Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana

Sabtu, 08 Juni 2024 - 11:45 WIB
loading...
A A A
Hampir semua agama memiliki potensi yang sama, satu wajahnya bisa menjadi anugerah, namun wajah lainnya dapat menjadi bencana bagi hidup manusia dan alamnya. Setidaknya ada dua hal yang menjadikan agama berubah menjadi bencana yakni: Pembusukan nilai-nilai dan pemutlakan atas tafsir kebenaran agama dan praktik politisasi dan instrumentalisasi agama.

Jika merefleksikan dan mengaktualisasikan ulang gagasan Charles Kimball (2013), diperlihatkan kapan agama dapat menjadi bencana?. Dalam kasus terorisme dan aksi radikalisme, dengan berkedok agama, mereka menafsiran sepihak teks kitab suci secara skriputalistik menurut 'ideologi' yang mereka yakini secara fundamentalistik sehingga melahirkan “kebenaran suci” yang tak bisa dibantah. Di titik ini, agama telah menjadi korup/busuk.

Busuknya agama setidaknya dapat dikenali melalui beberapa tanda yaitu: Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran tunggal dan mutlak/absolute. Kedua, adanya ketaatan yang buta kepada pemimpin keagamaan. Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara. Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.

Dengan demikian, hal pertama, yang menjadikan agama dapat menjadi bencana tatkala ada pembusukan nilai-nilai agama, dengan memutlakkan kebenaran dari hasil tafsir atas kitab suci, untuk tujuan-tujuan yang justru berkebalikan dengan mandat kemuliaan agama bagi manusia dan alam ciptaan-Nya. Dalam cerita tiga kasus di atas, baik Kristen, Hindu dan Islam dasar semangat perjuangan atas nama agama, baik untuk menolak maupun mendukung, sama-sama dimulai dengan menyusun argumen tafsir atas ajaran dan nilai agama dari kitab suci masing-masing.

Maka, dapat disimpulkan bahwa sumber masalah agama dapat menjadi bencana atau anugerah, ditentukan dari titik hulunya yakni 'model dan cara menafsirkan teks ajaran agama dalam kitab suci' yang ujungnya menjadi landasan keyakinan atas 'kebenaran mutlak/absolut'.

Sebaliknya, agama akan berubah menjadi anugerah, ketika mampu dihindari upaya pembusukan agama akibat dari salah tafsir dan monopoli kebenaran tafsir itu secara mutlak dan membabi buta. Untuk itu diperlukan satu bentuk tafsir agama yang lebih inklusif, manusiawi dan ekologis, selaras dengan mandat nilai dasar universal semua agama sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pemutlakan dan absolutisme dan kebenaran tunggal dari 'tafsir agama' wajib dihindari. Sebab, sebagai manusia beragama, terikat batas imanensi-nya untuk menggapai secara penuh kebenaran ilahi yang bersifat transenden (tak terbatas). Dengan kata lain, sesama 'penafsir' agama semestinya, tidak bisa mengklaim diri memiliki 'kebenaran mutlak tentang/dari Tuhan' daripada lainnya.

Secara historis agama hidup dan dihidupi oleh para penganutnya yang juga terus menerus mengkosntruksi kebudayaan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik sosial, ekonomi, ekologi dan politik, selaras ruang-waktu tantangan zamannya. Dengan demikian terjadi dialog, 'akulturasi' dan saling mempengaruhi antara nilai-nilai sakral dan universal (kemanusiaan, persaudaraan, kasih sayang, pelestarian alam, dst) dengan nilai-nilai profan dari manusia (kekuasaan, kebutuhan, kesenagan tanpa batas [materialisme-hedonism], keuntungan sebesar-besarnya [kapilalisme], dst).

Yang mengkuatirkan sering terjadi adalah ketika terjadi perselingkuhan antara manusia beragama yang memiliki berkeinginan untuk akumulasi keuntungan– kekuasaan politik dengan menggunakan legitimasi agama. Maka, hal kedua, yang dapat menjadikan agama berubah menjadi bencana, adalah praktik politisasi dan instrumentalisasi agama. sebab, praktik semacam ini membawa dampak-dampak sangat destruktif bagai nilai-nilai universal agama.

Pertama, agama akan hilang identitas nilai sakral dan universalnya sebagai sumber kedamaian, kasih-sayang, kemanusiaan, pelestaria alam, dst. Sebab, dalam praktik kontestasi politik umumnya segala cara dapat dipakai untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan. Tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan untuk kekuasaan. Melalui intrumentalisasi agama sebagai alat politik, solidaritas dukungan konstituen politik dibangun dan tumbuhkan, seringkali dengan sentimen fanatisme dengan membajak kedalaman makna dan tafsir agama menjadi lebih eksklusif dan radikal.

Kedua, agama akan berubah lebih berwatak ekstrem dan meluruhkan jiwa moderasinya. Sebab, agama semata didudukkan sebagai instrumen dan komoditas politik demi kekuasan pribadi dan kelompok. Maka ekspresi keagamaan yang akan dilahirkan adalah politik segregasi siapa kawan dan lawan secara ekstrem. Istilah keagaman kerap serampangan dirujuk sebagai justifikasi: seperti, kafir, murtad, munafik, bid’ah, dst. Istilah yang sebenarnya multi tafsir, dimonopoli secara eksklusif untuk menarik damarkasi kebenaran seturut pengucapnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1354 seconds (0.1#10.140)