Polemik Barang Kena Cukai di Indonesia
loading...
A
A
A
Saat ini, Indonesia perlu terus meningkatkan dan memperbaiki respon terhadap penanganan PTM. Terlebih, angka PTM di Indonesia saat ini mulai banyak dialami oleh kelompok usia muda usia 10-14 tahun. Fenomena ini akan berdampak pada berbagai sektor selain kesehatan, misalnya beban ekonomi, di mana penanganan PTM membutuhkan biaya kesehatan yang banyak sehingga biaya yang seharusnya dapat dilakukan untuk upaya pencegahan penyakit dan peningkatan gaya hidup sehat masyarakat justru diperuntukkan untuk pengobatan PTM yang umumnya membutuhkan waktu lama.
Dampak lain adalah masa depan generasi bangsa yang terancam. Dikhawatirkan bonus demografi dipenuhi oleh penduduk usia muda yang banyak mengalami penyakit karena peningkatan tren PTM yang ada saat ini.
Di Indonesia, pendapatan dari cukai berasal dari berbagai jenis barang dan layanan yang dikenakan pajak, seperti rokok, etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan bentuk cukai lain dalam jumlah kecil. Sebagaimana cukai pada rokok, misalnya, dikenakan untuk mengendalikan perilaku merokok yang memiliki eksternalitas negatif bagi lingkungan maupun kesehatan.
Pada nomenklatur anggaran negara, cukai rokok masuk dalam jenis penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang faktanya memiliki kontribusi besar dalam komponen penerimaan cukai, yakni 96%. Lebih lanjut, data juga menunjukkan bahwa CHT sendiri sejak tahun 2015 memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Bahkan, pada tahun 2020 (ketika terjadi pandemi), kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13%. Hal tersebut menunjukkan bahwa CHT mampu menjadi salah satu penopang penerimaan negara, bahkan ketika negara mengalami penurunan penerimaan selama pandemi.
Dalam perkembangannya kini, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus mengalami peningkatan hampir setiap tahunnya juga berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan CHT di Indonesia. Data Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa bahwa sepanjang tahun 2023, penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat sebesar Rp 286,2 triliun atau hanya mencapai 95,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Adapun salah satu penyebab tidak tercapainya target tersebut karena penerimaan cukai mengalami penurunan akibat kenaikan tarif CHT. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi rokok yang terus tumbuh negatif dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan penelitian PPKE FEB UB (2022) tarif cukai saat ini sudah mencapai titik optimum untuk menghasilkan penerimaan CHT. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan tarif dan harga rokok hanya akan berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, bahkan akan mendorong meningkatnya peredaran rokok illegal. Kondisi tersebut mendorong produksi rokok legal terus menurun, termasuk pertumbuhannya, dan akhirnya membahayakan keberlangsungan jumlah pabrik rokok (legal).
Saatnya kini bagi pemerintah untuk segera melangkah untuk menambah alternatif barang kena cukai sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara karena kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum. Sejak 1995, pemerintah hanya mengenakan cukai pada 3 BKC yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu ditambah.
Berkaca dari komponen BKC yang dikenakan di negara lain, penerimaan cukai terbesar di beberapa negara di dunia bukan dari CHT. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki beberapa pilihan BKC lainnya yang berpotensi untuk dapat meningkatkan penerimaan cukai negara. Seperti di Belanda dan Perancis, pendapatan cukai terbesar dari kedua negara tersebut berasal dari produk energi. Selain itu, untuk Finlandia, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari bahan bakar cair. Untuk Thailand, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari pajak minyak.
Meski demikian, pengenaan cukai perlu dilakukan dengan hati-hati dan berkeadilan untuk dapat menjadi instrumen yang kuat dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan bagi Indonesia.
Peningkatan tarif cukai yang terlalu drastis dapat berdampak negatif pada konsumsi dan aktivitas ekonomi, sementara tarif yang terlalu rendah mungkin tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara terus-menerus terkait kebijakan cukai, termasuk mempertimbangkan dampaknya terhadap konsumsi, penerimaan negara, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Semoga.
