Fungsi Ultimum Remedium Hukum Pidana

Jum'at, 08 Maret 2024 - 14:59 WIB
loading...
Fungsi Ultimum Remedium Hukum Pidana
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

MENGAPA fungsi hukum pidana ultimum remedium yang telah dikenal sejak beberapa abad yang lampau masih dijadikan acuan ketika dalam suatu peristiwa hukum, terdapat beberapa sanksi yang tersedia, seperti dalam kasus jual beli yang dibalut dalam suatu perjanjian, yang salah satu pihak melakukan wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian antara dua orang atau lebih. Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yakni kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang. Juga memuat ketentuan batalnya suatu perjanjian sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1321, "Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan".

Pembentuk UU KUHPerdata pun mengakui bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan jika terjadi (dalam proses perjanjian) penipuan. Dalam KUHP, penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP , sebagai perbuatan curang, barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Namun demikian, penipuan harus dibuktikan terlebih dulu untuk membatalkan suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1328. Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat.



Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan. Bertolak dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan KUHPidana, jelas bahwa dua disiplin ilmu hukum tersebut (Hukum Perdata dan Hukum Pidana) tidak terpisahkan atau dapat dipisahkan akan tetapi hanya dapat dibedakan. Merujuk pada ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata dan Pasal 378 KUHPidana menyatakan bahwa dugaan adanya penipuan dalam suatu perjanjian (hukum perdata) dapat membatalkan suatu perjanjian jika penipuan tersebut telah dibuktikan terlebih dulu.

Menarik garis dari ketentuan-ketentuan tersebut, penafsiran hukum ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktik sering menimbulkan ketidakpastian hukum, mengenai prosedur hukum perdatakah atau prosedur hukum pidanakah sekalipun secara normatif menyatakan bahwa prosedur hukum pidana harus didahulukan sebelum prosedur hukum perdata berlanjut.

Sikap Mahkamah Agung RI menghadapi ketidakpastian hukum di dalam praktik hukum telah mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 1956 tertanggal 23 Mei 1956, yang merupakan upaya Mahkamah Agung mengisi kekosongan hukum perihal Prejudicieel Geschil yang pada waktu itu belum terakomodir dalam hukum acara pidana. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung RI menyatakan: oleh karena dalam peraturan Acara Pengadilan yang sekarang berlaku di Indonesia tiada peraturan mengenai hubungan antara pengadilan perdata dan pengadilan pidana dalam hal ini ada tampak keragu-raguan. Bahwa untuk menghilangkan keraguan-raguan ini Mahkamah Agung menganggap perlu, dengan mempergunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Pasal 131 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia, mengadakan peraturan sebagai berikut:

Pasal 1 Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.

Pasal 2 Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.

Pasal 3 Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.

Semula dengan adanya Perma tersebut di atas, ketidakpastian hukum atau kekosongan hukum dapat teratasi. Namun demikian mendalami ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 ternyata adanya ketentuan Pasal 3 Perma tersebut, semakin tidak pasti dan tidak jelas lagi apa makna prejudicial geschil sebagaimana diatur dalam Pasal 81 KUHP. Dalam praktik, dihadapi kenyataan bahwa ketentuan Pasal 81 KUHP dan Perma Nomor 1 Tahun 1956 telah digunakan sebagai cara untuk menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan ketidakadilan bagi pencari keadilan karena perkara perdata yang tengah dihadapi selalu dipertentangkan dengan aspek pidana yang muncul dari suatu perkara sebagaimana masalah hukum dalam suatu perjanjian di atas.

Masalah ketidakpastian hukum tersebut bertambah dengan bunyi ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 yang menyatakan bahwa pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi. Hal ini berarti alih-alih ketentuan Perma tersebut menyelesaikan masalah ketidakpastian hukum, bahkan telah menambah besar ketidakpastian hukum terutama bagi pencari keadilan karena salah satu pihak yang bersengketa akan tetap melaporkan dugaan tindak pidana tanpa ada kekhawatiran atau keengganan dihentikan pemeriksaan perkara pidananya.

Sesungguhnya Perma tersebut dapat menyelesaikan masalah perselisihan judicial secara berkepastian hukum. Penerapan asas ultimum remedium dalam praktik hukum pidana justru ditempatkan sebaliknya, yaitu sebagai primum remedium; fungsi hukum pidana yang didahulukan terutama dan khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi.

Perkara tindak pidana korupsi dalam kenyataannya melibatkan banyak aspek hukum selain aspek hukum pidana, di antaranya aspek hukum administrasi negara/pemerintahan, aspek hukum perdata, aspek hukum korporasi termasuk koperasi dan aspek hukum keuangan negara. Dalam status hukum yang bersifat multiaspek tersebut, seharusnya fungsi ultimum remedium hukum pidana dapat dioptimalkan akan tetapi pihak kejaksaan dan KPK tidak mematuhi asas hukum tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga penanganan perkara korupsi harus didahulukan. Kedua, akibat tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sehingga faktor unsur mens-rea harus dinilai dari sudut kepentingan negara dibandingkan dengan kepentingan perorangan atau korporasi.

Namun demikian dari aspek efisiensi kinerja pemberantasan korupsi telah terbukti pola penanganan dengan pendekatan primum remedium tersebut dengan prinsip keadilan retributif telah memberikan penilaian yang berlebihan (over-valued) oleh Kejaksaan maupun KPK, sedangkan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 telah menegaskan bahwa unsur kerugian negara bukan unsur yang bersifat menentukan suatu tindak pidana korupsi (Pasal 3), sehingga telah terbukti mengalami kerugian negara yang lebih besar karena proyek pembangunan infrastruktur pemerintah terhenti tidak berlanjut dan dana APBN tidak dapat diserap sesuai dengan rencana pembangunan semula.

Hal ini disebabkan tujuan kepastian hukum dan kemanfaatan secara kuantitatif diberikan penilaian berlebih dibandingkan dengan perhitungan yang didasarkan pada analisis keuntungan dan risikonya (cost and benefit analysis) yakni penilaian unsur kerugian keuangan negara tidak dilandaskan pada aspek keseimbangan, efisiensi, dan kemanfaatan.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2120 seconds (0.1#10.140)