Perdagangan Karbon dan Kuasi Imperialisme, Fakta atau Ilusi?

Jum'at, 19 Juli 2024 - 20:11 WIB
loading...
A A A
Data pada akhir tahun 2022 menunjukkan kontribusi kepada pemanasan global dari energi fosil sebesar 1.0590°C. Kontribusi terbesar berasal dari Amerika Serikat (0.2210°C), diikuti oleh China (0.1690°C), Rusia (0.0730°C), Jerman (0.0460°C), India (0.0410°C), dan Inggris (0.0360°C).

Kredit karbon
Sejarah perdagangan karbon dicanangkan dalam Kyoto Protocol 1997 yang mulai efektif tahun 2005. Salah satu fleksibilitas yang terkenal adalah Mekanisme Pembangunan Bersih/ Clean Development Mechanism (CDM) di mana negara negara maju dapat menikmati kredit karbon dengan membantu proyek proyek pengurangan emisi di negara berkembang.

Selanjutnya dalam Paris Agreement 2015 yang meliputi 195 negara bertekad untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan tujuan utama menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius di atas level pra-industri, serta juga mengusahakan kenaikannya di batas 1.5 derajat celcius. Perjanjian Paris menginisiasi kerangka kerja sama global yang membahas perubahan iklim, memperkenalkan berbagai mekanisme dan instrumen untuk memfasilitasi implementasi serta pencapaian target pengurangan emisi.

Secara konseptual dan praktis ada tiga persoalan besar terkait dengan mekanisme perdagangan karbon ini. Pertama adalah sifatnya zero sum game (itus-itus). Dengan mekanisme karbon Kredit suatu Negara atau Korporasi dapat memproduksi barang yang mengemisi karbon sebanyak mungkin, sepanjang dapat membeli defisit karbonnya dari Negara atau Korporasi di Negara lain. Misalkan - sebagai contoh saja - Negara Australia mengklaim berhasil melakukan net zero emission (emisi bersih nol), dengan manajemen karbon yang ketat, membantu membiayai proyek energi bersih di negara lain, tetapi pada saat yang sama mengekspor batu bara secara besar-besaran ke negara lain, katakanlah ke India atau China. Negara pengguna batubara akan terekspose sebagai emitter, sementara Australia akan mengklaim sebagai Negara yang tangannya bersih dari polusi, sehingga tidak ada hambatan memasuki pasar ekspor ke Eropa yang memberlakukan EU Ecolabel.

Apabila barang-barang India atau China yang dianggap polutif tersebut akan masuk ke negara yang memberlakukan standar sertifikasi lingkungan yang ketat, maka negara itu harus membayar pajak karbon, membeli kredit karbon di negara yang bersih lingkungan, atau melakukan reforestasi yang ketat, yang tergantung kepada verifikasi internasional yang ketat. Pertanyaannya, berapa lama dan berapa luas penghutanan yang diperlukan untuk dapat menghasilkan kredit karbon, yang seimbang dengan produk yang dihasilkan negara negara maju. Dengan kata lain, Negara maju yang lingkungannya bersih akan semakin maju, sementara negara berkembang akan berkutat dan bertarung ketat hanya untuk sekadar dapat memasuki pasar negara maju.

Kedua, mekanisme CDM yang imperialistik kapitalistik. Misalkan Australia membantu meminjamkan 100% dana untuk proyek energi bersih di Indonesia. Indonesia berpartisipasi dalam menyediakan infrastruktur dasar serta insentif kebijakan seperti membebaskan semua pajak atas investasi proyek itu yang kebetulan berasal dari Australia pula. Katakanlah partisipasi Indonesia tersebut dihargai sebagai local content (konten lokal) 20%. Misalkan pula Proyek itu berhasil mengurangi 1 juta kilogram emisi CO2 per tahun.

Secara sederhana, pembagian kredit karbonnya adalah sebagai berikut. Pertama, verifikasi pengurangan emisi akan dilakukan lembaga internasional.

Kedua, dewan eksekutif CDM akan menerbitkan Certified Emission Reduction (CERs). Satu CER setara dengan pengurangan 1 ton CO2, atau 1000 CER untuk 1 juta kilogram.

Pembagian kredit karbon Australia dengan Indonesia dalam contoh di atas adalah 80%:20%. Maka kredit karbon untuk Australia adalah 80% dari 1000 CER = 800 CERs. Kredit karbon untuk Indonesia adalah 20% dari 1000 CER = 200 CERs. Anda lihat, siapa yang bersusah payah membanting tulang mencari pinjaman, menyediakan infrastruktur dan memberi insentif pajak, dan siapa yang lebih banyak diuntungkan dari mekanisme CDM.

Ketiga, mentalitas ahistoris. Narasi di bagian tengah artikel ini menunjukkan bahwa negara-negara majulah yang terutama memulai naiknya pemanasan global. Bahkan hingga saat ini Negara teratas kontributor kepada pemanasan tersebut adalah negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia dan Jerman. Negara berkembang yang menyadari hal tersebut seperti China dan India tidak mau sepenuhnya tunduk kepada mekanisme penghukuman karbon. Mereka tetap gencar memproduksi barang dan jasa dengan menggunakan sumber energi primer yang paling ekonomis, dengan tentu saja tetap komit untuk energi bersih.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1283 seconds (0.1#10.140)