Kedermawanan di Negeri Rawan Bencana

Kamis, 09 Agustus 2018 - 08:45 WIB
Kedermawanan di Negeri Rawan Bencana
Kedermawanan di Negeri Rawan Bencana
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel danWakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim

MASA pemulihan akibat gempa bumi berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) di Lombok dan Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi pada Sabtu (29/7) belum juga selesai. Gempa bumi lebih besar berkekuatan 7,0 SR kembali terjadi di daerah yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid itu pada Ahad (5/8). Jumlah korban meninggal dan luka-luka akibat gempa bumi kedua ini jauh lebih besar. Kerusakan bangunan rumah, tempat ibadah, infrastruktur, dan fasilitas publik lain juga tampak lebih parah.

Bukan hanya korban jiwa dan kerusakan bangunan fisik, rangkaian gempa bumi juga menghadirkan trauma psikologi yang mendalam. Kondisi itu meniscayakan pentingnya penanganan yang lebih komprehensif terhadap korban bencana, termasuk penyembuhan perasaan traumatik (traumatic healing).Langkah ini penting karena bencana alam seperti gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung terus terjadi di sejumlah daerah. Berbagai peristiwa itu menunjukkan bahwa negeri tercinta tergolong rawan bencana alam.
Bahkan, bukan hanya bencana alam, negeri ini juga rawan terjadi bencana kemanusiaan. Salah satu indikatornya terjadi insiden intoleran berlatar belakang perbedaan budaya, etnik, agama, dan paham keagamaan di sejumlah daerah. Hal yang membanggakan, rangkaian kejadian bencana alam dan kemanusiaan tersebut telah menumbuhkan kesadaran berupa komitmen sesama warga bangsa terhadap pentingnya nilai-nilai kemanusiaan.

Tengoklah komitmen kemanusiaan sesama anak bangsa ketika terjadi musibah tsunami (Aceh dan Mentawai), gempa bumi di Bantul (Yogyakarta), banjir bandang di Wasior, Manokwari (Papua Barat), letusan Gunung Merapi di Sleman (Yogyakarta), Sinabung (Sumatera Utara), dan Karangasem (Bali). Dengan tanpa pamrih berbagai elemen masyarakat melakukan aksi kemanusiaan untuk menolong sesama. Aksi kemanusiaan itu dilakukan secara tulus, tanpa melihat perbedaan latar belakang sosial dan soal-soal primordial lain.

Karena itu, tidak mengherankan jika nilai-nilai kedermawanan yang ditunjukkan berbagai elemen bangsa mendapat pengakuan dunia. Hal itu tampak dalam survei lembaga Gallup International (GI) dan Charity Aid Foundation (CAF) tentang World Giving Index 2017. Hasil survei dua lembaga ternama itu menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Survei dilakukan pada 139 negara selama kurang lebih satu tahun. Hasil survei itu pun telah dipublikasikan pada awal September 2017.

Beberapa indikator yang menjadi penilaian GI dan CAF meliputi komitmen pemerintah, lembaga-lembaga sosial, dan elemen masyarakat untuk menolong sesama. Komitmen warga bangsa dan institusi sosial untuk menolong orang asing tanpa melihat perbedaan agama, etnis, dan budaya juga menjadi poin penting penilaian. Terasa sekali bahwa hasil survei GI dan CAF yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling dermawan tidak berlebihan.

Di antara indikatornya, setiap ada bencana alam atau bencana kemanusiaan, hasrat warga bangsa untuk membantu sesama seakan tidak terbendung. Di negeri tercinta juga ada banyak lembaga sosial dan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang profesional dan kredibel. Lembaga-lembaga sosial ini menghimpun donasi dari masyarakat untuk disalurkan pada korban bencana. Gairah membantu sesama bukan hanya untuk korban bencana di Tanah Air, melainkan juga negara tetangga.

Nilai-nilai kedermawanan sesama anak bangsa penting ditumbuhkembangkan. Apalagi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memprediksi masih ada 21 dari total 68 gunung berapi di Nusantara yang potensial menghadirkan bencana. Beberapa daerah juga diindikasikan rawan gempa bumi. Hal itu berarti bencana alam berpotensi terjadi di sejumlah daerah. Pada konteks itulah komitmen sesama anak bangsa terhadap nilai-nilai kemanusiaan benar-benar diuji.

Dengan tanpa pamrih elemen masyarakat menyumbangkan sebagian hartanya untuk meringankan saudaranya yang tertimpa musibah. Bukan hanya logistik, bantuan juga diberikan dalam bentuk kesehatan dan pendampingan psikologi terhadap korban bencana. Kita juga menyaksikan relawan dari berbagai kelompok anak muda berada di jalanan untuk mengumpulkan sumbangan dari pengguna jalan. Reaksi spontan dan tulus dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan betapa budaya gotong-royong yang menjadi ciri khas bangsa tidak tergerus oleh zaman.

Hal lain yang menarik, bencana alam juga menjadi media kelompok elite dan aktivis partai politik untuk meraih simpati rakyat. Mereka turun gunung untuk menunjukkan empatinya. Bahkan kita menyaksikan sebagian aktivis partai politik hilir mudik membawa bendera dan aksesori partai sekadar menunjukkan komitmen kemanusiaan pada rakyat. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam dan luar negeri juga tidak mau ketinggalan. Mereka bahu membahu untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan.

Karena bencana alam merupakan tragedi kemanusiaan, pasti dibutuhkan tindakan yang konkret untuk membantu korban. Untuk sementara waktu, biarkan elite politik menjadikan bencana alam sebagai alat mengkritik kebijakan pemerintah sekaligus meraih simpati rakyat. Biarkan juga ahli agama dengan logika teologisnya menjelaskan keterkaitan bencana dengan perbuatan dosa manusia. Begitu juga dengan ilmuwan yang terus meneliti pemicu terjadinya bencana.

Kini yang mendesak dilakukan adalah menumbuhkan empati dalam bentuk nyata. Kita tunjukkan bahwa nilai-nilai kedermawanan tetap tumbuh di negeri tercinta. Apalagi kita diingatkan ajaran yang menyentuh hati nurani umat manusia.Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu telah membunuh orang lain juga bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya dikatakan bahwa, “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seseorang, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” (QS Al-Maidah: 32).
Firman Allah tersebut dapat menjadi landasan teologis untuk mewujudkan nilai-nilai kedermawanan. Di negeri rawan bencana ini nilai-nilai kedermawanan sangat penting untuk membantu korban tanpa melihat latar belakang sosial. Sebagai bangsa yang dikenal religius, menolong sesama merupakan aktualisasi ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi (religious gift). Semoga nilai kedermawanan terus bersemai di negeri yang rawan dengan berbagai bencana alam dan bencana kemanusiaan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8081 seconds (0.1#10.140)