Membangun Peradaban melalui Penegakan Hukum

Kamis, 08 Agustus 2019 - 06:40 WIB
Membangun Peradaban melalui Penegakan Hukum
Membangun Peradaban melalui Penegakan Hukum
A A A
Dalam dunia modern, hukum itu bukan hanya penting untuk mengatur kehidupan, terutama berhubungan dengan hak dan kewajiban. Lebih penting lagi, hukum juga digunakan untuk menyelesaikan segala bentuk perselisihan. Penyelesaian perselisihan, dalam praktik terjadi dan dilakukan dengan menggunakan proses hukum formal, melalui pengadilan atau melalui arbitrase. Acap juga dilakukan dengan melalui perundingan atau negosiasi.

Aspek penting yang sangat diperlukan dan diperhatikan adalah pembuktian. Gunanya agar secara objektif masalah yang dipersoalkan dapat diuji dengan norma hukum dalam bentuk undang-undang-undang atau dalam bentuk putusan pengadilan. Ada penyelesaian masalah hukum yang dilakukan dengan "instrumen penyelesaian berdasarkan iktikad baik", dengan mengandalkan perundingan atau negosiasi.

Cara penyelesaian dengan "instrumen penyelesaian berdasarkan iktikad baik" seperti ini mengandalkan pemahaman berbasis penalaran dan logika yang kuat, terutama dalam membedah persoalan berdasarkan aturan yang benar untuk menegakkan keadilan. Inilah "iman" yang dianut oleh penegak hukum dan para pengacara, bukan dengan cara mau menang-menangan atau untuk menunjukkan kuasa, sehingga perselisihan tidak mengandalkan lembaga peradilan resmi dan dijauhkan dari penggunaan instrumen hukum pidana.

Pilihan Penyelesaian

Salah satu pengejawantahan dari "instrumen penyelesaian berdasarkan iktikad baik" adalah penyelesaian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang terjadi akibat krisis ekonomi tahun 1997-1998. Penyelesaiannya dijauhkan dari proses litigasi, baik melalui pengadilan atau arbitrase. Proses peradilan dipilih sebagai last resort , kalau masih ada perselisihan, seperti kurang bayar.

Penyelesaian ini bisa dicapai karena adanya kesadaran bahwa untuk memulihkan perekonomian yang morat-marit, negara dan warga negara harus bekerja sama, bahu-membahu menanggung beban. Di lain pihak, negara memberikan jaminan bahwa warga negara tidak akan dipersoalkan secara hukum atau dituntut, bila bersedia mengambil alih kewajiban bank yang mengggunakan BLBI. Mereka diminta menyerahkan harta kekayaan secara pribadi untuk pengembalian kewajiban bank.

Penyelesaian masalah BLBI berdasarkan iktikad baik ini, disediakan tiga (3) instrumen oleh pemerintah. Pertama , Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA) bagi yang mempunyai aset setara dengan kewajiban bank. Kedua , bagi yang asetnya tidak setara dengan kewajiban bank maka intrumennya adalah Master of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA). Ketiga , Perjanjian Pengakuan Utang bagi pemegang saham bank yang tidak mampu menyerahkan asset.

Penyelesaian masalah hukum yang dipilih ini sebenarnya adalah bentuk dari upaya membangun peradaban baru, khususnya dalam penyelesaian sengketa, berkenaan "kerugian" yang timbul akibatnya situasi global yang tidak bisa dihindari dan berdampak besar bagi publik. Penyelesaian ini diperlukan untuk mencari keseimbangan dalam menyelesaikan masalah hukum secara konstruktif, dengan menyampingkan hierarki sosial dan menjauhkan diri dari proses formal yang berbelit dan melelahkan.

Dalam proses ini, juga ada transformasi sosial. Negara memilih dan meletakkan posisi seimbang dengan warga negara. Negara sebagai otoritas politik yang dominan mempunyai kekuasaan yang besar, menyetujui penyelesaian masalah hukum dengan mengikuti, dan menunjukkan diri sesuai norma yang disepakati menggunkan prosedur baku yang jelas.

Penyelesaian perselisihan dengan cara ini tidak terjadi karena kebodohan atau hanky-panky , tetapi karena kecerdasan intelektual dan keinginan mengembangkan ekperimen memberdayakan masyakat untuk lebih maju.

Tidak Boleh Menyimpang

Setelah era Reformasi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya meningkatkan penegakan hukum terkait dengan pemberantasan korupsi. KPK bersifat independen, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Tetapi sebagai lembaga negara, KPK tidak diberi kewenangan oleh UU untuk menyimpang dan membatalkan satu perjanjian yang telah ditandatangani pemerintah.

Kegiatan KPK, menurut sifat dan wewenangnya, adalah melakukan kegiatan pemerintah dan merupakan bagian dari pemerintah. Maka seluruh keputusan atau kebijakan, termasuk perjanjian-perjanjian dan kesepakatan yang dibuat pemerintah, harus dipatuhi, ditaati, dan dijalankan. Tidak ada kesepakatan atau perjanjian yang dibuat pemerintah dapat dikesampangikan oleh KPK.

