Aspek Hukum Kecurangan Pemilu
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
INDONESIA merdeka didirikan berdasarkan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. UUD 1945 telah menegaskan 4 (empat) pokok pikiran. Pertama, membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, untuk memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
NKRI dikelola berdasarkan hukum terdapat di dalam ketentuan Pasal 4, 5, dan 24 UUD 1945. Bahkan, di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan "…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia atau NKRI berdasarkan hukum, termasuk penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.
Berdasarkan kedaulatan rakyat itulah maka di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan antara lain bahwa diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien, dan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Frasa terakhir dari pernyataan tersebut, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil lazim dikenal sebagai Jurdil, memiliki makna kandungan kedaulatan berada di tangan rakyat untuk ikut menentukan calon-calon presiden pemimpin bangsa Indonesia.
Keenam kosakata tersebut menuntut agar pemilihan umum yang diselenggarakan lima tahun sekali itu bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan terutama konflik-konflik kepentingan pribadi, keluarga yang berlawanan dengan kepentingan bangsa (a nation) atau mayoritas 270 juta rakyat Indonesia. Untaian kalimat-kalimat di atas mencerminkan bahwa pemilihan umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil merupakan hak rakyat 270 juta jiwa yang berdaulat dan hanya satu-satunya hak yang dimiliki sampai saat ini yang seharusnya kita muliakan bersama dan tentunya oleh negara dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, satu-satunya hak yang tidak akan kita masing-masing peroleh dalam kehidupan keseharian kita yang penuh dengan kriminalisasi dan politisasi serta intimidasi.
Sepatutnya kita dan juga aparatur negara khususnya aparatur hukum ikut aktif membangun dan menegakkan kesadaran hukum kita semua rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjujung tinggi kemuliaan pemilu ini yang disepadankan dengan suatu pesta demokrasi. Alangkah memalukan dan menjadikan bangsa ini terhina jika pemilu lima tahunan ini telah dicurangi dan kecurangan dilakukan secara terstruktur yakni lembaga-lembaga negara terlibat di dalamnya. Sistematis, yakni kecurangan telah dipersiapkan dari hulu ke hilir. Masif, yaitu kecurangan itu disepakati dan dilaksanakan bersama-sama tanpa tampak bersalah dan berdosa.
Apabila demikian halnya cerminan makna terdalam dari pemilu ini maka alangkah teganya sekelompok anak bangsa yang mampu mengkhianati bukan hanya kita-kita akan tetapi dirinya sendiri karena telah diperhitungkan dan ditentukan seorang pemimpin yang sejatinya bukanlah penentu nasib masa depan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Audzubillahiminzalik.
Di dalam proses Pemilu 2024, Bawaslu telah menemukan mobilisasi di 2.632 TPS, dugaan intimidasi terhadap pemilih dan penyelenggara pemillu di 1.271 TPS. Selain itu Bawaslu menemukan di 2.413 TPS berpotensi dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) karena diduga ada warga yang mencoblos suara padahal tidak memenuhi syarat sebagai pemilih (SINDOnews.com/Maret 2024). Temuan Bawaslu tersebut menunjukkan telah terjadi tindakan pelanggaran oleh KPU Daerah, KPPS, dan Petugas TPS setempat serta para saksi-saksi TPS. Pelanggaran ketentuan UU Pemilu tersebut dilaksanakan dengan menggunakan transaksi elektronik. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. sehingga pelanggaran tersebut selain melanggar ketentuan UU Pemilu 2017 juga melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 yang diubah UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE).
UU ITE telah menentukan bahwa pemerintah bertanggung jawab melindungi kepentingan umum dari segala gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (Pasal 40 ayat 2). Terhadap setiap orang yang melakukan tindakan penyalahgunaan transkasi elektronik dengan sengaja yang mengakibatkan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal itu tertuang dalam Pasal 45A (1).
