Antara Pragmatisme Politik dan Pragmatisme Hukum

Senin, 03 Juni 2024 - 15:35 WIB
loading...
Antara Pragmatisme Politik dan Pragmatisme Hukum
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

MENGAMATI pernyataan Ketua MPR RI Bambang Susatyo pada Podcast Abraham Samad, saya apresiasi keterbukaannya. Ini merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan pemimpin politik lain dan petinggi hukum seperti Jaksa Agung dan Pimpinan KPK serta Kapolri, bahwa sumber korupsi di negeri ini berasal dari suap dan money politics yang selama ini tidak berhasil diberantas oleh Kejaksaan dan KPK.

Layaknya hilang satu tumbuh seribu dan masyarakat tidak jemu-jemunya dan jeda menyaksikan koruptor keluar masuk rumah tahanan. Melihat kenyataan perkembangan korupsi sedemikian buruknya, ada yang menyarankan pemberantasan korupsi seperti di China dan Korea Utara, yakni koruptor dan keluarganya dihukum mati. Apakah harus sedemikian kejamnya pemidanaan di Indonesia yang masyarakatnya menganut filosofi Pancasila?

Kehadiran Pakta Integritas yang dijadikan standar penilaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kinerja birokrasi telah terbukti gagal mengubah keadaan internal birokrasi yang selalu menjadi harapan masyarakat luas, terutama dalam menjelaskan fungsi pelayanan publik.

Fakta dari beberapa kasus korupsi melibatkan pejabat publik antara lain adalah sikap dan perilaku keserakahan (greedy) bukan masalah kemiskinan. Korupsi, suap, dan gratifikasi yang dilakukan oknum pejabat publik merupakan bentuk pengkhianatan terhadap 270 juta jiwa rakyat yang 35 persen di antaranya berada dalam garis kemiskinan.



Situasi dan kondisi sosial politik dan krisis hukum yang terjadi dalam pemberantasan korupsi serta kilas balik perkembangannya dapat dikembalikan kepada konflik pandangan antara idealisme dan pragmatisme hukum. Beberapa abad yang lampau sampai saat ini pandangan hukum masih berlandaskan positivisme hukum masih mendominasi.

Pandangan ini hanya melihat bekerjanya hukim hanya dari sudut aplikasi hukum terhadap fakta peristiwa sosial yang terjadi dan merugikan masyarakat tanpa mempertimbangkan ada tidaknya pengaruh dan efeknya terhadap masyarakat luas, apakah merugikan atau menguntungkan, apakah seseorang yang telah dihukum hidupnya menjadi lebih baik dari sebelum dihukum.

Pandangan positivisme hukum tidak memperoleh tempat di dalam masyarakat maju yang menuntut agar hukum dapat bekerja lebih baik dan bermanfaat baik bagi diri pribadi orang yang dihukum maupun bagi masyarakat dan negara. Pandangan ini menghendaki agar dapat berperan lebih pada fungsinya sebagai sarana pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering). Hukum dapat menjalankan fungsi sebaik-baiknya tidak hanya hanya mengatur agar kehidupan masyarakat tertib dan teratur, melainkan juga dapat memberikan arah kehidupan masyarakat lebih maju daripada sebelumnya.

Namun, hukum saat ini sangat tergantung pada pemilik kekuasaan yang dijabat berdasarkan dan bersumpah setia pada UUD dan UU lainnya. Ketika pemilik kekuasaan tidak memiliki kesadaran diri (self-awareness) untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab serta kewajiban untuk menggunakan hukum dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan melindungi hak-hak setiap orang yang sudah dijamin UUD dan UU.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0794 seconds (0.1#10.140)
pixels