Demokrasi Butuh Oposisi

Sabtu, 29 Juni 2019 - 08:08 WIB
Demokrasi Butuh Oposisi
Demokrasi Butuh Oposisi
A A A
Rio Christiawan

Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

MAHKAMAH Kons­ti­tusi (MK) telah men­jatuhkan pu­tus­an pada gu­gat­an perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Pre­siden (Pilpres) 2019. Dalam pu­tusan tersebut MK menguat­kan keputusan Komisi Pe­mi­lihan Umum (KPU) terkait re­ka­pitulasi hasil pemilihan umum. Berdasarkan Putusan MK ter­sebut artinya KPU secara res­mi dapat menetapkan petahana Joko Widodo untuk menjadi presiden untuk periode kedua (2019-2024).Secara konstitusional ber­sa­maan dengan Putusan MK tersebut maka sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Hal ini artinya kon­testasi secara konstitusional sudah berakhir, apresiasi patut diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) yang tidak me­ne­rima gugatan permohonan seng­keta pelanggaran ad­mi­nistratif pemilu presiden dan wa­kil presiden 2019 yang di­ajukan oleh BPN Prabowo-Sandi. Ketegasan MA tersebut perlu diapresiasi, sebab jika per­mohonan tersebut diperiksa oleh MA maka selain akan ter­jadi ke kekacauan tata hukum juga tidak akan terwujud ke­pas­tian hukum itu sendiri.

Beberapa partai pengusung Prabowo-Sandi, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) me­nya­takan bahwa dengan pu­tu­s­an MK tersebut maka koalisi juga berakhir. Sesungguhnya pernyataan tersebut hanya meng­gambarkan dua hal yakni pertama, koalisi dalam konteks pe­menangan kontestasi po­li­tik, dan kedua, dapat dimaknai sebagai upaya untuk berganti haluan politik (baca: berpindah koalisi).

Tidak dapat dipungkiri pas­cakemenangan petahana di­ku­kuhkan MK daya tarik koalisi pe­merintah akan meningkat. Se­cara pragmatis jika ber­ga­bung dengan koalisi peme­rin­tah dimaknai sebagai “ken­da­raan” untuk mendapat jatah kekuasaan maka pasca putusan MK koalisi pemerintah akan “gemuk” karena mengako­mo­da­si kepentingan baru pas­ca­pu­tusan MK. JR Tillersen (2016), menyatakan bahwa dalam de­mo­krasi yang sehat tetap harus terdiri dari dua koalisi yang kuat yakni koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi.

Dalam konteks demokrasi, peran koalisi oposisi sangat di­perlukan mengingat demokrasi memerlukan fungsi check and balances yang pada esensinya justru melindungi kepentingan rakyat itu sendiri. Jika koalisi pemerintah dan koalisi oposisi sama kuatnya maka yang paling diuntungkan adalah rakyat itu sendiri. Koalisi pemerintahan yang terlalu “gemuk” justru akan mengurangi kualitas dari demokrasi di samping dalam perspektif politik praktis akan mengurangi kelincahan pe­me­rin­tah karena perlu meng­ako­mo­dasi banyak kepentingan.

Memaknai Kekuasaan

Memang pada hakikatnya politik merupakan ke­pen­ti­ngan, tapi politik dalam arti luas sebagaimana diuraikan oleh Nawiasky (1964), merupakan upaya menggunakan kekuatan un­tuk mewujudkan kemak­mur­an masyarakat. Kini kon­disinya jika pascakontestasi banyak parpol berduyun-du­yun masuk dalam koalisi pe­me­rintah maka se­sung­guhnya hal tersebut sema­kin meng­gam­bar­kan secara em­piris bahwa po­­litik masih di­mak­nai sebagai sa­­rana untuk se­ka­dar mem­per­oleh kekuasaan.

Jika koalisi pe­me­rintah ter­lalu ge­muk maka sesung­guh­nya rakyat akan di­ru­gi­kan karena turunnya kua­litas demokrasi. Me­ngapa demikian? Jawa­ban­nya ada­lah karena pemerintah tidak dapat optimal mela­yani kepentingan rakyat karena ke­lindan kepen­ti­ngan politik praktis dari koalisi yang terlalu gemuk.

Para elite politik ha­rus mem­bu­dayakan eti­ka ber­po­litik yang se­hat se­ba­gai pembe­la­jar­an bagi masya­ra­kat dalam ber­de­mokrasi. Pe­ma­­ha­man etika po­litik da­lam hal ini ada­lah te­guh pada pi­lihan politik di­ban­ding me­ma­n­jakan nafsu me­ngejar ke­kua­sa­an. Seba­gai­ma­na contohnya partai oposisi yang semula kon­frontatif pas­caberakhirnya kon­testasi ke­mudian merapat pada koalisi pe­merintah yang dinya­takan memenangi kontestasi.

