Pemerintah Diminta Kenakan Pajak Terhadap Travel Pariwisata Asing di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sektor pariwisata Indonesia mulai mengalami pemulihan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024 mencatat 1,14 juta turis mancanegara masuk ke Indonesia pada Desember 2023 sedangkan wisatawan lokal mencapai 60,3 juta.
Namun, sayangnya ada sejumlah persoalan yang mesti menjadi perhatian pemerintah. Salah satunya penerapan pajak bagi travel asing di Indonesia yang belum diterapkan.
"Pungutan pajak dari Online Travel Agent (OTA) asing seharusnya dapat disetorkan ke kas negara," kata Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, Minggu (21/7/2024).
Hal tersebut tak lepas dari mulai tumbuhnya model bisnis OTA yang beroperasi Indonesia. Namun, pertumbuhan model bisnis ini tidak diimbangi dengan perbaikan tata kelola perpajakan, di mana banyak OTA asing yang diduga tidak tertib pajak.
Menurut Nailul, pemerintah seharusnya bisa memaksimalkan pengenaan pajak kepada OTA asing. Hal ini bisa terjadi jika OTA asing yang beroperasi memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. "PPN yang dipungut pun bisa dikreditkan untuk pengurang pajak yang disetorkan kepada kas negara,” ujar Nailul Huda.
Meski mereka telah mendaftarkan diri menjadi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, pungutan pajak tetap dibebankan ke pihak hotel karena mereka tidak mempunyai Badan Usaha Tetap (BUT). Nailul berpendapat, penyetoran pajak dari OTA asing ini harus benar-benar diawasi jika tidak, pembayaran pajak dikhawatirkan tidak sesuai. “Yang harus diawasi adalah penyetoran pajak dengan dokumen yang tercatat harus benar diawasi,” katanya.
OTA asing juga wajib mendirikan kantor perwakilan di Indonesia, selain untuk memudahkan konsumen dalam menangani masalah reservasi juga dapat memudahkan petugas pajak dalam validasi data perpajakan. “Maka memang perlu penyesuaian seperti kantor perwakilan di Indonesia sehingga ketika perlu validasi data, petugas pajak kita tidak kebingunan,” tuturnya.
Sorotan mengenai penertiban OTA asing sebenarnya sudah disuarakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Selama ini yang terjadi di lapangan adalah para hotel yang terpaksa harus menalangi pungutan itu kepada negara.
Hal ini tentunya menjadi beban tersendiri di tengah upaya pemulihan industri pariwisata. "Mereka membebankan pajak ke kami, pihak hotel. Padahal, kalau OTA lokal, mereka yang bayar, bukan pihak kami. Ini tentu membebani kami," kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, Rabu, 17 Juli 2024.
Maulana menuturkan, ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan BUT selain mengakibatkan kerugian terhadap pelaku usaha hotel, konsumen, juga negara dirugikan, yakni kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan pajak pertambahan nilai (PPN). "Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak. Ini termasuk pajak komisi dan PPN," ujar Alan, panggilan akrabnya.
Diketahui, potensi pajak dari transaksi OTA asing dapat mencapai Rp3,18 triliun. Sementara potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi mencapai Rp318,67 miliar. Alan pun berharap pemerintah dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini. "Kami sudah melaporkan kepada pemerintah untuk menuntut keadilan, namun hingga kini respons dari Ditjen Pajak belum ada," terang Alan
Namun, sayangnya ada sejumlah persoalan yang mesti menjadi perhatian pemerintah. Salah satunya penerapan pajak bagi travel asing di Indonesia yang belum diterapkan.
"Pungutan pajak dari Online Travel Agent (OTA) asing seharusnya dapat disetorkan ke kas negara," kata Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, Minggu (21/7/2024).
Baca Juga
Hal tersebut tak lepas dari mulai tumbuhnya model bisnis OTA yang beroperasi Indonesia. Namun, pertumbuhan model bisnis ini tidak diimbangi dengan perbaikan tata kelola perpajakan, di mana banyak OTA asing yang diduga tidak tertib pajak.
Menurut Nailul, pemerintah seharusnya bisa memaksimalkan pengenaan pajak kepada OTA asing. Hal ini bisa terjadi jika OTA asing yang beroperasi memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. "PPN yang dipungut pun bisa dikreditkan untuk pengurang pajak yang disetorkan kepada kas negara,” ujar Nailul Huda.
Meski mereka telah mendaftarkan diri menjadi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, pungutan pajak tetap dibebankan ke pihak hotel karena mereka tidak mempunyai Badan Usaha Tetap (BUT). Nailul berpendapat, penyetoran pajak dari OTA asing ini harus benar-benar diawasi jika tidak, pembayaran pajak dikhawatirkan tidak sesuai. “Yang harus diawasi adalah penyetoran pajak dengan dokumen yang tercatat harus benar diawasi,” katanya.
OTA asing juga wajib mendirikan kantor perwakilan di Indonesia, selain untuk memudahkan konsumen dalam menangani masalah reservasi juga dapat memudahkan petugas pajak dalam validasi data perpajakan. “Maka memang perlu penyesuaian seperti kantor perwakilan di Indonesia sehingga ketika perlu validasi data, petugas pajak kita tidak kebingunan,” tuturnya.
Sorotan mengenai penertiban OTA asing sebenarnya sudah disuarakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Selama ini yang terjadi di lapangan adalah para hotel yang terpaksa harus menalangi pungutan itu kepada negara.
Hal ini tentunya menjadi beban tersendiri di tengah upaya pemulihan industri pariwisata. "Mereka membebankan pajak ke kami, pihak hotel. Padahal, kalau OTA lokal, mereka yang bayar, bukan pihak kami. Ini tentu membebani kami," kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, Rabu, 17 Juli 2024.
Maulana menuturkan, ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan BUT selain mengakibatkan kerugian terhadap pelaku usaha hotel, konsumen, juga negara dirugikan, yakni kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan pajak pertambahan nilai (PPN). "Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak. Ini termasuk pajak komisi dan PPN," ujar Alan, panggilan akrabnya.
Diketahui, potensi pajak dari transaksi OTA asing dapat mencapai Rp3,18 triliun. Sementara potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi mencapai Rp318,67 miliar. Alan pun berharap pemerintah dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini. "Kami sudah melaporkan kepada pemerintah untuk menuntut keadilan, namun hingga kini respons dari Ditjen Pajak belum ada," terang Alan
(cip)