Fungsi Ultimum Remedium Hukum Pidana
loading...
A
A
A
Pasal 2 Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.
Pasal 3 Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.
Semula dengan adanya Perma tersebut di atas, ketidakpastian hukum atau kekosongan hukum dapat teratasi. Namun demikian mendalami ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 ternyata adanya ketentuan Pasal 3 Perma tersebut, semakin tidak pasti dan tidak jelas lagi apa makna prejudicial geschil sebagaimana diatur dalam Pasal 81 KUHP. Dalam praktik, dihadapi kenyataan bahwa ketentuan Pasal 81 KUHP dan Perma Nomor 1 Tahun 1956 telah digunakan sebagai cara untuk menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan ketidakadilan bagi pencari keadilan karena perkara perdata yang tengah dihadapi selalu dipertentangkan dengan aspek pidana yang muncul dari suatu perkara sebagaimana masalah hukum dalam suatu perjanjian di atas.
Masalah ketidakpastian hukum tersebut bertambah dengan bunyi ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 yang menyatakan bahwa pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi. Hal ini berarti alih-alih ketentuan Perma tersebut menyelesaikan masalah ketidakpastian hukum, bahkan telah menambah besar ketidakpastian hukum terutama bagi pencari keadilan karena salah satu pihak yang bersengketa akan tetap melaporkan dugaan tindak pidana tanpa ada kekhawatiran atau keengganan dihentikan pemeriksaan perkara pidananya.
Sesungguhnya Perma tersebut dapat menyelesaikan masalah perselisihan judicial secara berkepastian hukum. Penerapan asas ultimum remedium dalam praktik hukum pidana justru ditempatkan sebaliknya, yaitu sebagai primum remedium; fungsi hukum pidana yang didahulukan terutama dan khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi.
Perkara tindak pidana korupsi dalam kenyataannya melibatkan banyak aspek hukum selain aspek hukum pidana, di antaranya aspek hukum administrasi negara/pemerintahan, aspek hukum perdata, aspek hukum korporasi termasuk koperasi dan aspek hukum keuangan negara. Dalam status hukum yang bersifat multiaspek tersebut, seharusnya fungsi ultimum remedium hukum pidana dapat dioptimalkan akan tetapi pihak kejaksaan dan KPK tidak mematuhi asas hukum tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga penanganan perkara korupsi harus didahulukan. Kedua, akibat tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sehingga faktor unsur mens-rea harus dinilai dari sudut kepentingan negara dibandingkan dengan kepentingan perorangan atau korporasi.
Namun demikian dari aspek efisiensi kinerja pemberantasan korupsi telah terbukti pola penanganan dengan pendekatan primum remedium tersebut dengan prinsip keadilan retributif telah memberikan penilaian yang berlebihan (over-valued) oleh Kejaksaan maupun KPK, sedangkan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 telah menegaskan bahwa unsur kerugian negara bukan unsur yang bersifat menentukan suatu tindak pidana korupsi (Pasal 3), sehingga telah terbukti mengalami kerugian negara yang lebih besar karena proyek pembangunan infrastruktur pemerintah terhenti tidak berlanjut dan dana APBN tidak dapat diserap sesuai dengan rencana pembangunan semula.
Hal ini disebabkan tujuan kepastian hukum dan kemanfaatan secara kuantitatif diberikan penilaian berlebih dibandingkan dengan perhitungan yang didasarkan pada analisis keuntungan dan risikonya (cost and benefit analysis) yakni penilaian unsur kerugian keuangan negara tidak dilandaskan pada aspek keseimbangan, efisiensi, dan kemanfaatan.
Pasal 3 Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.
Semula dengan adanya Perma tersebut di atas, ketidakpastian hukum atau kekosongan hukum dapat teratasi. Namun demikian mendalami ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 ternyata adanya ketentuan Pasal 3 Perma tersebut, semakin tidak pasti dan tidak jelas lagi apa makna prejudicial geschil sebagaimana diatur dalam Pasal 81 KUHP. Dalam praktik, dihadapi kenyataan bahwa ketentuan Pasal 81 KUHP dan Perma Nomor 1 Tahun 1956 telah digunakan sebagai cara untuk menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan ketidakadilan bagi pencari keadilan karena perkara perdata yang tengah dihadapi selalu dipertentangkan dengan aspek pidana yang muncul dari suatu perkara sebagaimana masalah hukum dalam suatu perjanjian di atas.
Masalah ketidakpastian hukum tersebut bertambah dengan bunyi ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 yang menyatakan bahwa pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi. Hal ini berarti alih-alih ketentuan Perma tersebut menyelesaikan masalah ketidakpastian hukum, bahkan telah menambah besar ketidakpastian hukum terutama bagi pencari keadilan karena salah satu pihak yang bersengketa akan tetap melaporkan dugaan tindak pidana tanpa ada kekhawatiran atau keengganan dihentikan pemeriksaan perkara pidananya.
Sesungguhnya Perma tersebut dapat menyelesaikan masalah perselisihan judicial secara berkepastian hukum. Penerapan asas ultimum remedium dalam praktik hukum pidana justru ditempatkan sebaliknya, yaitu sebagai primum remedium; fungsi hukum pidana yang didahulukan terutama dan khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi.
Perkara tindak pidana korupsi dalam kenyataannya melibatkan banyak aspek hukum selain aspek hukum pidana, di antaranya aspek hukum administrasi negara/pemerintahan, aspek hukum perdata, aspek hukum korporasi termasuk koperasi dan aspek hukum keuangan negara. Dalam status hukum yang bersifat multiaspek tersebut, seharusnya fungsi ultimum remedium hukum pidana dapat dioptimalkan akan tetapi pihak kejaksaan dan KPK tidak mematuhi asas hukum tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga penanganan perkara korupsi harus didahulukan. Kedua, akibat tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sehingga faktor unsur mens-rea harus dinilai dari sudut kepentingan negara dibandingkan dengan kepentingan perorangan atau korporasi.
Namun demikian dari aspek efisiensi kinerja pemberantasan korupsi telah terbukti pola penanganan dengan pendekatan primum remedium tersebut dengan prinsip keadilan retributif telah memberikan penilaian yang berlebihan (over-valued) oleh Kejaksaan maupun KPK, sedangkan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 telah menegaskan bahwa unsur kerugian negara bukan unsur yang bersifat menentukan suatu tindak pidana korupsi (Pasal 3), sehingga telah terbukti mengalami kerugian negara yang lebih besar karena proyek pembangunan infrastruktur pemerintah terhenti tidak berlanjut dan dana APBN tidak dapat diserap sesuai dengan rencana pembangunan semula.
Hal ini disebabkan tujuan kepastian hukum dan kemanfaatan secara kuantitatif diberikan penilaian berlebih dibandingkan dengan perhitungan yang didasarkan pada analisis keuntungan dan risikonya (cost and benefit analysis) yakni penilaian unsur kerugian keuangan negara tidak dilandaskan pada aspek keseimbangan, efisiensi, dan kemanfaatan.
(zik)