Siap Menang dan (Perlu) Siap Kalah

Rabu, 24 April 2019 - 09:01 WIB
Siap Menang dan (Perlu) Siap Kalah
Siap Menang dan (Perlu) Siap Kalah
A A A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang


PENGHITUNGAN suara Pemilu 2019 masih berlangsung sampai saat ini. Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah sibuk mengumpulkan semua suara dari seluruh penjuru Tanah Air dan luar negeri.

Dalam proses itu terjadi dinamika politik tingkat tinggi dalam satu-dua hari. Tensi politik memanas terutama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Amatan saya, dua sebab utama memanasnya tensi politik.

Pertama, hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei yang menempatkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang dengan kemenangan 54-55% suara dan pasangan Prabowo-Sandi di kisaran 44-45% suara. Kedua, disinyalir adanya kecurangan di beberapa tempat pemungutan suara (TPS).

Dua reaksi yang berbeda muncul karena dua fenomena di atas. Pertama, pasangan 01 menerima hasil hitung cepat lembaga survei, tetapi harus sabar menunggu perhitungan resmi KPU untuk disebut sah menjadi pemenang. Kedua, menurut pihak 02, karena disinyalir ada begitu banyak kecurangan, pihak 02 menggunakan alat kontrol sendiri berupa hitung cepat dan real count internal.

Hasil hitung cepat internal itu kemudian membawa pihak 02 mendeklarasikan kemenangan. Menurut catatan, tiga kali Prabowo melakukan deklarasi kemenangan sejak lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepatnya. Di sisi yang lain, pihak 01 tetap berkomitmen menunggu hasil resmi perhitungan KPU.

Fenomena keriuhan politik hemat saya tidak hanya menunjukkan demokrasi kita masih dalam level prosedural, tetapi jauh lebih dalam, kita masih hidup di alam infantilisme politik. Kita belum dewasa dalam berpolitik.

Sebabnya, jauh sebelum kontestasi dimulai, semua telah sepakat untuk menerapkan pemilu damai. Semua pihak yang berkontestasi telah menyatakan siap menang dan siap kalah. Pertanyaan penting kemudian, mengapa ketika hasil mulai muncul, banyak yang hanya menerima prinsip siap menang, tetapi tidak siap kalah?

Nilai Kejujuran
Fenomena deklarasi kemenangan oleh beberapa pihak hemat saya menjadi haknya. Hanya, deklarasi yang diikuti dengan pidato kemenangan sejatinya harus dilandasi oleh basis data yang cukup dan bisa dipertanggungjawabkan. Di situ kejujuran politik mesti disebut. Disebut karena realitas kejujuran nyaris tidak pernah menjadi landasan banyak pihak dalam berpolitik akhir-akhir ini. Dalam batas tertentu kejujuran bahkan seperti menghilang di ruang demokrasi.

Padahal, menurut Brams (2008), fairness yang memiliki nilai kejujuran, keadilan, kelaikan, dan kewajaran menjadi hal penting dalam setiap kontestasi politik. Nilai fairness itulah yang sulit dan tidak hadir dalam dunia politik kontemporer.

Disebutkan, kejujuran politik adalah ruang di mana politik dipraktikkan tidak dengan cara menang sendiri. Kejujuran politik adalah usaha membangun keutamaan politik berbasis nilai. Di sana hipokriditas sedapat mungkin diminimalisasi, bahkan sampai di level nihil manipulasi (Runciman, 2008).

Ketika kejujuran hilang di dunia politik, muncul apa yang disebut Laclau (1994) sebagai kehampaan politik. Menurut Laclau, masuknya embel-embel politik dikotomis, primordial, dan politik manipulatif justru berdampak pada politik yang kehilangan esensi. Esensi politik menjadi entitas “tak hadir” untuk sebuah realitas nyata. Itulah kehampaan politik.

Karena alasan seperti itu, Emerson (2002) menyebut bahwa kita perlu mendefinisikan ulang demokrasi. Bahwa demokrasi yang bernilai amat mulai itu tidak serta-merta mengandalkan kekuatan suara, tetapi diperlukan konsensus bersama.

Menjaga Bangsa
Deklarasi kemenangan di saat belum ada putusan final penyelenggara pemilu menunjukkan hipokriditas di satu sisi dan kehampaan politik di sisi yang lain. Fakta itu menggambarkan kekosongan ide dan gagasan di satu sisi dengan tingkat percaya diri berkadar rendah di sisi yang lain.

Hal tersebut muncul karena ruang kesadaran kolektif bangsa kita hampir-hampir kosong. Kekosongan memori kolektif akan sebuah bangsa dan masyarakat menyebabkan banyak orang mementingkan politik kekuasaan ketimbang keberadaan bangsa secara eksistensial.

Prinsip siap menang dan siap kalah nyaris hanya sebagai kalimat tanpa makna. Kita nyaris tidak pernah mengikuti aturan dan regulasi politik yang telah disepakati bersama. Bijak rasanya jika semua pihak menahan diri menunggu keputusan resmi lembaga penyelenggara.

Realitas seperti itu baru dapat diminimalisasi dengan sebuah gerakan universalisme esensialis. Universalisme esensialis adalah gerakan yang menerima semua perbedaan dan penyingkiran beragam bentuk usaha manipulatif ke dalam politik. Dengan kata lain, universalisme esensialis bergerak ke arah politik berpayung regulasi dan nilai-nilai etika dan moral.

Selain itu, konsensus bersama seperti yang ditawarkan Emerson mesti dilakukan agar politik sejuk dan demokrasi bernilai dapat muncul di sini. Politik sejuk adalah saat di mana sebuah manusia politik berpikir keras dan bertindak tegas menurut satuan etika yang telah dibangun oleh pendiri bangsa ini. Politik sejuk adalah upaya elite politik menciptakan suasana damai dan tenang di ruang sosial kemasyarakatan.

Di situ, lembaga politik perlu diberi pemahaman mengenai bangsa dan kebangsaan. Ini perlu dilakukan karena realitas Indonesia menunjukkan bahwa perpecahan dan keriuhan politik terjadi bukan karena perilaku massa, tetapi karena watak buruk elite politik.

Praksisnya, elite politik wajib memberikan pernyataan sejuk dan melakukan praktik politik santun. Masyarakat, polisi, dan aparat keamanan lainnya niscaya mendukung semua usaha sejuk elite politik.

Di ruang yang lain, masyarakat perlu meningkatkan pemahaman akan perbedaan. Masyarakat perlu dilatih menerima semua hal termasuk fenomena kekalahan dalam politik. Kesadaran kritis menjadi urgen disebut dan dipraktikkan di sini. Masyarakat dituntut untuk memiliki kemampuan mengukur kualitas politik yang dibangun elite politik.

Masih ada harapan ke depan di tengah proses perhitungan suara di berbagai tingkat. Harapan munculnya politik sejuk kembali ke elite dan masyarakat sendiri. Kejujuran perlu terus dipraktikkan di level politik agar bangsa ini tidak hancur hanya karena politik lima tahunan. Dua kelompok sejatinya tidak hanya siap menang, tetapi perlu mempersiapkan fakta kekalahan di sisi yang lain.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5670 seconds (0.1#10.140)