Grounded Garuda dari Haji, Mungkinkah?

Minggu, 26 Mei 2024 - 11:04 WIB
loading...
A A A
Kemudian, yang tak kalah mendasar adalah membangun kinerja tim angkutan haji yang lebih berintegritas. Haji adalah musiman. Demikian juga yang dilakukan Garuda kerap menyewa pegawai untuk bekerja dalam rentang bukan jangka panjang. Namun meski berdurasi pendek, jika soal integritas menjadi perhatian utama maka akan berimplikasi positif terhadap layanan.

Rentetan kasus negatif pengangkutan haji oleh Garuda selama ini menjadi indikasi bahwa ada banyak lubang kelemahan manajemen yang perlu segera dibenahi. Kasus-kasus itu juga menguatkan sinyalemen bahwa kontrol atas manajemen sewa hingga pengecekan pesawat masih lemah. Sederhana saja, kasus kerusakan mesin semestinya bisa terdeteksi oleh teknisi meski pesawat bolak balik dioperasikan Jakarta-Saudi tiada henti. Lalu, timbulnya mesin terbakar saat pesawat take off di Makassar jelas menyisakan pertanyaan besar. Sudahkah pengecekan pesawat sebelum terbang dilakukan sesuai prosedur?

Yang kian membuat Garuda menjadi sorotan adalah pengelolaan manajemen krisis yang lemah. Pada kasus rusaknya pesawat atau delay penerbangan misalnya, jarang sekali manajemen memberikan penjelasan kepada publik secara cepat dan gamblang. Ini tentu tentu kian melemahkan posisi Garuda karena menciptakan kesan seolah maskapai benar-benar tak berdaya.

Pada kasus molornya pemberangkatan jemaah haji kloter 41 Embarkasi Adi Soemarmo Solo 23 Mei 2024 misalnya, Garuda sama sekali tak memberikan penjelasan kepada publik. Penjelasan hanya diberikan Garuda kepada jemaah pada kloter 41. Sementara banyak pihak yang terkena imbas molornya pemberangkatan hingga berjam-jam itu. Ini mengindikasikan komunikasi atas manajemen krisis Garuda buruk. Narasi-narasi penjelasan gamblang bukan dimaknai sebagai pengingkaran atau pembelaan, namun justru bagian komitmen Garuda untuk turut memberikan aspek perlindungan dan pelayanan kepada jemaah sesuai amanat UU No 8 Tahun 2019.

Entah sampai kapan pola lemah Garuda ini akan dijalankan. Yang pasti, pemberangkatan jemaah haji baru mencapai setengah gelombang. Artinya masih ada puluhan ribu jemaah lagi yang berharap bisa menikmati perjalanan hajinya dengan menumpang Garuda ke Tanah Suci penuh rasa kenyamanan, ketenangan dan membawa keselamatan. Protes keras yang dilakukan Kementerian Agama sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal Ali Ramdhani, Kementerian Perhubungan dan kalangan DPR sudah tepat. Protes ini harus jadi warning bagi Garuda agar tidak mengulangi keteledoran manajemen pengangkutan haji.

Namun tak sekadar warning, panitia penyelenggara haji harus berani memberikan sanksi kepada Garuda sebagaimana yang tercantum dalam kesepakatan-kesepakatan. Ini sekali lagi meski delay pasti memunculkan risiko kualitas layanan, namun setidaknya tidak sampai jemaah semakin dibuat repot.

Penyelenggaraan haji adalah pertaruhan besar bagi pemerintah. Apalagi bagi umumnya jemaah, perjalanan suci mereka akan terekam kuat dalam ingatannya seumur hidup. Artinya, kegagalan Garuda dalam memberikan pelayanan pasti berpengaruh terhadap tingkat kredibilitas pemerintah di mata rakyat.

Di tengah situasi ini, evaluasi yang sistemik atas penyelenggaraan pengangkutan haji adalah menjadi keniscayaan. Semua harus bijak dan tepat memosisikan Garuda sebagai elemen yang terlibat dalam kesuksesan haji. Bukan semata berperspektif nasionalisme, ego sectoral, dan lain sebagainya.

Ingat, bangsa ini sudah cukup berpengalaman dan membuat langkah strategis dalam mengurusi persoalan angkutan haji. Pada 1979 misalnya, ketika pengangkutan jemaah via jalur laut dinilai kian acak kadut, pemerintah bersikap tegas dengan menghentikan sepenuhnya model transportasi kapal. Berbasis Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:SK-72/OT.001/Phb-79 itu, hingga kini pengangkutan jemaah seluruhnya termasuk tahun ini yang mencapai 241.000 orang menggunakan pesawat karena lebih efektif dan efisien.

Demikian juga pada 1998, ketika dorongan perbaikan layanan yang tak berbasis maskapai tunggal kian mengemuka, maka pemerintah dan DPR bersepakat menghapus monopoli atas Garuda Indonesia. Ini dikuatkan lewat Keputusan Presiden RI No 119 Tahun 1998. Faktanya, layanan yang diberikan oleh maskapai asing itu justru minim masalah dan banyak biaya haji kemudian bisa ditekan.

Jika memang persoalan di Garuda ini begitu kompleks dan butuh waktu lama untuk pembenahan, tidak salah pula evaluasi nanti memuarakan moratorium atau melakukan grounded maskapai ini. Meski ini terasa pahit, namun sejatinya menjadi obat mujarab ketimbang jemaah haji harus menjadi korban tak berkesudahan.

Abdul Hakim
Jurnalis SINDOnews.com
Mahasiswa S3 SPs Syarif Hidayatullah Jakarta
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1630 seconds (0.1#10.140)
pixels