Artinya selama ini koalisi hanya dipergunakan untuk me­menangi kontestasi saja. Oleh sebab itu makna koalisi harus di-reorientasi menjadi dua kekuatan yang mampu me­wu­judkan check and balances dalam demokrasi. Paradigma ab­so­lu­tely power tend to corrupt meng­gambarkan bahwa dalam ne­ga­ra demokrasi perlu oposisi yang kuat, seperti misalnya di AS antara pemerintah dan oposisi sama kuatnya sehingga ter­wu­jud check and balances yang melindungi kepentingan rakyat itu sendiri.

Memang dalam konteks po­litik praktis, posisi oposisi saat ini tidak strategis seperti kon­disi oposisi pada 2014. Kala itu oposisi merupakan mayoritas di DPR RI, berbeda dengan saat ini, partai koalisi pe­merintah merupakan ma­yo­ritas di par­lemen dengan me­ngu­a­sai lebih dari 60% kursi. Ar­tinya, jika demokrasi hanya dimaknai sebatas sharing power maka peran oposisi saat ini ti­daklah menarik, sebaliknya jika de­mokrasi dimaknai untuk me­wujudkan cita-cita rakyat maka oposisi mutlak diperlukan. Ideal­nya antara pemerintah dan opo­sisi memang harus memiliki ke­kuatan yang sama sehingga da­pat terwujud check and balances secara sempurna.

Rekonsiliasi

Banyak pihak me­nyerukan agar se­­lepas Putusan MK perlu dila­ku­kan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Memang benar, bahwa saat ini harus dilakukan rekonsiliasi un­tuk mengem­balikan ma­sya­ra­kat dari ke­terbelahan akibat kon­flik yang timbul dari kon­tes­ta­si Pilpres 2019. Lebih lanjut me­ngacu pada pemahaman re­kon­siliasi sebagaimana diurai­kan Hun­tington (1995), yakni upa­ya memulihkan hubungan pada ke­adaan semula.

Benar bahwa rekonsiliasi dua tokoh tersebut dimak­sud­kan untuk mengakhiri konflik yang membelah masyarakat, tetapi lebih lanjut rekonsiliasi harus sampai pada titik pe­mu­lihan hubungan awal yakni pe­merintah dan oposisi, meng­ingat selama ini situasi hu­bu­ngan tersebut telah rancu ka­rena kontestasi politik. Dalam rekonsiliasi tersebut harus ditegaskan dukungan oposisi terhadap pemerintah, dan se­baliknya dukungan pemerintah terhadap oposisi.

Dukungan oposisi dapat di­mak­nai sebagai bentuk par­ti­si­pasi oposisi pada jalannya pe­me­rintahan melalui fungsi pengawasan sehingga dapat ter­capai fungsi check and ba­lan­ces yang menjadi esensi dari de­mokrasi itu sendiri. Sementara dukungan pemerintah ter­ha­dap oposisi ditegaskan dengan meletakkan oposisi sejajar de­ngan pemerintah sebagai mitra untuk mewujudkan kemak­mur­an rakyat.

Rekonsiliasi nasional harus me­nekankan bahwa bangsa In­donesia selain me­merlukan pe­me­rintah yang kuat dan sehat juga me­mer­lukan oposisi yang baik. Dengan demikian reko­n­si­liasi akan bermuara pada ke­pe­n­tingan bangsa untuk meng­ak­hiri kontestasi dan kembali pada hubungan awal yang se­hat, yakni pemerintah dan opo­sisi.

Inti yang diharapkan dari pertemuan rekonsiliasi ter­se­but adalah Prabowo dan Jokowi saling menyatakan bahwa kon­testasi telah berakhir dan saling menegaskan dukungan serta menyatakan kepada publik secara teduh tentang peran ma­sing-masing. Dalam hal ini juga perlu ditegaskan pada ma­sya­rakat terkait relasi pemerintah dan oposisi bah­wa pada ha­ki­katnya me­ru­pakan relasi yang bersifat saling membutuhkan dan mu­tu­a­lisme.

Hubungan pemerintah dan oposisi pada negara demokrasi pada hakikatnya bukan saling me­lemahkan. Sebaliknya kua­li­tas pemerintahan yang baik akan lahir dengan adanya oposisi yang kuat, sebaliknya oposisi yang kuat akan teruji oleh pemerintahan yang baik demikian hakikatnya check and balances dalam demokrasi yang sehat.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6149 seconds (0.1#10.140)