Karakter dan Ciri Kepemimpinan Bahari

Minggu, 26 Mei 2024 - 16:00 WIB
loading...
Karakter dan Ciri Kepemimpinan Bahari
Dewan Penasihat Kesatuan Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, Salim. Foto/SINDOnews
A A A
Salim
Dewan Penasihat Kesatuan Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Pesisir Indonesia,
Kandidat Doktor Sumberdaya Manusia Universitas Airlangga

SALAH satu karakter dan ciri kepemimpinan bahari adalah dibentangkan bukanlah seorang pemimpin yang didrop artinya adalah bahwa pemimpin bahari tumbuh dan berkembang dari bawah. Jiwa kepemimpinan dipupuk sejak kecil. Bukan aji mumpung. Bukan karena bapaknya pemimpin besar otomatis ia juga bisa dengan mudah menjadi pemimpin. Sebab, dalam nilai, yang dijunjung kepemimpinan bahari adalah kompetensi; bahwa seorang pemimpin harus kredibel dan kompeten, sebab kepemimpinan yang membentuknya langsung diuji oleh kenyataan. Di laut, perubahan cuaca berlangsung cepat dan kadang tak terduga.

Seorang Nakhoda diikat etika pengorbanan. Ia orang paling akhir yang meninggalkan perahu dalam kondisi kritis. Artinya, kepemimpinan bahari mendahulukan kepentingan kapal/negara dan penumpang/warganya ketimbang dirinya sendiri. Ia yang paling akhir sejahtera, setelah warga terlemahnya hidup layak. Ia orang yang paling akhir perutnya kenyang, setelah warganya makan semua. Nakhoda tidak mengenal garis darah sebagaimana sistem feodalisme yang paternalistik. Seorang nakhoda adalah betul-betul ahli dan jenius dalam membawa perahu dan memimpin seluruh ABK. Dalam memilih ABK juga disesuaikan dengan kecakapan tugas, dan itu dilihat dari rekam jelajah.

Kepemimpinan bahari adalah meritokrasi dan bukan mediokrasi. Meritokrasi memberi karpet kesempatan kepada mereka yang dianggap layak dan punya prestasi serta kemampuan. Sebaliknya, mediokrasi adalah watak pragmatisme, medioker, puas dengan hal-hal yang bersifat ngambang ketimbang substansial.

Bukan soal Geografis

Kepemimpinan bahari bukan soal geografis, bukan soal figur yang lahir dan besar di Jawa dan luar Jawa. Kepemimpinan bahari adalah sistem, wacana, sifat, gaya, atau corak kepemimpinan. Kepemimpinan bahari memiliki integritas, keahlian, pola komunikasi yang efisien, tegas sekaligus lembut dan ngemong, sigap dan cepat mengambil keputusan, menjunjung transparansi, dan memberi inspirasi serta teladan.

Sudah demikian lama kepemimpinan Indonesia bersandar pada feodalisme. Sudah lama kita tak punya pemimpin yang tahu bagaimana merebut hati rakyatnya; pemimpin yang tak berlomba memupuk kekayaan pribadi dan merampok uang negara buat keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya. Sudah terlampau terbiasa pula kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang didrop oleh uang dan keturunan, sehingga nyaris kita lupa bagaimana cara memproduksi pemimpin yang lahir dari sistem kepemimpinan bahari.

Partai politik semestinya menjadi candradimuka bagi lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang berjiwa bahari; dididik sedari awal dengan kecakapan politik, sergap mengambil keputusan, serta tahu mengambil posisi sebagai pemberi inspirasi dan teladan. Pemilu yang dilangsungkan dari waktu ke waktu dengan biaya hampir Rp50 triliun hanya berhenti pada kesibukan prosedur demokrasi. Terlihat menjunjung demokrasi, tapi pada dasarnya memperkuat sistem politik neo-feodalisme. Akibatnya, pemimpin yang lahir adalah raja. Tegas dan cepat merespons jika pribadinya diusik oleh sekelompok orang. Adapun kepentingan rakyat banyak dikemudiankan setelah soal-soal pribadi terselesaikan.

Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.

Kepemimpinan bahari di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan bahari nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa.

Amanna Gappa

Menurut tulisan lontar Amanna Gappa, seorang Ketua Adat di Sulawesi Selatan, kepemimpinan dengan jiwa dan budaya bahari itu berciri: Pertama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang nakhoda harus kuat imannya, atasannya hanya Allah SWT, terus berserah diri sembari memimpin bahteranya dalam mengatasi badai dan terpaan gelombang untuk sampai pada tujuan. Tauhid adalah sumber inspirasinya.

Kedua, memiliki tujuan dan haluan yang jelas. Tugas nakhoda juga menentukan dan terus mengomunikasikan haluan atau tujuan perjalanan dengan efektif. Ketiga, melihat ke depan dan menarik pelajaran dari masa lalu. Masa lalu penting sebagai pelajaran, terutama pengalaman pelayaran masa lalu untuk kebaikan perjalanan selanjutnya, terutama untuk mengantisipasi rute yang lebih baik dan perubahan cuaca yang tak diinginkan.

Keempat, selalu waspada, berani dan bertanggungjwab. Perubahan cuaca, kerusakan kapal dan peralatan, dan kemungkinan yang tak diharapkan bisa terjadi setiap waktu, termasuk ketidakpastian, turbulensi, kekerasan alam. Ia bertanggung jawab atas kapal, anak buah dan muatannya. Pemimpin yang sering menyalahkan orang lain bukan pemimpin berjiwa dan berbudaya bahari.

Ciri kelima, bersikap dan berpikir luwes. Mampu luwes dan fleksibel dalam menghadapi turbulensi dan perubahan cuaca dan lingkungan, demi sampai pada tujuan. Di laut, semua bergerak dan menjadi sahabat perjalanan; angin, awan, ombak yang terus bergerak, bahkan makhluk-makhluk hidup lainnya. Tanda-tanda bintang juga menjadi sahabat yang bisa memandu perjalanan.

Keenam, berpikir menyeluruh. Seorang nakhoda memahami pergeseran angin barat dan timur, sebab lautan terhubung. Ia tidak parsial atau sektoral, tetapi utuh, menyeluruh, komprehensif, sistemik, dan integral. Ketujuh, Mengutamakan keselamatan kapal dan anak buahnya. Seorang nakhoda yang baik adalah orang terakhir di kapal saat bahaya tiba, ia bisa mengambil keputusan untuk mengeluarkan perlengkapan-perlengkapan yang tak diperlukan (jetison) demi keselamatan kapal dan anak buahnya.

Kedelapan, mengayomi anak buah dan keluarganya. Nakhoda merasa bertanggung jawab bukan semata-mata pada anak buahnya melainkan juga pada keluarga yang ditinggal berlayar. Mereka berhubungan bagaikan keluarga yang besar. Kesembilan, persaudaraan sesama pelaut. Di laut semua orang sepanjang mengikuti konvensi yang berlaku, adalah bersaudara dan saling tolong-menolong, tanpa membedakan bangsa dan keyakinan.

Setiap kapal wajib menolong kapal lain yang sedang berada dalam bahaya atau orang yang ditemukan terapung di laut. Persaudaraan di laut adalah salah satu ciri kepemimpinan bahari. Sekarang, Anda tinggal membandingkan apakah kita sedang membangun kembali jiwa dan budaya bahari itu dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan kemasyarakatan atau sebaliknya sedang menghancurkannya? Sebab, kepemimpinan bukan soal apa yang sedang dibangun semata, melainkan juga bagaimana memperjuangkannya, membangunnya. Sebagaimana contoh-contoh pemimpin besar negeri ini yang telah menguatkan modal sosial kita, sehingga NKRI tetap tegak berdiri saat kawasan-kawasan lain sedang menghadapi ancaman disintegrasi.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2089 seconds (0.1#10.140)
pixels