Pengalaman Ketakutan Akan Ketertinggalan Momen bagi Gen-Z

Senin, 01 Juli 2024 - 12:28 WIB
loading...
A A A
Setidaknya ada empat faktor yang merangsang seseorang untuk mengalami perasaan FoMO. Keempat faktor tersebut adalah menggunakan gadget secara berlebihan, selalu merasa rendah dibandingkan orang lain, kurang bersyukur dengan apa yang dimiliki di kehidupan, dan mudah terpengaruh oleh orang lain (BFI Finance, 2022).

Dalam artikel "Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out" yang tayang di Jurnal Computers in Human Behavior pada 2013 menunjukkan bahwa orang yang merasakan FoMO diketahui memiliki tingkat kepuasan hidup yang rendah karena terus membandingkan diri secara negatif dengan orang lain (Hadi, 2020).

Adapun menurut Przybylski et al., 2013 menjelaskan bahwa Fear of Missing Out memiliki dua dimensi. Kedua dimensi tersebut yaitu Relatedness. Relatedness merupakan perasaan yang ada pada diri seseorang untuk tetap terhubung dengan orang ataupun kelompok lain.

Ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan perasaan cemas dan gelisah. Kemudian untuk mengatasi perasaan tersebut, maka seseorang akan menggunakan media sosial sebagai salah satu cara agar merasa tetap terhubung dengan orang lain. Dimensi kedua yaitu, self. Self berkaitan dengan aspek competence dan autonomy.

Competence yakni keyakinan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan secara efisien. Kemudian autonomy sendiri berarti seseorang berperan sebagai sumber dari tindakannya. Apabila kebutuhan psikologis dari self tidak dapat terpenuhi, maka seseorang akan melampiaskan hal tersebut dengan menggunakan media sosial (Przybylski et al., 2013).

Hal itu dapat menyebabkan seseorang akan secara terus menerus memantau kehidupan orang lain di media sosial. Kemudian dari perspektif Self Determination Theory (SDT) yang dipopulerkan oleh Deci dan Ryan pada tahun 2000, terdapat satu aspek atau dimensi lain yang menjadi faktor pemicu munculnya FoMO (Diefendorff & Seaton, 2015). Faktor tersebut adalah kebutuhan untuk berkompetensi (need for competence).

Kebutuhan untuk berkompetensi berkaitan dengan dengan kebutuhan untuk berinteraksi secara efektif dengan sosial, dapat memperlihatkan kapasitas diri, serta mencari sebuah tantangan yang optimal. Hal tersebut berhubungan dengan arti dari kompetensi yang merupakan hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan adaptasi. Uraian di atas merupakan faktor internal pemicu terjadinya FoMO.

Selain faktor internal, tentunya terdapat juga faktor eksternal yang menjadi pemicu seseorang mengalami FoMO. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Media sosial. Media sosial memiliki peran penting dengan perasaan ketakutan akan ketertinggalan momen. Kehadiran media sosial semakin memperkuat perasaan takut ketinggalan dikarenakan adanya kebutuhan dan keinginan untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang lain (Abel et al., 2016).

2. Kelompok teman sebaya. Lingkungan sekitar juga berpengaruh terhadap perasaan FoMO. Adanya pengaruh serta ajakan dari teman sebaya, serta terpaan teknologi yang mengharuskan seseorang untuk bergabung menjadi pengguna internet dan media sosial yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami kecanduan internet dan media sosial.

Birla menjelaskan bahwa dampak dari perasaan FoMO dapat memicu ketidakpuasan yang ekstrem dan berakibat buruk pada kesehatan fisik serta mental (Rosida et al., 2022). Hal lainnya yang disebabkan oleh FoMO adalah perubahan nuansa hati yang signifikan, kesepian, perasaan rendah diri, merasa tak memiliki harga diri, kecemasan dalam bersosial, dan meningkatkan resiko depresi dalam diri.

