Pelaku Usaha Protes Pajak Toko Daring

Selasa, 15 Januari 2019 - 04:59 WIB
Pelaku Usaha Protes Pajak Toko Daring
Pelaku Usaha Protes Pajak Toko Daring
A A A
Perkembangan dunia internet telah mengubah gaya hidup masyarakat dan mendorong industri e-commerce ber­kem­bang pesat di negeri berpenduduk 260 juta ini.

Di balik per­tumbuhan e-commerce memang terdapat berbagai po­ten­si, salah satunya potensi di bidang perpajakan. Atas dasar itu, sejak dua tahun lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merumuskan aturan pengenaan pajak dan siap diberlakukan pada April mendatang.

Namun, regulasi pajak tersebut oleh para pelaku e-commerce Indo­nesia, yang bernaung di bawah payung Indonesian e-Commerce Asso­ciation (idEA), diminta dikaji ulang sebelum diberlakukan karena dinilai sepihak.

Sebagaimana dituturkan Ketua Umum idEA, Ignatius Untung, organisasinya tidak diajak bicara. Karena itu, pihak idEA telah me­ngi­rimkan proposal studi bersama sebagai bahan masukan untuk me­nyu­sun kembali aturan. Salah satu harapan pelaku e-commerce agar dampak dan risiko regulasi pajak nanti bisa ditakar secara jelas oleh pelaku usaha.

Keberatan pihak idEA terhadap aturan pajak e-commerce di antaranya dalam hal pengenaan pajak kepada setiap reseller yang ada di market­­place. Pihak idEA membuka diri diajak berdiskusi untuk mencari jalan keluar.

Sebelumnya, kebijakan pengenaan pajak bagi pelaku usaha berbasis elektronik (e-commerce ) atau toko daring (online shop) sudah diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/ PMK.010/2018 yang dicanangkan berlaku per 1 April 2019. Saat ini, regulasi itu mulai diso­sia­li­sa­sikan sejak pekan kedua bulan ini.

Dalam keterangan resmi, Ditjen Pajak Kemenkeu tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce, melainkan mengatur tata cara dan prosedur pemajakan dengan maksud memberi kemu­dah­an ad­mi­nistrasi, serta mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-com­merce.

Langkah tersebut sebagai upaya men­cip­ta­kan perlakuan yang seta­ra dengan pelaku usaha konvensional. Apa saja yang diatur dalam PMK Nomor 210/PMK.010/2018? Pada inti­nya terdapat seba­nyak tiga ka­tegori. Pertama , pedagang dan pe­nye­dia jasa yang berjualan melalui plat­form marketplace . Kedua , ke­wa­ji­ban penyedia platform marketplace. Keti­ga, pelaku e-commerce di luar platform marketplace.

Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform mar­ket­place diwajibkan memberi tahu nomor pokok wajib pajak (NPWP) ke­pa­da penyedia platform marketplace. Mereka yang tidak memiliki NPWP di­ganti dengan nomor induk kependudukan.

Melaksanakan kewajiban ter­kait PPh sesuai dengan ketentuan berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun. Dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak apabila omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta melaksanakan ke­wajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

Adapun kewajiban penyedia platform marketplace, yakni memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai penghasilan kena pajak (PKP). Me­mu­ngut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan la­yan­an platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.

Me­mu­ngut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, dan melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform marketplace. Penyedia platform marketplace adalah pihak yang menye­dia­kan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik.

Sementara itu, pelaku e-commerce di luar platform marketplace dalam me­laksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib me­ma­tuhi ke­ten­tu­an PPN, PPnBM, dan PPh yang berlaku.

Pertumbuhan industri e-commerce be­gitu cepat, namun tidak diim­bangi dengan regulasi. Bukan hanya terkait bagaimana caranya me­nge­na­kan pajak, tetapi juga menyangkut ba­rang yang diperdagangkan. Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Indus­tri Kecil dan Menengah, Kementerian Per­industrian, Gati Wi­ba­wa­ningsih, mengeluhkan bahwa barang yang di­per­dagangkan dalam e-commerce 90% barang impor.

Pemerintah sadar, membatasi barang impor tentu tidak gampang. Langkah yang harus dilakukan bagaimana mendorong dunia usaha dalam negeri, terutama dari kalangan UMKM bisa berpartisipasi mak­si­mal dalam e-commerce. Tanda-tanda ke arah itu mulai terlihat, seti­dak­nya terbukti dalam gelaran Hari Belanja Online Nasional (Har­bol­nas) pada pengujung tahun lalu, hampir setengah dari nilai transaksi atau sekitar Rp3,1 triliun berasal dari produk lokal.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7733 seconds (0.1#10.140)