Permisi, Politik Mau Masuk Sekolah

Jum'at, 19 Oktober 2018 - 09:28 WIB
Permisi, Politik Mau Masuk Sekolah
Permisi, Politik Mau Masuk Sekolah
A A A
Reza Indragiri Amriel
Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)

ADA hawa lumayan panas yang berembus dari berita tentang tiga peristiwa kontroversial. Berita pertama, adalah pernyataan Menteri Dalam Negeri yang membolehkan kampanye di sekolah dan pesantren. Kedua, guru sekolah menengah di Jakarta yang dilaporkan ke aparat berwenang karena dianggap salah satu orang tua siswa telah menyebarkan ujaran kebencian dan sikap anti-calon presiden tertentu. Ketiga, pelarangan kegiatan seminar di perguruan tinggi negeri di Yogyakarta yang menghadirkan sejumlah politisi papan atas sebagai pembicaranya. Polemik tentang ketiga hal tersebut kian tajam karena berlangsung di tahun politik. Tahun ketika semua orang menjadi lebih sensitif dan banyak narasi dibingkai ala kadarnya menjadi sebatas pro si anu dan kontra si fulan. Benang merah semua peristiwa itu adalah bagaimana politik dan dunia pendidikan bisa didudukkan pada tempatnya secara proporsional.

UU Pemilu memang melarang kegiatan kampanye mengambil lokasi di tempat pendidikan. Karena ketentuan itu masih berlaku, ia harus ditaati. Tulisan ini tidak disusun sebagai bahan untuk membela diri untuk pihak mana pun yang ingin menjadikan institusi pendidikan sebagai lokasi kegiatan kampanye politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Pelarangan bagi diadakannya kampanye politik di sekolah, hemat saya, memunculkan dua persoalan. Pertama, persoalan tentang seberapa jauh konsistensi negara dalam menyikapi demokrasi. Deret pertanyaan yang relevan dengan itu adalah benarkah negara sungguh-sungguh ingin berdemokrasi? Apakah demokrasi merupakan barang haram? Sebesar apa ketakutan khalayak terhadap partai politik dan kandidat presiden sehingga perlu ditolak laksana anasir terlarang?

Pengharaman bagi kampanye politik di sekolah, walau untuk saat ini hingga beberapa segi bisa dipahami, mencuatkan kesan kegamangan masyarakat banyak terhadap produktif-kontraproduktifnya politik atau bahkan demokrasi itu sendiri. Perhelatan politik praktis malah tersirat dihakimi sebagai sesuatu yang membahayakan. Anggaplah sekolah berhasil disterilkan dari politik praktis. Tapi siapa sanggup menjamin bahwa pada saat yang sama siswa dan guru akan tetap menjadi insan politik yang beradab? Ketika media sosial tak terbendung lagi sudah menjadi ruang hidup semua orang, persentuhan siswa dan guru dengan kampanye politik niscaya menjadi realitas sehari-hari. Bahkan risiko warga sekolah terpapar politik kotor justru lebih tinggi di situ. Pada titik itulah sekolah dan pesantren justru bisa difungsikan sebagai tempat pendidikan politik nan beradab.

Sebagian kalangan menolak kegiatan kampanye dan kedatangan capres-cawapres di sekolah dengan berargumentasi memakai Pasal 15 butir a Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kata yang dipakai pada Pasal 15 butir a adalah "penyalahgunaan" dalam kegiatan politik, bukan "pelibatan" seperti yang dicantumkan pada permulaan butir-butir berikutnya. Perbedaan pilihan kata antara butir a dan butir-butir selanjutnya meletakkan dasar bagi interpretasi bahwa kegiatan politik tidak selalu berimplikasi negatif bagi anak-anak. Dengan kata lain, mengacu pada penjelasan pasal tersebut, terlalu paranoid untuk memandang kegiatan politik sebagai "tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis".

Justru sebaliknya, karena anak-anak memiliki hak untuk beraspirasi dan disimak, agar kepentingan-kepentingan mereka bisa semaksimal mungkin masuk ke dalam arah kebijakan negara, perlu kiranya dibangun ruang seluas-luasnya bagi anak-anak itu untuk berinteraksi dengan para (calon) pembuat kebijakan nasional. Ruang itu salah satunya yang mungkin adalah perjumpaan langsung pihak parpol dan capres dengan para siswa di sekolah.

Keinsafan akan pentingnya interaksi antara politisi dan sekolah itu pula yang mendorong tidak sedikit sekolah publik di Amerika Serikat membuka pintu bagi masuknya kegiatan politik praktis, termasuk aktivitas kampanye, ke lingkungan mereka. Tentu dengan rambu-rambu yang harus ditaati para tamu.

Di negara yang sama, para guru di sekian banyak institusi pendidikan pun diperkenankan mengekspresikan secara terbuka kecenderungan politik mereka. Kebebasan individual itu dilegitimasi dengan First Amandment Negeri Paman Sam. Intinya setiap individu dilindungi konstitusi untuk secara leluasa menyuarakan isu-isu kepentingan publik. Dan mengenakan atribut politik maupun menyampaikan pesan politik di sekolah merupakan cara yang legitimate dari warga negara dalam rangka menyampaikan wacana kepentingan publik itu.

Persoalan berikutnya, dari sisi siswa, dimensi individu mereka juga patut dipertimbangkan. Peserta didik berusia di bawah 18 tahun masih termasuk kategori anak-anak. Kendati begitu, anak berusia 16 tahun tentu memiliki kondisi fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang berbeda dengan anak berumur 4 tahun. Meski sama-sama berstatus anak atau siswa, mereka berbeda jauh dari segi kematangan kognitif.

Kepada siswa (anak) SMA berusia 16 tahun, materi bertema sosial politik kontemporer sudah sepantasnya diberikan dalam kegiatan belajar-mengajar. Tema "berat" semacam itu sesungguhnya bukan hal baru. Mata pelajaran sejarah dan pendidikan moral Pancasila tempo doeloe pun sejatinya sudah mengangkat tema-tema politik di ruang kelas.

Juga diskusi atau bahkan perdebatan kritis sebagai metode transfer ilmu pengetahuan juga lumrah adanya. Dari sisi keterampilan keras (hard skill), para siswa perlu dipandu untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan substansi yang bervariasi. Sementara dari sisi keterampilan lunak (soft skill ), pembahasan kritis tentang politik lokal dan nasional masa kini perlu diimbangi dengan penguatan karakter. Misalnya penghormatan terhadap lawan bicara serta keterbukaan terhadap keragaman gagasan sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.

Sebagai konsekuensi logis dari komitmen nasional bahwa Indonesia adalah negara yang berdemokrasi, tidaklah elok apabila publik apriori, apalagi antipati, terhadap kegiatan kampanye (sebagai bentuk kegiatan demokrasi) parpol dan capres di sekolah. Padahal sekolah dan pesantren justru bisa berperan strategis sebagai wadah pendidikan politik bagi para peserta didik, termasuk mereka yang masih berada pada rentang usia kanak-kanak.

Tinggal lagi isi dan bentuk kampanye politik itu yang perlu diatur. Allahu a’lam.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8747 seconds (0.1#10.140)