Antara Pragmatisme Politik dan Pragmatisme Hukum
loading...
A
A
A
Sifat kekuasaan (power) dalam sejarah politik selalu penuh tantangan dan noda. Hampir dapat dipastikan mau tidak mau atau suka tidak suka, ia adalah berada sepenuhunya dalam genggaman pemilik kekuasaan. Apakah pemiliknya zalim, serakah, bijak dan otoriter, adalah sepenuhnya hak absolutnya dan hanya DPR/DPRD lah yang berdasarkan UUD dan UU berwenang melakukan pengawasan. Rakyat diberikan juga oleh UU, akan tetapi tidak efektif mejalankan haknya.
Berkaca pada konstatasi tersebut maka ada benarnya ahli hukum ternama Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan hubungan hukum dan kekuasaan: hukum tanpa kekuasaan adalah hanya angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki.
Hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan atau dipandang sebagai konsep terpisah, akan tetapi keduanya hanya dapat dibedakan satu sama lain. Namun demikian tanpaknya telah terbukti dalam kehidupan politik, hukum dan sosial keduanya bukan hanya tak terpisahkan dan hanya dapat dibedakan, melainkan dapat dikompromikan sehingga menguntungkan para pihak yang berkepentingan. Keadilan di satu sisi akan tetapi di sisi lain kepentingan para pihak dan perdamaian keduanya juga sama penting dan manfaatnya.
Fakta inilah yang saya sebut pragmatisme. Pragmatisme dalam paham menurut aliran hukum pragmatis yang berbeda dari positivisme hukum dan sociological yang dari perkembangan dalam masyarakat jurisprudence, memandang hukum sebagai suatu realita dan bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak bersifat tetap, eternal, dan abadi, melainkan selalu mengalami perubahan-perubahan demi untuk mengejar ketertinggalannya dari perkembangan masyarakat sehingga hukum harus berfungsi dan dapat difungsikan oleh pemilik kekuasaan secara benar dan bertanggung jawab (akuntabel).
Apakah ia harus selalu paham hukum, tidak harus. Akan tetapi harus mau dan banyak bertanya kepada ahlinya (ahli hukum). Namun, alangkah lengkap kiranya jika pemilik kekuasaan adalah ahli hukum atau setidak- tidaknya memahami norma dan prinsip serta pandangan tentang hukum. Salah satu bentuk pragmagtisme hukum adalah konsep perdamaian antara para pihak yang bersengketa (dalam perkara perdata) dan konsep restorative justice (RJ) dalam perkara pidana.
Sekalipun dua konsep hukum tersebut berbeda asal usual dan limgkup jenis perkara, akan tetapi yang menjalanlannya juga adalah pemilik kekuasaan. Maka sudah dapat dipastikan ada pengaruh kekuasaan di dalam praktiknya. Jika para pihak tidak berdamai maka hakim akan melanjutkan perkaranya ke persidangan, hal ini berlaku juga dalam RJ.
Yang dikhawatirkan adalah praktik kekuasaan yang bersifat eksesif dengan latar belakang kepentingan salah satu pihak atau kepentingan pribadi pemilik kekuasaan itu sendiri atau karena dorongan penasihat hukum para pihak. Yang penting bagi para pencari keadilan (justiabelen) adalah bahwa pemilik kekuasaan diharapkan dapat menjalankan hukum baik dalam forum litigasi maupun non-litigasi seperti perdamaian atau RJ, penuh tanggung jawab, profesional, dan memiliki integritas tinggi sehingga mereka memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan hukum yang sama.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum tidak selamanya harua dijalankan kekuasaan secara hitam-putih, tetap boleh lain tetapi tidak menyimpang dari asas-asas dan norma serta diperkuat oleh tanggung jawab penuh integratif dari para pemilik kekuasaan dan tidak boleh merugikan kepentingan para pihak sekecil apa pun, apalagi menginjak-injak hak asasi para pihak.
Berkaca pada konstatasi tersebut maka ada benarnya ahli hukum ternama Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan hubungan hukum dan kekuasaan: hukum tanpa kekuasaan adalah hanya angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki.
Hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan atau dipandang sebagai konsep terpisah, akan tetapi keduanya hanya dapat dibedakan satu sama lain. Namun demikian tanpaknya telah terbukti dalam kehidupan politik, hukum dan sosial keduanya bukan hanya tak terpisahkan dan hanya dapat dibedakan, melainkan dapat dikompromikan sehingga menguntungkan para pihak yang berkepentingan. Keadilan di satu sisi akan tetapi di sisi lain kepentingan para pihak dan perdamaian keduanya juga sama penting dan manfaatnya.
Fakta inilah yang saya sebut pragmatisme. Pragmatisme dalam paham menurut aliran hukum pragmatis yang berbeda dari positivisme hukum dan sociological yang dari perkembangan dalam masyarakat jurisprudence, memandang hukum sebagai suatu realita dan bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak bersifat tetap, eternal, dan abadi, melainkan selalu mengalami perubahan-perubahan demi untuk mengejar ketertinggalannya dari perkembangan masyarakat sehingga hukum harus berfungsi dan dapat difungsikan oleh pemilik kekuasaan secara benar dan bertanggung jawab (akuntabel).
Apakah ia harus selalu paham hukum, tidak harus. Akan tetapi harus mau dan banyak bertanya kepada ahlinya (ahli hukum). Namun, alangkah lengkap kiranya jika pemilik kekuasaan adalah ahli hukum atau setidak- tidaknya memahami norma dan prinsip serta pandangan tentang hukum. Salah satu bentuk pragmagtisme hukum adalah konsep perdamaian antara para pihak yang bersengketa (dalam perkara perdata) dan konsep restorative justice (RJ) dalam perkara pidana.
Sekalipun dua konsep hukum tersebut berbeda asal usual dan limgkup jenis perkara, akan tetapi yang menjalanlannya juga adalah pemilik kekuasaan. Maka sudah dapat dipastikan ada pengaruh kekuasaan di dalam praktiknya. Jika para pihak tidak berdamai maka hakim akan melanjutkan perkaranya ke persidangan, hal ini berlaku juga dalam RJ.
Yang dikhawatirkan adalah praktik kekuasaan yang bersifat eksesif dengan latar belakang kepentingan salah satu pihak atau kepentingan pribadi pemilik kekuasaan itu sendiri atau karena dorongan penasihat hukum para pihak. Yang penting bagi para pencari keadilan (justiabelen) adalah bahwa pemilik kekuasaan diharapkan dapat menjalankan hukum baik dalam forum litigasi maupun non-litigasi seperti perdamaian atau RJ, penuh tanggung jawab, profesional, dan memiliki integritas tinggi sehingga mereka memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan hukum yang sama.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum tidak selamanya harua dijalankan kekuasaan secara hitam-putih, tetap boleh lain tetapi tidak menyimpang dari asas-asas dan norma serta diperkuat oleh tanggung jawab penuh integratif dari para pemilik kekuasaan dan tidak boleh merugikan kepentingan para pihak sekecil apa pun, apalagi menginjak-injak hak asasi para pihak.
(zik)