Menuju Negara Wisata

Senin, 04 Maret 2024 - 13:25 WIB
loading...
Menuju Negara Wisata
Hafiza Jasmine Azzahra. Foto/Istimewa
A A A
Hafiza Jasmine Azzahra

Alumnus Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan saat ini mengikuti program magang di Pusat SKK Amerop, BSKLN, Kementerian Luar Negeri RI

SEKTOR pariwisata Indonesia mempunyai posisi yang strategis sebagai sumber devisa negara. Sektor pariwisata sempat mengalami pasang surut sebagai dampak dinamika perkembangan situasi global. Setelah sempat mengalami penurunan cukup serius akibat pandemi Covid-19, berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun 2023, nilai devisa dari sektor pariwisata kembali naik menyentuh angka USD10,46 miliar atau sekitar Rp161,69 triliun. Nilai perolehan devisa tersebut menempatkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional sebesar 4,1% sekaligus menjadi penyumbang PDB terbesar nasional setelah minyak, batu bara, dan kelapa sawit.

Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional yang cukup signifikan tentunya harus diimbangi dengan kontribusi sektor ini terhadap masyarakat yang ada di daerah tujuan wisata. Melalui pendekatan pariwisata inti rakyat (community based-tourism), masyarakat di daerah tujuan wisata tidak lagi menjadi penonton namun juga turut menikmati secara ekonomi sekaligus memberikan andil penting dalam membantu tetap terjaganya kelestarian objek wisata di daerahnya.

Trend based

Sebagaimana pengembangan sektor industri lainnya, pengembangan sektor berwisata juga memperhatikan tren yang terjadi di lingkungan sektor pariwisata. Salah satu tren yang berkembang saat ini adalah perjalanan mandiri atau solo travelling yang semakin diminati oleh para wisatawan mancanegara (wisman). Tren solo travelling hadir di tengah situasi yang ditandai dengan semakin mudahnya akses dalam melakukan perjalanan seperti dalam pemesanan tiket dan akomodasi secara online.

Tren solo travelling ini juga terjadi pada wisatawan nusantara (wisnus), salah satu alasannya didasarkan pada pertimbangan fleksibilitas dalam pengaturan perjalanan atau pergerakan wisatanya. Dalam arti, solo travelling memungkinkan wisatawan untuk bepergian kapan saja sebagaimana yang diinginkan. Kehadiran infrastruktur wisata yang baik juga membantu terciptanya kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan khususnya saat berada di destinasi wisata tujuan.

Neo Lifestyle

Dalam upaya mendorong kunjungan wisnus ke wilayah-wilayah destinasi wisata unggulan di Indonesia, selain perkembangan tren dan pasar wisata, aspek-aspek lain seperti pola perilaku atau gaya hidup yang ada di masyarakat khususnya di kalangan generasi muda merupakan parameter penting yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam konteks ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, sekitar 69,25% penduduk Indonesia (sekitar 190,98 juta penduduk) masuk dalam kategori usia produktif (usia 15-64 tahun). Dengan demikian, masyarakat Indonesia khususnya kalangan generasi Y atau milenial dan generasi Z menjadi kekuatan potensial dalam membantu menggerakkan roda industri pariwisata nasional.

Dalam berwisata, generasi Y dan Z mempunyai karakteristik dan minat (passion) tersendiri. Generasi ini ketika berlibur ingin mencari pengalaman, mengeksplorasi, serta mencari spot-spot yang instagramable untuk kepentingan konten media sosial mereka. Hal ini tentunya menjadi bagian dari gaya hidup baru generasi Y dan Z. Gaya berwisata generasi Y dan Z memberikan implikasi positif bagi destinasi wisata yang dikunjungi melalui sharing informasi baik secara streaming maupun melalui tayangan konten-konten video wisata dengan kalangan subscribers dan viewers-nya.

