalu ada pertanyaan sebenarnya kita mendiskusikan ini jangan-jangan draf aslinya yang dibahas bukan ini?. Jadi kami sendiri di internal KPK, saya sendiri juga membaca ada versi ini, versi itu, ada versi a, versi b. Jadi masing-masing versi itu ada," imbuhnya.
Budi membeberkan, seperti diketahui bersama bahwa UU baru hasil revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna pada 17 September 2019. Selepas itu memang UU baru KPK yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 belum berlaku karena menunggu pengesahan dari Presiden Joko Widodo.
Selepas pengesahan oleh DPR, Budi menceritakan, KPK melakukan upaya berikutnya dengan jalur informal. Budi sempat berdiskusi dengan Agus Rahardjo selaku ketua KPK saat itu di ruang kerja Agus. Agus bersama pimpinan lain ternyata berupaya melakukan bypass ke Istana. Di dalam ruang kerja, Agus menunjukkan ke Budi tentang isi pesan WhatsApp antara Agus dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
"Waktu itu Pak Ketua, Pak Agus menunjukkan ke saya WA-nya yang disampaikan kepada Mensesneg, untuk diberi waktu lah dan diberi kesempatan bisa ketemu Presiden. Kalau saya tidak salah ingat, jawabnya (jawaban Pratikno) memang jadwalnya (Presiden) padat sekali. Itu sebenarnya upaya-upaya yang sudah kami lakukan dari internal KPK," tegas Budi.
(cip)