Istilah FoMO semakin populer dikarenakan adanya media sosial, seseorang yang mengalami FoMO lebih beresiko merasakan stres yang mendalam serta perasaan cemas ketika tidak dapat terkoneksi dengan media sosial. Adanya media sosial juga menjadi sarana untuk penyebaran fenomena FoMO.

Pada media sosial, setiap orang dapat menampilkan versi terbaik dari kehidupannya yang besar kemungkinan dapat membuat orang lain merasa terpojok sehingga mengalami perasaan FoMO karena menganggap kehidupan orang lain lebih indah daripada kehidupannya.

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa pemicu FoMO pada seseorang ialah karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, khususnya kedekatan pada orang lain. Minimnya rasa terbuka dan kedekatan seseorang terhadap orang lain ataupun kehidupan sosial, menyebabkan seseorang lebih sering mengonsumsi dan melihat kehidupan orang lain di media sosial agar tak merasa tertinggal (Nadzirah et al., 2022).

Pada artikel Nir and Far (Nir, 2023) bertajuk Getting Over FoMO, the Fear of Missing Out (2023) menuliskan bagaimana caranya keluar dari belenggu perasaan FoMO. Cara pertama adalah yakinkan bahwa tak apa jika tak selalu mengetahui kegiatan orang lain, nikmati saja jika memang tertinggal dari orang lain dan tak ada yang salah dengan itu.

Maka dari itu ada istilah yang berlawanan dengan FoMO yaitu JoMO (Joy of Missing Out) atau kebahagiaan dari ketidakikutsertaan. Hal selanjutnya adalah mengurangi akses penggunaan media sosial, banyak aktivitas lain yang bisa dilakukan selain bermain media sosial seperti membaca buku, menghabiskan waktu dengan teman atau keluarga, hal tersebut dapat membuat hati lebih tenang daripada harus selalu berkutat dengan media sosial.

Hasil penelitian Zahwa & Ayuningtyas (2024), salah satu budaya dari negara lain yang hingga saat ini masih populer khususnya di Indonesia adalah Korean Wave atau dikenal dengan istilah “Hallyu”. Gelombang Korea atau Hallyu merupakan sebuah sebutan yang digunakan untuk menggambarkan penyebaran budaya Korea Selatan yang populer ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Putri et al., 2019).

Budaya Korea merujuk pada kepopuleran budaya Korea di kancah internasional. Bentuk-bentuk budaya Korea dapat mencakup film, drama, musik pop, animasi, games, dan lain-lain (Rahmatina, 2018). Merebaknya Korean Wave ini menarik banyak sekali atensi dunia, sehingga memunculkan berbagai komunitas penggemar (autobase) dari bermacam negara, khususnya Indonesia.

Korean Pop (K-Pop) sangat erat kaitannya dengan Korean wave, dapat dikatakan K-Pop merupakan salah satu faktor yang menjadi penggagas adanya Korean Wave di belahan dunia, termasuk Indonesia, karena seiring menjamurnya media sosial, penggunaan media sosial menjadi kian tak terelakkan di kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut mengakibatkan adanya pengalaman Fear of Missing Out yang dialami oleh Gen Z yang menjadi penggemar Boygroup Seventeen atau Carats. Salah satu bentuk FoMO itu seperti menggilanya untuk membeli merchandise, menonton dan melakukan pembelian konten digital, mengikuti event yang berhubungan dengan Seventeen seperti konser atau event penggemar, dan mengikuti kebiasaan idola.

Hal tersebut erat kaitannya dengan konsep psikologi komunikasi yaitu berawal dari komunikasi intrapersonal dimana ada persepsi untuk memenuhi relatedness agar tetap terhubung dengan individu atau kelompok lain. Untuk memenuhinya maka kemudian seseorang akan bergabung dengan individu atau kelompok lain yang memiliki minat yang sama yang mana di sini komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok memiliki peranan penting (Zahwa & Ayuningtyas, 2024).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1251 seconds (0.1#10.140)
pixels