Setara Institute Sebut RUU Penyiaran Berpotensi Memperburuk Kebebasan Berekspresi

Rabu, 15 Mei 2024 - 13:18 WIB
loading...
Setara Institute Sebut...
Setara Institute sebut RUU Penyiaran berpotensi memperburuk kebebasan berekspresi. Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini digodok di DPR RI menuai polemik. Setara Institute pun mengkritisi dan memberikan catatan terkait revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut.

Pertama, Setara Institute memandang bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang problematik dan merusak agenda-agenda demokrasi dan demokratisasi, kebebasan pers, kebebasan informasi, serta agenda-agenda HAM secara umum yang telah diperjuangkan sejak awal era Reformasi.

RUU Penyiaran memvalidasi penyempitan ruang-ruang sipil. Laporan tahunan Indeks HAM Setara Institute selalu menunjukkan bahwa skor pada indikator kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat merupakan indikator dengan skor paling rendah pada tiap tahunnya, RUU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi terutama melalui pemasungan kebebasan pers.

Kedua, Setara Institute menilai bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang memiliki intensi untuk mengendalikan kebebasan pers, khususnya jurnalisme investigasi melalui Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran. Pasal yang melarang jurnalisme investigasi merupakan upaya untuk mengurangi kontrol terhadap pemerintah. Padahal, pilar demokrasi modern salah satunya adalah kebebasan pers yang, antara lain, memberikan ruang bagi jurnalisme investigasi untuk melakukan kontrol atas bekerjanya kekuasaan dan berjalannya pemerintahan.



Ketiga, dalam pandangan Setara Institute, konten dan produk jurnalistik seharusnya tetap menjadi yurisdiksi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalisme investigasi seharusnya tetap berada di bawah pengaturan UU Pers, meskipun penyiarannya dilakukan melalui televisi ataupun situs internet. Dalam konteks itu, RUU Penyiaran secara intensional melemahkan UU Pers.

Keempat, ekspansi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana Pasal 8A huruf q RUU Penyiaran untuk melakukan penyelesaian sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran akan mengebiri kewenangan Dewan Pers. Ketentuan tersebut berpotensi mendistraksi kewenangan antara kedua lembaga sehingga melemahkan resolusi dan penyelesaian sengketa jurnalistik yang mungkin terjadi. Selain itu, ketentuan dimaksud melemahkan Dewan Pers sebagai pilar kebebasan pers, sebab lingkup kewenangan Dewan Pers untuk menjamin kebebasan pers juga meliputi konten jurnalistik yang disiarkan melalui media elektronik.

Kelima, Setara Institute juga menilai perlu adanya pengertian yang lebih jelas pada beberapa istilah dalam RUU Penyiaran. Misalnya, penggunaan istilah 'konten kreator' akan multitafsir dan berpotensi menambah kontrol pada kreator digital perorangan. Hal ini dapat mengurangi ruang gerak penggunaan kebebasan berekspresi individu.

Keenam, Setara Institute memandang bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pada ranah materiil, pelarangan berbagai konten digital bertentangan dengan hak atas informasi yang dijamin pada Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. Pada ranah formil, beberapa lembaga dan kelompok seperti Dewan Pers yang belum dilibatkan dalam pembahasan RUU Penyiaran akan mengurangi legitimasi demokratik dari RUU tersebut, sehingga berpotensi untuk dibatalkan karena abai pada prinsip 'meaningful participation'.

Ketujuh, setelah mencermati RUU Penyiaran yang beredar di tengah masyarakat, Setara Institute mendorong perubahan substansial pada RUU Penyiaran dan dalam konteks itu Setara Institute mendesak agar DPR dan Pemerintah memperluas partisipasi publik yang bermakna.

RUU Penyiaran , menurut Setara Institute, harus sepenuhnya menjamin kebebasan pers, kebebasan memperoleh informasi, dan bebas dari desain untuk melakukan kontrol intrusif, eksesif, dan sensor berlebihan.

"Pada puncaknya, RUU Penyiaran harus menjadi bagian dari pilar demokrasi konstitusional, yang menjamin kebebasan pers dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan negara," demikian pernyataan Setara Institute.

Sebelumnya, Anggota Panja RUU Penyiaran Komisi I DPR RI Nurul Arifin mengatakan, RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR masih dalam proses, jadi belum final. Menurutnya, beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, dan juga Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.



"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," ujar Nurul, Selasa (14/5/2024).
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1321 seconds (0.1#10.140)