Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana
loading...
A
A
A
Ketiga, agama akan kehilangan identitasnya sebagai entitas yang mampu membangun persaudaraan antar agama. Sebab, saat agama menjadi instrument politik kekuasaan, maka akan menjadi alat pembelah efektif “kita” dan “mereka”, kawan dan lawan berlandaskan tujuan politik pragmatis penganut masing-masing.
Dengan argumen di atas maka agama dapat berubah menjadi anugerah ketika mampu menghindari dari upaya politisasi dan intsrumentalisasi agama semata untuk kekuasaan dan kepentingan pragmatis sekelompok orang/lembaga. Sebab, jika satu kelembagaan agama punya tujuan pragmatis kekuasaan, maka ia akan mudah dan berani memproduksi statemen politik atas nama “kebenaran” agamanya untuk mendukung kebijakan kekuasaan tersebut.
Tepat pada titik ini, terjadi legitimasi kebijakan kekuasaan atas nama agama. Jika kebijakan itu berupa pemberian konsesi tambang, yang dalam praktiknya lebih banyak melahirkan kerusakan ekologis, pengabaikan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial maka pada saat itulah terjadi praktik holy grabbing; perampasan dan penyingkiran hak rakyat dari ruang hidupnya sendiri atas nama kesucian (agama).
Nampaknya, semakin tak cukup lagi tujuan kegiatan keagamaan dan kelembagaannya semata berorientasi penebalan keimanan umat pada Tuhannya atau peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi umatnya semata. Namun, mesti memiliki keberanian politik menolak praktik politisasi, instrumentaslisasi agama demi tujuan pragmatis kekuasaan, terlebih jika hal itu justru menjadi topeng kapitalisasi sumberdaya alam yang terbukti memperburuk dan melahirkan bencana bagi nasib umat dan ruang hidupnya.
Sebab, hal itu akan mengingkari hakekat agama yang sejak lahirnya adalah sumber energi pembebasan kaum marginal, berwatak sosialistik yang anti eksploitasi dan akumulasi, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan (Syed H Alatas, Islam dan Sosialisme, 2022). Maka, praktik wajah ganda agama mesti menjadi refleksi penting, agama akan menjadi anugerah atau bencana, sangat ditentukan bagaimana agama diperlakukan oleh para penganutnya, difahami bagaimana, digunakan untuk apa, dan yang terpenting, untuk membela siapa?
Dengan argumen di atas maka agama dapat berubah menjadi anugerah ketika mampu menghindari dari upaya politisasi dan intsrumentalisasi agama semata untuk kekuasaan dan kepentingan pragmatis sekelompok orang/lembaga. Sebab, jika satu kelembagaan agama punya tujuan pragmatis kekuasaan, maka ia akan mudah dan berani memproduksi statemen politik atas nama “kebenaran” agamanya untuk mendukung kebijakan kekuasaan tersebut.
Tepat pada titik ini, terjadi legitimasi kebijakan kekuasaan atas nama agama. Jika kebijakan itu berupa pemberian konsesi tambang, yang dalam praktiknya lebih banyak melahirkan kerusakan ekologis, pengabaikan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial maka pada saat itulah terjadi praktik holy grabbing; perampasan dan penyingkiran hak rakyat dari ruang hidupnya sendiri atas nama kesucian (agama).
Nampaknya, semakin tak cukup lagi tujuan kegiatan keagamaan dan kelembagaannya semata berorientasi penebalan keimanan umat pada Tuhannya atau peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi umatnya semata. Namun, mesti memiliki keberanian politik menolak praktik politisasi, instrumentaslisasi agama demi tujuan pragmatis kekuasaan, terlebih jika hal itu justru menjadi topeng kapitalisasi sumberdaya alam yang terbukti memperburuk dan melahirkan bencana bagi nasib umat dan ruang hidupnya.
Sebab, hal itu akan mengingkari hakekat agama yang sejak lahirnya adalah sumber energi pembebasan kaum marginal, berwatak sosialistik yang anti eksploitasi dan akumulasi, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan (Syed H Alatas, Islam dan Sosialisme, 2022). Maka, praktik wajah ganda agama mesti menjadi refleksi penting, agama akan menjadi anugerah atau bencana, sangat ditentukan bagaimana agama diperlakukan oleh para penganutnya, difahami bagaimana, digunakan untuk apa, dan yang terpenting, untuk membela siapa?
(abd)