Jika transaksi elektronik dengan sengaja dan tanpa hak menimbulkan kebencian atau permusuhan indivdiu/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan sanksi pidana dalam UU ITE tentu tidaklah sebanding dengan ketentuan sanksi dalam UU Pemilu 2017. Terbukti dari ketentuan Pasal 551: Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Ihbupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda palng banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Sisi lain dari peristiwa kecurangan dalam suatu pesta demokrasi yang dilupakan atau diabaikan oleh baik kalangan KPU dan Bawaslu serta pakar hukum adalah bahwa Alokasi Anggaran Pemilu 2023 sampai dengan 2024 adalah sebesar Rp71,4 triliun, dan realisasi anggaran Pemilu per 31 Oktober Tahun 2023, Rp18,8 trilyun dengan rincian, untuk KPU dan Bawaslu sebesar Ro16.3 triliun, dan untuk K/L lain sebesar Rp2,6 triliun (belum termasuk untuk Tahun Anggaran 2024).
Doktrin Hukum Pidana menyatakan bahwa bentuk kesengajaan dalam suatu tindak pidana dimaknai bahwa seseorang telah mengetahui (weten) perbuatan yang dilakukan, dan juga menghendaki (willen) terjadinya akibat perbuatannya. Doktrin Hukum Pidana mengenai unsur Kesengajaan (Dolus) termasuk kualifikasi perbuatan seseorang yang dilakukan dengan niat-jahat (mens-rea) dan dalam konteks pelanggaran-kecurangan pemilu, kesengajaan dimaksud dipastikan dilakukan dengan persiapan-perencanaan yang TSM oleh pembuat.
Bertolak dari doktrin hukum pidana, maka kecurangan pemilu sepatutnya ditempatkan pada jenis kejahatan berat dan bersifat luar biasa, apalagi kecurangan tersebut sangat mempengaruhi dan menentukan pemimpin Indonesia lima tahun yang akan datang yang berarti menentukan pula masa depan bangsa dan NKRI untuk lima tahun yang akan datang bahkan selanjutnya. Satu kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa, kecurangan dalam pemilu bukan masalah hukum akan tetapi masalah terdalam dari aspek etika dan moral Pancasila sebagai moral bangsa Indonesia.
INDONESIA merdeka didirikan berdasarkan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. UUD 1945 telah menegaskan 4 (empat) pokok pikiran. Pertama, membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, untuk memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
NKRI dikelola berdasarkan hukum terdapat di dalam ketentuan Pasal 4, 5, dan 24 UUD 1945. Bahkan, di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan "…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia atau NKRI berdasarkan hukum, termasuk penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.
Berdasarkan kedaulatan rakyat itulah maka di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan antara lain bahwa diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien, dan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Frasa terakhir dari pernyataan tersebut, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil lazim dikenal sebagai Jurdil, memiliki makna kandungan kedaulatan berada di tangan rakyat untuk ikut menentukan calon-calon presiden pemimpin bangsa Indonesia.
Keenam kosakata tersebut menuntut agar pemilihan umum yang diselenggarakan lima tahun sekali itu bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan terutama konflik-konflik kepentingan pribadi, keluarga yang berlawanan dengan kepentingan bangsa (a nation) atau mayoritas 270 juta rakyat Indonesia. Untaian kalimat-kalimat di atas mencerminkan bahwa pemilihan umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil merupakan hak rakyat 270 juta jiwa yang berdaulat dan hanya satu-satunya hak yang dimiliki sampai saat ini yang seharusnya kita muliakan bersama dan tentunya oleh negara dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, satu-satunya hak yang tidak akan kita masing-masing peroleh dalam kehidupan keseharian kita yang penuh dengan kriminalisasi dan politisasi serta intimidasi.
Sepatutnya kita dan juga aparatur negara khususnya aparatur hukum ikut aktif membangun dan menegakkan kesadaran hukum kita semua rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjujung tinggi kemuliaan pemilu ini yang disepadankan dengan suatu pesta demokrasi. Alangkah memalukan dan menjadikan bangsa ini terhina jika pemilu lima tahunan ini telah dicurangi dan kecurangan dilakukan secara terstruktur yakni lembaga-lembaga negara terlibat di dalamnya. Sistematis, yakni kecurangan telah dipersiapkan dari hulu ke hilir. Masif, yaitu kecurangan itu disepakati dan dilaksanakan bersama-sama tanpa tampak bersalah dan berdosa.