Dampak lain adalah masa depan generasi bangsa yang terancam. Dikhawatirkan bonus demografi dipenuhi oleh penduduk usia muda yang banyak mengalami penyakit karena peningkatan tren PTM yang ada saat ini.
Mendorong Kebijakan Cukai yang Berkeadilan
Cukai merupakan instrumen kebijakan pemerintah layaknya memiliki dua sisi mata uang. Pada satu sisi, cukai berfungsi sebagai instrumen pengatur atau pengendali, namun di sisi lain cukai berfungsi pula sebagai sumber penerimaan negara. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, penerapan cukai telah menjadi salah satu sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah. Pendapatan tersebut dialokasikan untuk berbagai program dan kegiatan pemerintah, termasuk pembangunan infrastruktur, peningkatan akses layanan kesehatan dan pendidikan, serta berbagai program kesejahteraan sosial.Di Indonesia, pendapatan dari cukai berasal dari berbagai jenis barang dan layanan yang dikenakan pajak, seperti rokok, etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan bentuk cukai lain dalam jumlah kecil. Sebagaimana cukai pada rokok, misalnya, dikenakan untuk mengendalikan perilaku merokok yang memiliki eksternalitas negatif bagi lingkungan maupun kesehatan.
Pada nomenklatur anggaran negara, cukai rokok masuk dalam jenis penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang faktanya memiliki kontribusi besar dalam komponen penerimaan cukai, yakni 96%. Lebih lanjut, data juga menunjukkan bahwa CHT sendiri sejak tahun 2015 memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Bahkan, pada tahun 2020 (ketika terjadi pandemi), kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13%. Hal tersebut menunjukkan bahwa CHT mampu menjadi salah satu penopang penerimaan negara, bahkan ketika negara mengalami penurunan penerimaan selama pandemi.
Dalam perkembangannya kini, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus mengalami peningkatan hampir setiap tahunnya juga berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan CHT di Indonesia. Data Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa bahwa sepanjang tahun 2023, penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat sebesar Rp 286,2 triliun atau hanya mencapai 95,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Adapun salah satu penyebab tidak tercapainya target tersebut karena penerimaan cukai mengalami penurunan akibat kenaikan tarif CHT. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi rokok yang terus tumbuh negatif dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan penelitian PPKE FEB UB (2022) tarif cukai saat ini sudah mencapai titik optimum untuk menghasilkan penerimaan CHT. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan tarif dan harga rokok hanya akan berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, bahkan akan mendorong meningkatnya peredaran rokok illegal. Kondisi tersebut mendorong produksi rokok legal terus menurun, termasuk pertumbuhannya, dan akhirnya membahayakan keberlangsungan jumlah pabrik rokok (legal).
Saatnya kini bagi pemerintah untuk segera melangkah untuk menambah alternatif barang kena cukai sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara karena kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum. Sejak 1995, pemerintah hanya mengenakan cukai pada 3 BKC yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu ditambah.
Berkaca dari komponen BKC yang dikenakan di negara lain, penerimaan cukai terbesar di beberapa negara di dunia bukan dari CHT. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki beberapa pilihan BKC lainnya yang berpotensi untuk dapat meningkatkan penerimaan cukai negara. Seperti di Belanda dan Perancis, pendapatan cukai terbesar dari kedua negara tersebut berasal dari produk energi. Selain itu, untuk Finlandia, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari bahan bakar cair. Untuk Thailand, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari pajak minyak.
Meski demikian, pengenaan cukai perlu dilakukan dengan hati-hati dan berkeadilan untuk dapat menjadi instrumen yang kuat dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan bagi Indonesia.
Peningkatan tarif cukai yang terlalu drastis dapat berdampak negatif pada konsumsi dan aktivitas ekonomi, sementara tarif yang terlalu rendah mungkin tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara terus-menerus terkait kebijakan cukai, termasuk mempertimbangkan dampaknya terhadap konsumsi, penerimaan negara, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Semoga.