Sifat independen sering dimaknai sebagai lex specialis. Namun, UU mengakui hal-hal yang bersifat generalis dan tidak dikesampingkan, semisal KUHAP dan UU Kepegawaian. Karena itu, KPK tetap merupakan satu kesatuan dengan penegak hukum yang lain dan merupakan bagian dari pemerintah atau lembaga eksekutif.

Konsep independennya dalam melakukan penyidikan dan penuntutan, karena ini berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dilakukan secara merdeka. Artinya dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak boleh ada intervesi dari presiden atau pemerintah.

Anomali Kasus SAT

Menjelang berakhirnya masa tugas BPPN tahun 2004, terhadap pemegang saham yang dianggap telah melaksanakan kewajibannya diberikan kepastian hukum. Begitulah pertintah presiden sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Khusus terhadap Sjamsul Nursalim yang dianggap telah menyelesaikan kewajibannya, Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung menerbitkan Surat BPPN No SKL-22/PKPS-BPPN/0404 tanggal 26 April 2004 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim ("Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham "). Akan tetapi, inilah yang menjadi awal masalah berat yang harus dihadapi oleh Syafruddin Arsyad Temenggung dan Sjamsul Nursalim.

Utang petambak yang selama ini dianggap melekat dan menjadi satu kesatuan penyelesaiannya dengan MSAA BDNI, ketika diberikan keterangan lunas oleh BPPN maka pimpinan BPPN dianggap telah merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, yaitu Sjamsul Nursalim.

Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa melakukan perbuatan pidana karena diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petambak yang dijamin oleh PT DCD dan PT WM. Dalam melakukan perbuatan pidana tersebut, Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa secara bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro Jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim.

Ada satu keadaan yang tidak lazim dari perkembangan perkara Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam Laporan BPK (2017) sesuai permintaan KPK, ada empat nama yang diduga terkait penyimpangan dalam pemberian keterangan lunas. Mereka itu SAT, SN, DKJ, dan LS. Nama yang terakhir adalah menteri negara BUMN ketika itu, yang diduga menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian PS dan BPPN berdasarkan Surat Nomor.S-150/MBU/2004 tanggal 24 Maret 2004. Namun dalam surat dakwaan SAT, nama LS tidak muncul sebagai kawan peserta.

Hilangnya nama LS dan masuknya nama ISN, orang yang diduga sebagai kawan peserta dalam perkara pidana terkait SKL, adalah entuk anomal i yang dilakukan KPK.

Ditetapkannya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengukum Syafruddin Arsyad Temenggung—hukuman penjara 13 tahun dan denda Rp 700 juta—menimbulkan pertanyaan mendasar. Mengapa KPK sebagai lembaga pemerintah melepaskan diri dari perjanjian yang sah dan mengikat? Mengapa pemerintah harus mengingkari janjinya sendiri, seperti halnya dituangkan dalam MSAA tahun 1999?

Pertanyaan tersebut penting untuk diajukan agar tidak muncul praduga bahwa lembaga-lembaga pemerintah bisa semaunya, atas dasar kewenangan yang dimilikinya, untuk mengabaikan keputusan pemerintah sebelumnya.

Budaya Penegakan Hukum

Membudayakan dan menghormati penegakan hukum itu, bukan hanya menuntut orang yang dianggap melakukan kejahatan atau perbuatan wanprestasi. Tidak kalah penting adalah menghormati keputusan, perjanjian, dan kebijakan pemerintah sebelumnya. Apalagi, kalau peralihan kekuasaan pemerintah terjadi secara demokratis dan terjadi secara normal. Kalaupun terjadi peralihan pemerintah melalui kudeta, pemerintahan baru tetap harus menghormati keputuasan, perjanjian, dan kebijakan yang telah diambil pemerintah sebelumnya.

Jika pemerintah atau bagian tertentu dari pemerintah memilih tidak melaksanakan kebijakan sebelumnya, tanpa ada keterangan dari pemerintah, maka pada hakekatnya kegiatan tersebut adalah mendelegitimasi pemerintah. Delegitimasi itu terjadi ketika pemerintah atau bagian dari pemerintah yang baru menyatakan atau menunjukkan sikap bahwa keputusan atau kebijakan pemerintahan yang lama hanya menjadi tanggung jawab pemerintahan yang lama. Bukan tanggung jawab pemerintahan yang baru.

Sudah saatnya bangsa ini membangun peradaban dengan menghormati hukum dan menegakkan hukum secara berkeadilan. Hanya bangsa yang beradab yang akan menegakkan hukum secara adil. Ketika kita tidak ingin menegakkan hukum secara adil, pada hakikatnya kita sedang memproklamasikan bahwa kita bukan bangsa yang beradab.

(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4519 seconds (0.1#10.140)