Aksesibilitas Wisata

Infrastruktur pariwisata paling krusial di Indonesia yang harus diperhatikan adalah terkait aksesibilitas wisatawan ke destinasi wisata, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kunjungan wisatawan ke Wakatobi sebagai contoh, setiap tahun menunjukkan tren penurunan. Sebelum masa pandemi Covid-19, kunjungan wisata ke wilayah ini per tahun mencapai 30 ribu pengunjung. Namun setelah pandemi, kunjungan wisatawan berkisar 11 ribu pengunjung seperti yang terjadi pada tahun 2022. Keadaan ini terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan destinasi wisata yang berada di Yogyakarta yang bisa mendapatkan puluhan ribu pengunjung setiap bulannya.

Salah satu variabel penting dalam konteks ini adalah terkait biaya perjalanan menuju KTI yang masih tergolong mahal. Sebagai perbandingan, harga tiket termurah Jakarta-Yogyakarta berada di kisaran Rp700 ribu hingga Rp1 juta sekali berangkat, sedangkan tiket perjalanan sekali berangkat Jakarta-Kendari berada di kisaran Rp2 juta hingga Rp2,3 juta. Hal tersebut belum termasuk biaya transportasi tambahan menuju lokasi wisata, biaya akomodasi dan biaya konsumsi selama berwisata. Biaya perjalanan menuju KTI juga masih lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya perjalanan wisata dari Jakarta menuju Kuala Lumpur yang berkisar Rp600 ribu sampai Rp1,5 juta. Fakta ini menjadi alasan bagi wisnus untuk lebih memilih berwisata ke luar negeri daripada berwisata di dalam negeri khususnya KTI.

Belajar dari Barat

Berdasarkan data Badan Pengembangan Pariwisata Prancis, sektor pariwisata Prancis menyumbang 7,1% terhadap PDB nasional. Dari pencapaian pariwisata tersebut, wisatawan domestik merupakan kelompok wisatawan yang cukup strategis sebagai pendulang pendapatan negara. Pada tahun 2016, sebagai contoh, masyarakat Prancis secara umum tercatat melakukan 214 juta perjalanan, yang 187,9 juta di antaranya (sekitar 87,8%) dihabiskan untuk melakukan perjalanan wisata di dalam negeri.



Sama seperti Prancis, sektor pariwisata di Kanada juga semakin menguat dengan dukungan wisatawan domestik. Berdasarkan laporan Destination Canada Fall 2023 Outlook; Tourism Economic, pariwisata domestik akan menjadi pelopor pemulihan industri pariwisata Kanada seperti pada tahun 2019 sebelum masa pandemi. Pada tahun 2019, pendapatan sektor pariwisata Kanada dari wisatawan domestik sebesar $77 miliar. Atas dasar pertimbangan pentingnya peranan pendapatan pariwisata baik yang bersumber dari devisa wisatawan internasional maupun pendapatan dari wisatawan domestik, industri pariwisata Kanada diperkirakan akan kembali bangkit pada tahun 2024.

Belajar dari pengalaman Prancis dan Kanada, menjaga keberlangsungan industri pariwisata sangat membantu dalam menjaga stabilitas pendapatan sektor pariwisata sekaligus membantu penguatan ekonomi nasional. Model pengembangan sektor pariwisata berbasis wisnus ala Prancis dan Kanada tersebut sejatinya dapat dicontoh oleh Indonesia dalam mengembangkan sektor pariwisata nasionalnya. Apalagi untuk kalangan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sangat bersandar pada keberadaan wisman, sektor pariwisata diakui sangat rentan terhadap dampak dari dinamika perkembangan situasi global seperti adanya pemberlakuan kebijakan travel ban dan travel warning oleh negara asal wisman. Peristiwa Bom Bali setidaknya menjadi pengalaman berharga bagi pemerintah Indonesia sekaligus menjadi turning point untuk secara serius menggarap keberadaan wisnus dan tidak lagi menomorduakannya.