Apabila demikian halnya cerminan makna terdalam dari pemilu ini maka alangkah teganya sekelompok anak bangsa yang mampu mengkhianati bukan hanya kita-kita akan tetapi dirinya sendiri karena telah diperhitungkan dan ditentukan seorang pemimpin yang sejatinya bukanlah penentu nasib masa depan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Audzubillahiminzalik.
Di dalam proses Pemilu 2024, Bawaslu telah menemukan mobilisasi di 2.632 TPS, dugaan intimidasi terhadap pemilih dan penyelenggara pemillu di 1.271 TPS. Selain itu Bawaslu menemukan di 2.413 TPS berpotensi dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) karena diduga ada warga yang mencoblos suara padahal tidak memenuhi syarat sebagai pemilih (SINDOnews.com/Maret 2024). Temuan Bawaslu tersebut menunjukkan telah terjadi tindakan pelanggaran oleh KPU Daerah, KPPS, dan Petugas TPS setempat serta para saksi-saksi TPS. Pelanggaran ketentuan UU Pemilu tersebut dilaksanakan dengan menggunakan transaksi elektronik. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. sehingga pelanggaran tersebut selain melanggar ketentuan UU Pemilu 2017 juga melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 yang diubah UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE).
UU ITE telah menentukan bahwa pemerintah bertanggung jawab melindungi kepentingan umum dari segala gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (Pasal 40 ayat 2). Terhadap setiap orang yang melakukan tindakan penyalahgunaan transkasi elektronik dengan sengaja yang mengakibatkan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal itu tertuang dalam Pasal 45A (1).
Jika transaksi elektronik dengan sengaja dan tanpa hak menimbulkan kebencian atau permusuhan indivdiu/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan sanksi pidana dalam UU ITE tentu tidaklah sebanding dengan ketentuan sanksi dalam UU Pemilu 2017. Terbukti dari ketentuan Pasal 551: Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Ihbupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda palng banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Sisi lain dari peristiwa kecurangan dalam suatu pesta demokrasi yang dilupakan atau diabaikan oleh baik kalangan KPU dan Bawaslu serta pakar hukum adalah bahwa Alokasi Anggaran Pemilu 2023 sampai dengan 2024 adalah sebesar Rp71,4 triliun, dan realisasi anggaran Pemilu per 31 Oktober Tahun 2023, Rp18,8 trilyun dengan rincian, untuk KPU dan Bawaslu sebesar Ro16.3 triliun, dan untuk K/L lain sebesar Rp2,6 triliun (belum termasuk untuk Tahun Anggaran 2024).
Doktrin Hukum Pidana menyatakan bahwa bentuk kesengajaan dalam suatu tindak pidana dimaknai bahwa seseorang telah mengetahui (weten) perbuatan yang dilakukan, dan juga menghendaki (willen) terjadinya akibat perbuatannya. Doktrin Hukum Pidana mengenai unsur Kesengajaan (Dolus) termasuk kualifikasi perbuatan seseorang yang dilakukan dengan niat-jahat (mens-rea) dan dalam konteks pelanggaran-kecurangan pemilu, kesengajaan dimaksud dipastikan dilakukan dengan persiapan-perencanaan yang TSM oleh pembuat.
Bertolak dari doktrin hukum pidana, maka kecurangan pemilu sepatutnya ditempatkan pada jenis kejahatan berat dan bersifat luar biasa, apalagi kecurangan tersebut sangat mempengaruhi dan menentukan pemimpin Indonesia lima tahun yang akan datang yang berarti menentukan pula masa depan bangsa dan NKRI untuk lima tahun yang akan datang bahkan selanjutnya. Satu kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa, kecurangan dalam pemilu bukan masalah hukum akan tetapi masalah terdalam dari aspek etika dan moral Pancasila sebagai moral bangsa Indonesia.
(zik)