Anjloknya jumlah kunjungan wisman hingga 50% pasca peristiwa Bom Bali, sebagai contoh, sangat berdampak signifikan terhadap sektor industri pariwisata nasional, khususnya industri pariwisata Bali. Dalam upaya mendorong kontribusi wisnus bagi pembangunan sektor pariwisata nasional, hal utama yang mesti dilakukan oleh pemerintah Indonesia di antaranya menumbuh-kembangkan budaya berwisata di kalangan masyarakat khususnya kalangan generasi mudanya. Dalam konteks ini, kegiatan berwisata bukan semata-mata urusan gaya hidup (lifestyle), namun juga merupakan sebuah “kebutuhan hidup”. Di sini keluarga memegang peranan penting dalam menumbuhkan budaya berwisata khususnya di kalangan anak-anaknya.

Crispy Money Syndrome

Dibandingkan dengan negara-negara se-kawasan, Indonesia memiliki keunikan tersendiri terutama terkait penggunaan mata uang dollar Amerika Serikat (AS) sebagai alat pembayaran. Perilaku pasar uang (money changer) di negara ini mensyaratkan ketentuan khusus terkait penukaran mata uang dollar AS yang relatif demanding seperti ketentuan crispy money dan penukaran dengan nilai nominal tertentu. Hal demikian tentunya dapat mengusik kenyamanan wisman dalam melakukan dan menikmati perjalanan wisatanya di Indonesia, dan bahkan bisa membuat wisman kapok datang lagi ke Indonesia.

Pemberlakuan Biaya Fiskal

CEO Transport Traveloka, Iko Putera, mengatakan bahwa pada tahun 2023 banyak masyarakat Indonesia yang berwisata ke luar negeri. Hal ini terlihat dari catatan jumlah transaksi perjalanan ke luar negeri melalui aplikasi Traveloka yang mengalami peningkatan di tahun 2023 dibanding tahun 2022. Pertumbuhan wisatawan Indonesia yang berwisata ke luar negeri dari tahun ke tahun sebesar 70%. Jumlah tersebut di luar jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri (health tourism).

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa setiap tahun terdapat satu juta orang Indonesia yang berobat ke luar negeri dan mengakibatkan hilangnya devisa sebesar Rp170 triliun. Solusi yang bisa digunakan negara untuk “menghambat” aliran devisa negara ke luar negeri adalah melalui pemberlakuan biaya fiskal luar negeri.

Indonesia sejatinya pernah memberlakukan biaya fiskal ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 tahun 1993 tentang Pemberian Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri. Pemberlakuan kembali kebijakan biaya fiskal ini bertujuan untuk membendung aliran devisa negara ke luar negeri, baik untuk tujuan berwisata ataupun berobat.

Pungutan biaya fiskal sebagai salah satu sumber pendapatan negara sama sekali tidak membebani masyarakat. Hal ini karena pemberlakuan biaya fiskal hanya menyasar WNI yang melakukan perjalanan ke luar negeri, seperti perjalanan wisata termasuk berobat ke luar negeri (health tourism). Kebijakan biaya fiskal mengecualikan pekerja migran Indonesia (PMI) yang notabene merupakan pahlawan devisa negara.

Pengenaan biaya fiskal diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan kunjungan wisata dan berobat di dalam negeri sebagaimana harapan pemerintah. Selain itu, sebagai sumber baru pendapatan negara, pemberlakuan biaya fiskal setidaknya dapat menjadi solusi alternatif bagi pemerintah. Wacana menaikkan pajak hiburan yang sempat membuat gaduh di kalangan industri pariwisata nasional baru-baru ini bukan merupakan tindakan yang bijak. Namun sebaliknya, kebijakan tersebut justru dapat memicu terjadinya PHK massal di kalangan pekerja industri hiburan lantaran sepi pengunjung. Salam Pariwisata !!!
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2293 seconds (0.1#10.140)